XVIII. Sepuluh Hari Lalu di Lemah Abang

12 1 0
                                    

Sepuluh hari lalu,

Di tengah-tengah Hutan Dedet terdapat sepetak tanah datar yang lebih tinggi satu tombak dari tanah di sekitarnya. Karena tanah tersebut terbentuk dari tanah merah, makannya orang-orang memberi nama Lemah Abang. Di atas tanah bernama Lemah Abang itu tumbuh sepasang pohon kepuh yang tinggi menjulang serta rimbun.

Bertahun-tahun silam, di Lemah Abang, tepatnya di bawah sepasang pohon kepuh itu, para pemimpin dari enam kelompok penguasa Hutan Dedet bertemu. Di sana mereka mengadakan perjanjian, membagi Hutan Dedet menjadi enam bagian, dengan batas-batas yang jelas. Kemudian, pada tahun-tahun setelahnya, Lemah Abang dijadikan sebagai tempat pertemuan antar pemimpin kelompok, meskipun hal itu sangat jarang terjadi.

Hari itu, sebuah gumpalan asap terlihat membumbung dari Lemah Abang. Dan itu merupakan isyarat jika seseorang ingin mengadakan pertemuan antar pemimpin kelompok di sana. Terakhir kali terlihat asap membumbung dari Lemah Abang adalah tiga tahun lalu.

Tepat pada tengah hari yang berawan, enam pemimpin dari enam kelompok penguasa Hutan Dedet telah tiba di Lemah Abang. Rupanya, selain enam pemimpin ada dua orang lagi yang telah hadir terlebih dahulu di Lemah Abang. Dua orang ini memakai jubah hitam yang memiliki tudung menutupi kepala, makanya susah untuk di kenali.

Begitu melihat keenam pemimpin kelompok telah lengkap semua kedua orang ini pun membuka tudung kepala mereka. Orang berjubah yang pertama adalah seorang laki-laki tua yang umurnya sudah enam puluh tahunan. Sedangkan orang berjubah satunya merupakan seorang pemuda berumur kisaran tiga puluhan.

Si orang tua memiliki janggut berwarna putih sedada dan terdapat beberapa kerutan di dahinya. Sementara si pemuda hanya memiliki kumis tipis yang menghiasi wajahnya.

"Aku sudah menunggu lama, akhirnya kalian datang juga," berkata si orang tua.

"Aku kira siapa yang memanggil kami, ternyata kau si garangan tua," kata lelaki berwajah kusut yang mengenakan jubah beludru merah. Lelaki ini bernama Wre Baranang, pemimpin kelompok monyet.

"Beraninya kau!" Si pemuda mendesis. Dadanya yang tegap membusung.

"Bayan, tahan dirimu!" sentak si orang tua.

"Baik, Tuan." Si pemuda yang dipanggil Bayan itu pun kembali tenang.

"Bertahun-tahun lalu, bukankah kau pernah bilang, hutan ini terlalu rendah untuk diinjak oleh orang agung sepertimu. Coba, apakah hanya aku yang mengingatnya? Atau kalian juga?" Yang baru saja angkat bicara tadi adalah pemimpin kelompok ular. Ki Weling namanya, pria yang memiliki rambut panjang yang digelung. Rambutnya berwarna hitam pekat serta memiliki garis-garis berwarna putih.

"Ya, aku pun masih mengingatnya, dengan jelas," sahut Macan Loreng, pemimpin kelompok harimau, pria berpakaian loreng dengan golok besar yang tersoreng di punggung.

"Jadi, Gusti Ra Awu-Awu, apa yang membuat orang agung sepertimu sampai rela menjilat ludahnya, dan pergi ke tempat yang katamu menjijikkan ini?" Kali ini yang angkat bicara adalah seorang pria berjubah hitam yang menggenggam tombak di tangan kirinya. Pria tersebut bernama Alap-alap Ireng, pemimpin kelompok elang.

"Aku akui, kata-kata itu memang pernah keluar dari mulutku, karenanya aku minta maaf. Tapi sekarang, aku sangat butuh bantuan kalian," ujar si pria tua yang ternyata bernama Ra Awu-awu.

"Hmm... bantuan?" Seorang pria berkepala botak dan berwajah brewok mendengus.

"Tapi,  aku penasaran siapa musuhmu sehingga harus mengandalkan orang kasar seperti kami?" tambah pria yang juga memiliki badan kekar itu. Namanya Lembu Sora, pemimpin dari kelompok banteng.

"Nah, itu benar. Sebagai Rakyan Menteri bukankah kau punya orang-orang yang unggulan? Kenapa harus meminta bantuan dari kami yang hanya kumpulan perampok ini?" timpal laki-laki berambut gimbal yang bernama Bajul Wesi. Pemimpin kelompok buaya, penguasa terkahir Hutan Dedet.

"Kalian pasti sudah tahu Patih Mandala? Satu dari tiga Patih yang dilantik raja empat tahun silam. Beberapa tahun terakhir ini, di bawah pimpinannya pengadilan kerajaan telah banyak menghukum pejabat-pejabat korup__,"

"Jadi, sekarang adalah giliranmu," potong Alap-alap Ireng sebelum Ra Awu-awu menyelesaikan kalimat.

Ra Awu-awu hanya menghela nafas panjang.

"Hahaha...," Wre Baranang tergelak. "Akhirnya si garangan tua ini kena karma juga!"

"Aku tidak bisa menggunakan orang-orang ku karena sebagian dari mereka telah ditangkap dan sebagian lagi sedang dalam pengawasan," terang Ra Awu-awu, mengabaikan Wre Baranang.

"Pantas, alih-alih membawa gerombolan serigala, kau hanya membawa seekor anjing kecil untuk mengawalmu." Kembali Wre Baranang berkata.

Dan kata-kata Wre Baranang itu sukses membuat emosi Bayan tersulut. Sebab ia tahu betul siapa anjing kecil yang Wre Baranang maksud adalah dirinya. Laki-laki berkumis tipis tersebut memegang ganggang pedang yang sedari tadi ia genggam. Namun, dengan satu tatapan dari sang majikan ia urungkan niatnya untuk menerjang Wre Baranang.

"Karena itulah hanya kalian yang bisa membantuku untuk saat ini," iba Ra Awu-awu.

Bajul Wesi tertawa ringan. Kemudian berkata "Hei, garangan tua, apa yang membuatmu berpikir kami akan membantumu?"

"Aku dan kalian telah menjalin hubungan baik sejak lama. Aku juga telah banyak membantu kalian selama ini. Ketika ada anggota kalian yang tertangkap aku sudi untuk membebaskan. Kala ada operasi dari kerajaan aku juga memberi kabar pada kalian. Bukankah wajar saat dalam kesusahan begini aku minta bantuan pada kalian? Dan bukankah juga wajar bagi kalian untuk membantuku?" tutur Ra Awu-awu.

"Hei, hei, hei, garangan tua!" Alap-alap Ireng menghentakkan ujung tombaknya ke tanah. "Kau mengungkit jasa-jasamu pada kami, tapi apa kau lupa dari mana semua hartamu berasal? Juga berkat siapa kau berada di posisimu sekarang?"

"Benar juga, kalau bukan karena kami yang rela mengotori tangan menyingkirkan semua saingan usahamu di masa lampau, posisi rakyan menteri tidak mungkin berada di tanganmu sekarang," timpal Ki Weling.

"Yah, sekarang kau mungkin akan jadi anjing buduk yang meringkuk di pinggir jalan," tambah Macan Loreng.

"Jadi, secara hitungan, kami tak punya kewajiban untuk menolong kamu," tukas pria berpakaian loreng tersebut yang diamini oleh kelima rekannya.

Ra Awu-awu mendesis. Kerutan di dahinya yang memang sudah banyak tambah banyak lagi. Lalu, dengan geram ia berkata, "baik, kalau begitu akan kuberi setengah dari kekayaanku bagi siapapun dari kalian yang berhasil mengambil kepala Patih Mandala!"

Para pemimpin kelompok penguasa hutan Dedet salik lirik. Seulas senyum tipis pun terukir di wajah keenamnya.

"Nah, begitu baru bagus," berkata Lembu Sura dengan senyum merekah.

"Dasar kalian manusia mata duitan!" Umpat Ra Awu-awu.

"Beberapa hari lagi Patih Mandala akan tiba di Wilayah Tumenggungan Waja ini untuk mencari gudang rahasia milikku. Kalian harus habisi dia sebelum kembali ke ibukota! Siapapun diantara kalian yang berhasil membawa kepala Patih Mandala padaku akan mendapatkan setengah dari kekayaanku!" Setelah berkata demikian Ra Awu-awu lekas beranjak meninggalkan Lemah Abang bersama Bayan.

End....


Legenda Ular HijauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang