BAB 24

5 1 0
                                    

  "IBU telpon kemarin, katanya Kak Riska lagi di Rumah Sakit. Ibu juga minta kita untuk secepatnya pulang."

Sembari mengemas barangnya, Rista melirik Ardan yang sedang memainkan ponselnya.

"Oh, sakit apa?"tanya Ardan tanpa menoleh.

Pertanyaan itu membuatnya sedikit kikuk. Apa yang harus dijawab?

"E-e-eh, sakit perut, Mas." Rista menahan napas setelah memberikan jawaban.

Ardan sama sekali tidak bereaksi. Bahkan, matanya tidak bisa lepas dari ponselnya. "Hanya sakit perut kok, lagian udah ditangani sama Dokter, kan?"

"I-iya, Mas."jawab Rista singkat. Ia kemudian diam.

Sekilas Ardan memberikan senyuman genit. Rista menautkan alisnya sembari menebak apa yang sedang dilakukan lelaki itu. Ia bahkan belum berani untuk membuka ponsel Ardan. Padahal mereka sudah suami istri.

Ardan menghempaskan ponselnya di atas kasur. Kemudian, ia menghampiri Rista.

"Ayo, kita mengerjakan pekerjaan yang seharusnya."ucap Ardan sembari membuka kancing kemejanya satu persatu.

Mata Rista terbelalak, "E-e-eh, ga boleh gitu. Dos—"

"Dosa?! Kita sudah menikah."ucap Ardan menyanggahnya.

Jantung Rista kali ini seperti drum yang dipukul saat konser. Ia menutup matanya pelan sembari menghapal mantra.

"Kamu kenapa?"


   ***



  Sehabis sholat Dzuhur, Ardan memutuskan untuk membeli makanan di luar.

Karena Rista tidak mau ikut, ia pun pergi sendirian. Gadis itu mengintip dari selimut.

"Huh, syukurlah."ucapnya sembari mengusap dada.

Ia kemudian bergegas ke kamar mandi dan membersihkan dirinya.

Ingatannya berputar ke insiden barusan. Mengingatnya membuat gadis itu malu setengah mati.

"Apa yang sebenarnya terjadi? Dia menyentuhku?"lirihnya sembari membuang handuk dengan kasar.

"Eh! Bagaimana ini? Kenapa aku tidak bisa mengontrol diriku? Kenapa aku harus menuruti keinginannya?"

"B-bagaimana kalau ia bertemu dengan Kak Riska? Oh! Aku lakukan kesalahan besar. Aahhhh!!"

Rista asik menggumam sampai tidak sadar bahwa lelakinya sudah ada di belakang.

"Memangnya kenapa kalau aku ketemu dia? Hm?"tanya Ardan dengan sarkas.

Rista berbalik sembari menutup mulutnya. Ia takut Ardan akan marah besar. Ia memilih untuk diam.

"Kamu pikir aku akan kembali setelah melihatnya? Kalau begitu, itu adalah kesalahan besar. Oh, lagipula kenapa kamu berkata bahwa hubungan suami istri itu adalah kesalahan besar?"tanya Ardan dengan penuh penasaran.

Kini, mereka sudah saling berhadapan. Bahkan, tangan Ardan sudah memegangi bahunya.

"A-aku...minta maaf. Iya, aku minta maaf, Mas. Aku mengatakan semuanya tanpa harus berpikir dulu. Maaf, ya?"ucap Rista membujuknya.

"Tidak, Dik. Jangan mengalihkan pembicaraan. Jawablah."timpal Ardan menggebu.

Rista memejamkan matanya sesaat, setelah menghembuskan napas. Pandangannya menatap lurus pada Ardan.

"Aku takut Mas akan menceraikan ku. Bukan kah dulu Mas berjanji akan menceraikan aku setelah enam bulan pernikahan?"tanya Rista dengan mata berkaca-kaca.

"Itu dulu, Dik. Mas tidak akan menceraikanmu. Mas janji."tegas Ardan lalu memeluk Rista.

Tangannya mengusap pelan punggung istrinya. Berusaha meyakinkannya. Ia pun sudah memantapkan hati sebelumnya.

"Mas janji."ucap Ardan lagi sembari mengeratkan pelukannya. "Kalau begitu, kita harus memperbanyak waktu pekerjaan kita."

Rista melepaskan pelukan. Sekarang matanya membidik Ardan. "Mas, kamu belum minum Ranitidine?"

"Buahahahahahah..." Ardan tergelak. Istrinya baru saja mengeluarkan lelucon itu lagi.

  ***




  Malam ini, mereka menghabiskan waktu di luar. Mereka berlarian di tepi pantai.

Dari menikmati senja, sampai menyaksikan bulan naik setinggi langit.

"Ayo, habiskan waktu malam ini. Besok pagi kita sudah kembali ke Jakarta."seru Ardan sembari mengejar Rista.

Di tangannya sudah ada segenggam pasir putih. Ketika ia sudah mendekati Rista, ia langsung melempar pasir pada tubuh istrinya.

Rista yang tidak terima mulai mengambil pasir dan mulai menerjang balik Ardan.

Canda tawa dan gurauan menghidupkan suasana mereka.

Siapa yang tau akan kelanjutan hari esok? Mungkin saja hal buruk akan terjadi.

Tapi, biarlah mereka menikmati waktu ini.

"U-udah.. aku capek."seru Ardan lalu menjatuhkan bokongnya ke bawah.

Rista mengangguk kecil lalu duduk di samping suaminya.

Napas mereka masih terengah-engah. Pemandangan di belakang membuat mereka menoleh.

Beberapa klakson mobil dan motor bersahutan. Mereka adalah pengunjung yang akan pulang.

Sekarang, sudah tidak ada orang selain mereka berdua.

Ardan mendekatkan posisinya. Setelahnya, ia menarik kepala Rista pada bahunya.

"Ris, berjanjilah. Apa pun yang terjadi, kita tidak akan berpisah."ucap Ardan lalu memberikan kelingkingnya.

Lima detik kemudian, Rista menautkan kelingkingnya.

"Kenapa Mas berkata seperti itu?"tanya Rista sembari membenarkan hijabnya yang mulai tidak teratur.

"Karena dalam pernikahan pasti akan banyak masalah yang kita lalui."jawab Ardan sembari memandang ke arah laut.

Rista terkekeh, "Mas, mau kita menikah atau tidak, ujian akan tetap datang."

Ardan terkikik geli, "Kamu benar, Dik."

"Karang tidak pernah pergi walau diterjang ombak sekalipun. Sekuat apapun usaha ombak tersebut, tidak mampu meruntuhkan karang."ucap Rista sembari menatap lurus.

"Tapi, ia akan hancur karena ulah orang yang tidak bertanggung jawab. Apa kamu juga akan sepertinya ?"timpal Ardan menoleh.

Rista tersenyum samar, "Tentu saja tidak. Walaupun masalah sebesar bumi dan tata surya. Aku akan berkata, 'Hei, aku punya Allah yang Maha Besar'. Keren, kan?"

Lagi, Ardan terkikik geli. Tangannya mengusap kepala Rista. "Iya, kamu sangat keren dan luar biasa."

Rista menutup mukanya karena malu.  Ardan terus memandanginya. Jemarinya pun sudah mengusap wajah Rista yang memerah.


     ***

Rista dan ArdanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang