BAB 23

5 1 0
                                    

SETELAH mengetahui diagnosis dari Dokter, Ardan berjalan cepat memasuki ruang ICU. Setelah pintu terbuka, ia mematung sesaat.

Alisnya menyatu serta dahinya bertingkat. Namun, ia harus tersenyum di depan Sang Istri.

Di mana Alda? 

"Mas, kenapa kamu diam di situ?"lirih Rista kemudian membentangkan tangannya, "Sini peluk."

Ardan berjalan cepat lalu masuk ke dalam pelukan Rista. Mereka berpelukan seperti tidak pernah bertemu untuk beberapa tahun.

Ardan mengecup dahi Rista pelan. Ia menghirup aroma puncak kepala Rista. "Kata Dokter kamu keracunan gas Butane."

"Gas Butane? Apa itu, Mas?" Rista melepaskan pelukan dan memandang keheranan pada Ardan.

Ardan tersenyum simpul, "Sudah Mas duga ada seseorang yang berniat buruk ke kamu."

Rista terdiam mematung, kepalanya masih sulit mencerna apa yang dimaksud suaminya.

"Sebenarnya apa sih yang terjadi, Dik?"tanya Ardan setelah duduk di samping istrinya.

Rista masih memutar otaknya untuk mencari informasi terkait insiden sore itu.

Aha! Matanya membulat sempurna.

"Pas aku mau masuk, ada Mas Mas Cleaning Service. Pake masker, katanya sudah selesai membersihkan kamar. Setelahnya aku masuk, mau ngambil handuk mau mandi. Eh ada kaleng jatuh terus keluar deh asap. Karena kaget ya aku teriak. Dan akhirnya, aku nggak tau lagi apa yang terjadi."jawab Rista dengan wajah polosnya.

"Cleaning service?"

"Iya."

Ardan meremas kepalanya, kepalanya sudah pusing memikirkan apa yang sebenarnya terjadi.

"Kamu enggak apa-apa, Mas?"tanya Rista khawatir. Ia memegang puncak kepala Ardan lalu menciumnya hangat.

Ardan tersenyum simpul, "Terima kasih, ya. Rasa sakit di kepala Mas akhirnya hilang."

"Mas, aku rekomendasikan minum obat Ranitidine."ucap Rista sembari tersenyum kecil.

"Buahahahahahah!!! Apa? Ranitidine? Hahahahahahhahahaha..."

Rista menggaruk tengkuknya, ia berpikir mungkin saja salah pengucapan obat.

Ardan menghentikan tertawanya. Ia meraih botol air mineral dan meneguknya. Wajah merahnya membuat Rista bertanya-tanya dalam hati.

"Dek, Ranitidine itu obat lambung, bukan untuk sakit kepala. Kamu ada-ada saja."ucap Ardan sembari mengacak rambut Rista.

"Hm, aku 'kan cuma bercanda biar Mas Ardan ketawa. Kalau ketawa tuh biasanya cepat sembuh." Rista meyakinkan Ardan dengan alibinya.

"Hm, baiklah. Hahah.. kamu bisa aja."

"Hehehe..." Rista meraba pipinya yang terasa hangat.

"Oh iya, Dik. Mas tadi ketemu Alda."ucap Ardan sembari menarik kepala Rista di pundaknya.

"Oh itu, iya Mas. Sekolah ku adain liburan ke Bali sebelum perpisahan kelas tiga."jawab Rista yang merasakan ada sesuatu yang disembunyikan Ardan.

Mendengar jawabannya, Ardan mencoba menepis beberapa pertanyaan di dalam otaknya.

Ia merasa ada kejanggalan yang berkaitan dengan Alda.

Apalagi soal gas yang ditemukan di dalam kamar hotel. Bukan kah sangat aneh?

"Mas? Kamu nggak apa-apa?"ucap Rista menyentuh wajah suaminya.

"Iya, Dik. Mas nggak apa-apa. Hmm..bulan madu kita gagal, lusa Mas harus kembali ke Jakarta."jawab Ardan sembari tersenyum kecil.

Sebenarnya perasaannya campur aduk. Ingin sekali seperti pasutri lain. Tapi, sikonnya tidak memungkinkan.

"Mas, kok pikiranmu jauh banget. Aneh deh."celetuk Rista langsung memutar bola matanya.

"Heheh...ya nggak apa-apa dong. Kita 'kan belum pernah ehem ehem. Gitu, Dik. Emangnya kamu nggak mau?"balas Ardan sembari memainkan alisnya.

"Mas, kepalamu masih sakit, ya? Mau aku beli kan Ranitidine?"tanya Rista dengan tampang watadosnya.

"Ah elah.." Ardan menarik napas panjang dan akhirnya badannya merosot ke kasur.

Ia melirik Rista yang cengengesan karena reaksinya.


  ***

  "Emangnya kapan aku bisa pulang, Mas?"

Ardan berbalik sembari merapikan kemejanya. Tangannya baru saja memberi instruksi agar Rista jangan bertanya dulu. Ya, mereka akan menunaikan sholat Isya berjamaah.

Rista menganggukkan kepalanya. Ia meraih mukena yang dipinjam Ardan dari perawat.

"Allahu Akbar!"

"Allahu Akbar!"

Ardan membacakan Surah Al-fatihah dengan penuh khidmat. Beberapa perawat yang lalu lalang mencoba mengintip untuk tau siapa yang baru saja membaca surah dengan sangat merdu.

Setelah mereka menyadari orang itu sudah ada istri, mereka memutuskan untuk meninggalkan tempat itu dan melanjutkan pekerjaan mereka.

"Sami' Allahu Liman Hamidah!"

"Sami' Allahu Liman Hamidah."

"Allahu Akbar!"

"Allahu Akbar!"

Ya Allah, izinkan aku menjadi istri untuk Mas Ardan sampai selamanya. Aku mohon.

Ya Allah, apakah setelah ini kakakku masih mencintainya? Tidak bisa kah Engkau matikan saja rasa cinta di antara mereka?

Ya Allah, aku mohon. Aku memohon kepadaMu wahai Sang Pemilik Hati.

"Assalamualaikum warahomatullah.."

"Assalamualaikum warahomatullah.."

"Assalamualaikum warahomatullah.."

"Assalamualaikum warahomatullah.."

Mas, salah kah aku minta pada Allah agar biar aku saja yang memilikimu? Aku tau ini egois. Tapi, bisa kah?

"Aamiin.." Ardan mengusap wajahnya setelah berdoa.

Kemudian, ia berbalik dan meraih tangan Rista.

Cup!

Rista kaget atas perlakuan Ardan. Ya, karena Ardan baru saja mencium tangannya.

Rista pun membalasnya, ia mencium tangan Ardan.

"Terimakasih Ya Allah, terima kasih sudah memberikan istri sebaik ini."lirih Ardan lalu mendekatkan bibirnya pada pipi Rista.

Cup!

  ***




Rista dan ArdanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang