"Bagaimana kabarmu? Maaf ya baru bisa jawab telponmu." Setelah memastikan Rista sudah di kamarnya, Ardan berniat untuk berbicara dengan Riska. Rasa rindu di dalam dadanya menggelora.
"Hehe...nggak apa-apa kok, Ar. Yang penting kamu tetap kasih kabar. Agar aku tau kamu baik-baik saja."
"Iya, bidadari surgaku. Heheh... Kamu juga, jangan lupa kabari aku. Oke? Sekarang, kamu lagi apa?" Dari berdiri di depan jendela, Ardan menjatuhkan badannya di kasur. Obrolan mereka semakin intens. Semakin mengeratkan perasaan mereka.
Malam ini masih sama. Masih hujan seperti malam kemarin. Sehabis makan malam, keduanya masuk ke dalam kamar masing-masing. Tanpa basa-basi lagi. Rista merasakan ada yang aneh pada dirinya. Sepertinya ia mulai jatuh cinta pada suaminya. Ini kedua kalinya ia merasa jantungnya berdebar kencang ketika mereka memasak bersama.
Setelah malam kemarin, Rista masih bingung dengan perasaannya kali ini. Rasa itu hadir tanpa diminta. Dan juga tidak bisa ditolak. Semakin ditepis, semakin ia memikirkannya.
Apakah aku harus menelpon Kak Riska dan memberitahunya soal ini?
Pikirannya berkecamuk, berputar mengelilingi isi kepalanya. Langkah kaki nya berjalan ke pintu dan berputar ke meja, begitu seterusnya. Membuatnya seperti setrika berjalan.
Setelah menarik nafas panjang, ia memutuskan untuk menelpon saudara angkatnya. Panggilannya beberapa kali terputus. Operator mengatakan si empu sedang sibuk.
Aku harus apa? Apakah aku harus mengatakannya langsung pada Kak Ardan? Oh tidak mungkin!
Kepalanya menggeleng beberapa kali. Ia berusaha menepis rasa kagumnya pada Ardan. Menurutnya, Ardan itu sempurna. Dari sikapnya saja ia menghormati gadis yang dinikahinya. Walaupun, Ardan sudah memperlakukannya dengan kasar. Tapi, kalau bukan karena Alda. Ardan tidak mungkin bersikap seperti itu.
"Sepertinya, aku harus bicara sama Kak Ardan. Huh! Semangat Rista!" Ia mengumpulkan niat yang kuat. Lalu, membuka pintu. Berjalan dengan hati-hati. Kemudian, mengetuk. Oh tidak. Sebelum mengetuk pintu kamar. Ia mendengar suara Ardan dari dalam kamar.
Tampaknya Ardan sedang bercengkrama melalui telpon. Ia menghembuskan nafasnya pelan. Berpikir bahwa ini bukanlah waktu yang tepat. Mungkin di lain waktu. Sebaiknya kembali ke kamar dan beristirahat. Tapi, langkahnya berhenti. Nafasnya tercekat setelah mengetahui siapa yang berbicara dengan Ardan. Ia mendekatkan telinganya di depan pintu kamar Ardan. Mungkin saja ia salah dengar.
"Hahah...aku janji. Masa kamu nggak percaya sama aku sih. Kita kan udah saling kenal. Dan apa pun yang aku janjikan, pasti aku tepati. Iya, 'kan, Ris?"
Rista membuang mukanya. Lagi, nafasnya hampir sama berhenti. Ia memukul pelan dadanya untuk mendapat oksigen. Bulir-bulir bening membasahi pipi nya. Ia meninggalkan tempat itu dengan cepat ketika mendengar langkah kaki Ardan mendekati.
Ia menghempaskan tubuh dan menutup wajah dengan bantal. Ia kembali terisak. Kali ini, hatinya terasa sakit sekali. Lebih sakit daripada menerima perlakuan kasar dari lelaki itu.
Hujan semakin lebat, menjadi teman baru untuknya. Menemani kesedihannya di malam ini.
***
Rista mulai mengambil sapu dan beberapa alat pel. Pagi ini, ia merasa agak enakan. Kalau sedih terus, tidak akan terjadi apa pun. Kali ini ia sudah memutuskan untuk menambah kegiatannya. Jam sepuluh pagi ia harus bersiap untuk membantu Ummi. Jadi, ia berpikir untuk membersihkan rumah dahulu.
Sapu itu berputar berlawanan. Ia mengumpulkan dari arah barat, utara, selatan, dan timur menjadi satu tujuan di dalam serokan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rista dan Ardan
RomanceCerita ini adalah lanjutan My Senior My Husband ya. Membahas cerita kakak nya Zahra sama Kakak Iparnya ya. cekidot!