XV. Ular Hijau

10 2 13
                                    

Pria yang baru saja datang itu penampilannya terbilang mencolok sekaligus misterius. Mencolok karena setelan hijau-hijau yang dikenakannya, mulai dari baju, jubah bahkan sampai celana. Misterius, sebab sebagian wajahnya, mata ke bawah, ditutup kain yang warnanya serupa baju dan jubahnya, hijau. Ditambah lagi rambut panjangnya yang dibiarkan terurai tak beraturan melengkapi kesan misterius dari pria itu. Rambut pria itu warnanya hitam, tapi sebagian sudah tampak jelas memutih.

Untuk sepersekian detik lamanya pandangan semua orang terpaku pada pria yang oleh Mayang Sari dipanggil guru itu. Mereka semua dengan teliti mengamati setiap detil yang ada pada diri si jubah hijau tersebut sambil menerka-nerka siapa adanya dia. Kemudian, nama seorang tokoh besar pun muncul di kepala mereka begitu saja. Terlebih setelah melihat di tangan kiri pria hijau itu tergenggam sebuah tongkat berkepala ular kobra.

"Nyi, apa jangan-jangan orang yang berada di depan kita ini adalah orang itu?" berbisik Uji pada Nyi Welang.

"Dilihat dari penampilannya sudah pasti itu dia," sahut Nyi Welang yang juga berbisik.

"Kalau begitu kita dalam masalah besar. Si angin putih memanggilnya guru, itu berarti kita telah menyinggungnya."

Nyi Welang mendesis. "Ini memang tak akan mudah. Aku akan coba mengulur waktu, sementara itu secara diam-diam kau panggil anggota sebanyak mungkin!"

"Baik." Setelah menyahut sosok Uji diam-diam menghilang dalam kegelapan.

"Ki sanak!" seru Nyi Welang pada si jubah hijau. "Aku pernah dengar sebuah syair yang berbunyi begini: Andakara dwipa luas tak terkira
Banyak negeri makmur sejahtera
Tapi bila ular hijau tampak di mata
Maka pertanda akan datangnya bencana."

"Hahaha..!"

Si jubah hijau tertawa. Suaranya yang parau bergema di udara. Suaranya yang tak enak didengar itu menebarkan teror, membuat bulu kuduk semua orang meremang seketika. Selain daripada itu, juga mengakibatkan dedaunan di pohon-pohon sekitar bergetar lalu berguguran. Sebab, tawa si jubah hijau bukan tawa biasa melainkan juga disertai dengan mengerahkan tenaga dalam. Apa yang si jubah hijau lakukan itu seolah ingin menunjukkan betapa tinggi dan lihai ilmu silatnya pada setiap orang yang ada di tempat tersebut.

"Edan!" decak Nyi Welang dalam hati.

"Itu syair yang bagus, tapi kenapa aku tak pernah dengar? Apa itu ciptaan Nyisanak sendiri?" berkata si jubah hijau setelah tawanya reda.

"Tidak, aku bahkan tidak tahu siapa yang mengarangnya. Namun, itu bukan masalah utamanya. Syair tadi, bukankah itu menggambarkan tentang Kisanak? Benarkan sekarang ini aku sedang berhadapan dengan pendekar ular hijau yang hebat itu?"

Si jubah hijau terkekeh pelan. "Nyisanak, tidak salah, aku memang si ular hijau."

Seulas senyum terukir di wajah Nyi Welang. Sebuah senyum yang sangat terasa dipaksakan dan sekadar basi-basi. "Sungguh suatu kehormatan bisa berjumpa dengan pendekar sehebat Kisanak di tempat ini."

Si jubah hijau yang tak lain adalah pendekar ular hijau mendengus. "Tak perlu banyak berbasa-basi. Kau, dan seluruh keroco-kerocomu telah berani menindas gadis kecil yang tak lain adalah muridku. Itu sama artinya kalian telah menyinggungku. Sekarang, bagaimana aku meminta pertanggung jawaban kalian?"

"Mana berani kami menyinggung pendekar sehebat Kisanak. Ini hanya kesalahpahaman kecil antara kami dan murid Kisanak," kilah Nyi Welang.

"Kami cuma punya urusan dengan pria itu." Tujuk Nyi Welang pada Patih Mandala. "Sebenarnya kesalahpahaman ini bisa selesai dengan mudah asalkan murid Aki mau menyerahkan pria itu pada kami."

"Enak saja! Sampai matipun aku tidak akan menyerahkan Kakang Mandala pada kalian!" serobot Mayang Sari.

"Nyi, kau sudah dengarkan jawaban muridku? Dan sebagai guru aku akan selalu membelanya. Lantas, sekarang Nyisanak sekalian mau berbuat apa?"

Nyi Welang mendesis. "Apa boleh buat, kami juga tidak bisa kembali tanpa membawa pria itu!"

Wanita itu kemudian bersiul panjang. Tak lama berselang Uji bersama puluhan orang bertato ular keluar dari kegelapan. Jumlah mereka dua kali lebih banyak jika dibandingkan orang-orang yang sudah mengepung Mayang Sari bertiga.

"Ular hijau! Meski kau dijuluki dewa silat dengan orang sebanyak ini tak mungkin kau bisa pergi dengan selamat!" seru Nyi Welang congkak. "Malam ini kau bersama dengan muridmu akan menjadi hantu baru yang penasaran di Hutan Dedet ini!"

"Ho, mau mengujiku? Tidak masalah." Ular hijau beralih pada Mayang Sari. "Mayang Sari, bawalah temanmu itu berlindung!"

"Gu__,"

Mayang Sari sudah membuka mulut mau mengatakan sesuatu. Namun, satu isyarat tangan dari sang guru membuatnya kembali bungkam.

"Setelah sekian lama tak bertemu aku tahu banyak yang ingin kau katakan padaku, aku pun juga begitu. Tapi, itu bisa kita lakukan nanti saja setelah aku bereskan orang-orang ini."

"Baik, murid menurut perintah." Setelah berkata Mayang Sari segera menggamit Patih Mandala. Kemudian dengan sekali hentakan tubuh gadis itu melayang ke udara bersama Patih Mandala. Dan kemudian mendarat di sebuah dahan pohon.

End....

Legenda Ular HijauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang