ARDAN berjalan melewati Rista yang sedang menunggunya di depan rumah. Wajah Rista tampak lesu, karena tidak tidur semalaman demi menunggu Ardan pulang.
Ia takut ketika Ardan pulang, tapi ia masih tertidur. Ternyata, malam kemarin Ardan tidak pulang.
Ardan memutuskan tidur di rumah orangtuanya. Ia beralasan bahwa Rista menginap di rumah ayahnya.
Rista menyiapkan teh hangat dan beberapa lembar roti untuk Ardan. Ia mengetuk pintu kamar sebelum akhirnya masuk ke dalam kamar Ardan.
Suara gemericik air dari dalam kamar mandi menandakan si empu sedang beraktivitas di dalam.
Tidak lama kemudian, Ardan keluar hanya mengenakan handuk sebatas lutut. Rista memutar balik tubuhnya.
"Cih. Siapa yang mau menggodamu? Aku? Maaf, Ris, seleraku bukan perempuan sepertimu. Aku hanya mencintai kakakmu, dia mempunyai standar yang pas untuk gelar seorang istri,"
"Kenapa ya, Allah membuat takdirku seperti ini? Menikahi perempuan yang hamil di luar nikah. Tidak mempunyai pengetahuan dalam agama. Bahkan-ah, sudahlah. Kamu tidak mempunyai kelebihan. Jadi, jangan berharap banyak padaku. Keluar sana, aku tidak membutuhkan kehadiranmu."lanjutnya.
Rista membuang muka lalu dengan langkah besar ia meninggalkan kamar Ardan.
Ia memutuskan masuk ke dalam kamarnya. Mengambil bantal lalu menggigitnya. Ia pun meluapkan tangisannya, memilih untuk tidak bersuara.
Sakit terasa menusuk dadanya. Sepatah kata yang dikeluarkan dari bibir Ardan, hanya celaan.
"Aku hanya mencintai kakakmu, dia mempunyai standar yang pas untuk gelar seorang istri."
Rista menambah kekuatan gigitannya. Rasanya seperti ditusuk-tusuk belati, rasanya mau mati tapi tidak mati. Mau menyerah, tapi bingung nanti bagaimana.
Rista meraih ponselnya dan menekan sebuah nomor. Terdengar suara panggilan tersambung.
"Assalamualaikum, Alda. Kamu di mana?"
"Waalaikumussalam. Kamu kenapa, Ris? Aku lagi di sekolah."
"Aku tunggu di tempat biasa, ya?"
"Oh, oke baiklah. Aku akan segera ke sana."
"Oke, aku tunggu. Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
Tut!
Rista memutuskan untuk membersihkan dirinya di kamar mandi. Setelah selesai ia pun meraih kunci motor dan menuju tempat biasa ia nongkrong dengan Alda.
Di kamar sebelah, Ardan melihat Rista yang sudah ke luar. Ia meraih ponselnya dan menekan sebuah nomor.
Panggilannya beberapa kali terputus. Tapi, Ardan tidak menyerah. Ia terus berusaha menelpon sampai akhirnya pertahanan Riska goyah. Riska pun mengangkat panggilan itu.
"Assalamualaikum, Riska. Kamu sibuk? Aku pengen ngobrol nih. Semoga aku tidak mengganggumu."
"Hm, apa itu? Sebenarnya aku tidak mau, Ar. Aku tidak mau menggangu kamu lagi. Apa Rista tidak marah?"
"Itulah yang mau aku bahas sama kamu. Boleh 'kan?"
"Hm, baiklah."
***
Sepanjang jalan, Rista lagi-lagi menumpahkan tangisnya. Kalimat demi kalimat Ardan begitu sangat tajam.
Untunglah Rista memakai helm, jadi orang tidak akan mengasihaninya. Cukuplah hal ini sedikit membuatnya tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rista dan Ardan
RomanceCerita ini adalah lanjutan My Senior My Husband ya. Membahas cerita kakak nya Zahra sama Kakak Iparnya ya. cekidot!