BAB 27

1 0 0
                                    

   BRAK!!!

Pak Bos menggebrak meja dengan emosi yang tersulut. Ia tidak habis pikir dengan pikiran Ardan. Ia kira lelaki itu tidak pernah membawa masalah rumah di tempat kerja.

"Sudah dua minggu, Ardan! Kenapa kamu tidak bisa profesional?! Bapak tidak mau tau, laksanakan kerjamu seperti yang seharusnya! Jangan kamu acuhkan karyawan baru itu! Paham kamu?!"

Riuh suara dari luar ruangan. Mereka mengantri untuk mendengar apa yang obrolan mereka.

"Pak, kali ini saja. Tolong, Pak. Ardan tidak bisa jika harus satu pekerjaan dengan dia. Istri Ardan pasti marah besar, Pak. Tolong pengertiannya, Pak."ujar Ardan dengan tatapan kesungguhan.

Ia sungguh tidak mau menerima Riska lagi. Apalagi ia tahu maksud kedatangannya. Perempuan itu sangat busuk. Licik.

"Kalau begitu urus saja berkasmu. Tidak usah kerja di sini lagi. Paham? Kecuali kamu mau bekerja sama tim dengannya. Pikirkanlah dulu, Ardan. Anak muda seperti kamu memang masih membara. Pikirkan dengan matang. Baiklah, Bapak harus menemui klien. Dia pasti sudah menunggu."

Pak Bos pun pergi meninggalkannya. Beberapa karyawan cekikikan dengan kejadian tersebut. Mereka adalah orang-orang yang iri atas prestasinya. Sebab kedatangan Ardan lah yang membuat penjualan dari perusahaan berkembang sangat pesat.

Ardan meremas kepalanya. Ia harus bagaimana? Apa yang harus dilakukan? Apakah ia harus resign? Tapi, Rista tengah hamil. Ia pasti membutuhkan biaya untuk kedepannya.

Apalagi, Ardan sudah menghabiskan sebagian gajinya untuk Via. Jadi, tabungannya sangat kecil. Ia tidak mungkin harus keluar. Kecuali, ada pekerjaan tambahan.

Ya. Ia harus menemukan pekerjaan tambahan lalu keluar dari perusahaan ini. Terlebih, ia harus terlepas dari jeratan perempuan licik itu.




 

  ***







  Dengan langkah lesu, Ardan menyeret kakinya menuju meja kerjanya. Matanya penuh menyelidik pada kopi susu di atas mejanya.

Dari aroma kopi tersebut, ia tau siapa yang membuatkannya. Siapa lagi kalau bukan Riska?

Riska sedang tersenyum penuh makna. Ia bahkan mengedipkan sebelah matanya. Kemudian, pandangannya beralih ke dokumen di hadapannya.

Ardan menghela napas panjang. Kedua tangannya ditaruh di kepala belakang. Punggungnya menyender di kursi kerja.

Temannya, Afif, menyolek pinggang Ardan. Membuat lelaki itu menoleh dengan tatapan malas.

"Mau dibilang berapa kali sih? Nggak usah colek-colek. Aku bukan sabun colek."sahut Ardan dengan memicingkan matanya.

Afif menahan gelak tawa dengan sekuat mungkin. Sampai-sampai wajahnya memunculkan gurat merah jambu.

"Sejak kapan lu manggil gue pake kata 'aku'? Ih najis!"balas Afif sembari menutup hidungnya.

Kali ini, Ardan yang menahan gelak tawanya. Wajahnya pun sudah memerah.

Kalau sudah mengobrol dengan Afif dijamin bakal ketawa terpingkal-pingkal. Karena ia sangat lucu. Kelihatan dari wajahnya. Wajah-wajah pelawak.

Bahkan, Ardan pernah ketawa hanya karena melihat wajah Afif. Saking mendalaminya.

"Fif, lu ada waktu nggak sore ini?"tanya Ardan sembari meletakkan segelas kopi susu di atas meja Afif.

Rista dan ArdanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang