BAB 28

3 0 0
                                    

   ARDAN sedang membuat kopi pahit agar menahan kantuknya. Harusnya ia sudah pulang jam delapan malam ini.

Tapi, akibat insiden yang terjadi kemarin mengharuskan ia lembur.

Riska melapor pada Pak Bos. Tentu saja hal itu membuat Pak Bos tersulut emosi. Beliau pun meminta pengertian Ardan untuk terakhir kalinya.

Mau tidak mau Ardan harus menuruti kemauan Pak Bos.

Dengan syarat, Riska tidak boleh mempunyai niat buruk. Itu saja.

"Gue udah ditelepon emak, Ar. Gue balik duluan, ya,"ucap Afif berpura-pura sembari membereskan meja kerjanya.

Ardan berdecak kesal, ia tidak mau ditinggal berdua dengan Riska. Itu bisa saja menggoyahkan niat yang sudah lama ia bentuk.

Segera saja Ardan menaruh dua lembar uang 20 ribu di atas meja Afif. Ia akan menyogok lelaki itu.

"40 ribu doang nih? Gue cabut, ya. Bye!"lanjutnya sembari mulai melangkahkan kakinya.

"Gue tambahin 100! Balik sini!"pancing Ardan setengah teriak. Bahkan ia sudah tau Afif pasti akan berbalik dan duduk di kursi kerjanya.

Afif bersungut sembari mendesis, "Tau aja Lo. Dari tadi kek."

Riska menyeruput secangkir susu coklat yang dipesan online. Matanya masih menunggu kedua lelaki itu duduk di depannya.

Kedua lelaki itu duduk dengan gusar di depan Riska. Ardan menarik napasnya kemudian ia menenangkan pikirannya.

"Bagian mana yang mau aku bantu?" Ardan bertanya sembari menatap sarkas pada Riska.

"Nggak usah pake aku-kamu, Ardan! Pake lu-gue aja. Nanti malah balikan."Afif berceloteh membuat Riska panas dingin. 

"Hm, sini berkas lu, biar gue bantu."ulang Ardan menuruti ucapan Afif.





    ***






  Rista sedang memulai panggilan suara pada suaminya. Biasanya ia sudah pulang, ini sudah jam sembilan malam tapi ia tidak pulang juga.

Panggilan itu terjawab oleh operator. Katanya sibuk. Sesibuk itu kah sampai tidak mengirimkan pesan?

Tumben sibuk.

"Udah kali, Ris. Mungkin Kak Ardan emang lagi sibuk. Lagian 'kan ada aku." Zahra mengangkat kepalanya sedikit. Kemudian, kepalanya ia baringkan lagi di atas sofa. Tepatnya, selonjoran.

"Ya, nggak sih, Ra. Aku khawatir kalau Mas Ardan belum pulang jam segini. Soalnya belum pernah begini. Kalau ada apa-apa di jalan, bagaimana?"jawab Rista sembari menatap nanar pada Zahra.

"Udah, doa in aja. Kalau kamu berpikiran negatif, takutnya yang terjadi malah negatif juga."sahut Zahra  menepis pikiran buruk Rista.

Pelan-pelan Rista mulai tenang. Tentu saja kalimat istighfar yang berhasil membuatnya tenang.

"Ris, bagaimana tentang suara om-om yang kamu bahas di kafe kemarin?" Zahra mengganti posisinya menjadi duduk. Mereka saling berhadapan.

Rista menggeleng pelan, "Sebenarnya aku juga belum tau apa-apa. Bisa jadi hanya suaranya saja yang sama, orangnya belum tentu."

"Kalau ternyata orangnya adalah orang yang sama?"

"Setau aku, Ra. Pak Madi itu tuh adalah orang yang baik. Beliau sering menjadi orang suruhan Ibu buat bantu-bantu hal kecil.  Seperti jadi sopir. Jadi, nggak mungkin Kak Riska nggak kenal sama beliau." Rista menuturkan gagasannya.

"Oh begitu. Hm, baiklah. Lagian kita juga nggak boleh su'udzon, kan?" Zahra membenarkan perkataan Rista.

"Iya dong."jawab Rista secepatnya. "Jadi, Ra, siapa kakak kelas yang kamu taksir?"

Zahra menahan napas nya sembari melirik sarkas pada perempuan itu. Sampai akhirnya ia menyerah, toh nanti Rista juga tau siapa nama lelaki itu.

"Ilham Handoko. Plis, Ris, jangan kasih tau Kak Ardan atau siapapun, ya? Sebenarnya aku udah lama suka sama dia. Semenjak masuk SMA. Tapi, Ayu juga menyukai dia. Lantas aku hanya bisa menahan perasaanku."jawab Zahra dengan sedih.

Rista tersenyum simpul, "Aku tau perasaanmu. Di satu sisi kamu pasti punya effort yang nggak main-main. Tapi, di sisi lain, kamu harus mengubur dalam perasaan itu. Mencintai orang yang sama dengan orang terdekat kita, justru menjadikan bumerang untuk diri kita."

Zahra mengangguk sedih, ia membenarkan perkataan Rista. Namun, sedetik kemudian matanya menyelidik ke arah perempuan di hadapannya.

"Wah, kamu juga pernah rasain itu? Sama siapa, Ris? Kak Ardan?" Zahra menatap Rista dengan berbinar.

Rista ingin menyembunyikan ini, tapi ia pikir harus menceritakannya pada Zahra. Mungkin saja Zahra bisa menjadi tempat antara keduanya.

"Iya, Ra. Tapi, perasaan yang aku rasakan ketika aku menikah dengan Mas Ardan. Kak Riska itu dulunya pacar kakakmu. Ya, kakakmu dan kakakku dulunya pacaran. Tapi, ada suatu masalah yang mengharuskan aku menikah dengan Mas Ardan—"

"Iya, aku tau kok. Karena kamu hamil, kan?" Zahra menyela perkataan Rista yang belum selesai. Tentu saja, Rista menggelengkan kepalanya. Hal itu membuat Zahra harus mendengarkan penuh penjelasannya.

"Alasan aku hamil adalah kebohongan. Sebenarnya, kamu bisa menebak mendengar obrolanku dengan Alda kemarin. Ya, yang hamil adalah kakakku. Kak Riska, ia diperkosa oleh seorang lelaki yang suaranya persis seperti suara Pak Madi. Tapi, aku tidak boleh menuduh beliau. Bagaimana pun aku selalu melihat kebaikan beliau."

Zahra mengangguk paham, sekarang ia mengerti permasalahan keduanya. Dengan senyum simpul, ia duduk di samping Rista.

"Tenang aja, Ris. Kak Ardan nggak mungkin selingkuh. Dia anti selingkuh. Percaya deh sama aku."ujar Zahra seraya mengelus pundak Rista.

"Bagaimana kalau poligami?"











   ***






















 

Rista dan ArdanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang