XXXVII. Penutup

8 0 0
                                    

Baru saja di suatu warung pinggiran desa seorang gadis sebelas tahunan berpakaian kumal masuk. Bukan cuma pakaiannya yang kumal tapi wajah dari gadis itu juga terlihat dekil. Dengan debu yang menempel di sana-sini. Meski penampilan gadis itu sama sekali tidak enak dipandang tapi tak satupun dari pengunjung warung yang mempedulikan. Mereka bersikap acuh dan lebih memilih melanjutkan makan atau sekedar ngobrol dengan rekannya.

"Ki, minta nasi satu bungkus," ujar gadis itu sambil menyodorkan beberapa koin kepeng yang sedari tadi ia genggam pada si mpunya warung.

Si pemilik warung menatap dingin kepingan uang yang berada di tangan si gadis. Dihitungnya jumlah uang si gadis, ternyata jumlahnya sangatlah kurang untuk membeli satu bungkus nasi saja. Namun, tetap saja uang itu ia terima dan tanpa banyak bicara lagi ia bungkus kan satu porsi nasi sesuai pesanan si gadis. Hal itu ia lakukan bukan semata-mata karena rasa kasihan, simpati atau apalah itu namanya. Namun, karena ia ingin mengusir gadis itu dengan halus dan cepat agar tidak menganggu tamu-tamunya yang lain. Dalam daripada hal ini sebenarnya si pemilik warung menganggap si gadis merupakan seorang pengemis yang rendah.

Setelah mendapat apa yang diinginkan, gadis itu pun segera keluar warung dengan berlari. Dan hampir saja ia menabrak seorang pria yang baru saja mau masuk ke dalam warung.

"Dasar pengemis tak tahu adat!" umpat orang yang hampir saja di tabrak si gadis. Namun, rasanya percuma saja pria itu mengumpat soalnya orang yang diumpat sudah berlari menjauh dan sepertinya juga tidak mendengar.

Sementara itu di sebuah rumah yang lebih mirip gubuk reot, seorang wanita tiga puluh tahun terlihat sedang duduk termenung di depan teras. Wanita itu duduk di atas dipan yang terbuat dari bambu yang biasa oleh orang-orang disebut lincak. Wajah wanita itu tampak begitu lesu, pucat dan sama sekali tak punya gairah hidup. Pandangannya juga kosong seakan jiwanya telah keluar.

Namun, tiba-tiba wanita itu tersenyum dan gairah kehidupan miliknya bangkit lagi saat ia melihat dari jauh seseorang berlari mendekat. Sayangnya, sesaat kemudian semangat hidup wanita itu kembali redup saat tahu jika orang yang berlari itu bukan orang yang ditunggu.

Setelah berlari sepanjang perjalanan akhirnya gadis kecil itu sampai di sebuah gubuk reot yang biasa ia sebut rumah. Hanya tatapan kosong tanpa kehidupan dari wanita yang ia sebut yung atau ibu yang menyambutnya di gubuk tersebut. Hal itu tentu saja membuat hati si gadis getir. Namun, itu bukan hal baru bagi si gadis. Sehingga mudah baginya untuk mengabaikan sikap sang ibu.

Gadis kecil itu meletakkan bungkusan nasi yang dibawanya di samping ibunya, lalu ia sendiri langsung berlari menuju dapur. Menyerang air, setelah air mendidih dibuatnya segelas wedang hangat. Dengan segelas wedang hangat di tangan gadis itu pun kembali menghampiri ibunya di teras.

"Yung, makan dulu ya?" ujar si gadis lembut. Sayangnya tak ada sahutan sama sekali dari si ibu. Mulut wanita itu memang terbuka tapi tak ada suara yang keluar.

Namun hal itu tidak membuat si gadis kecil sakit hati terlalu dalam. Diumur yang sekecil itu ia sudah maklum dengan keadaan ibunya. Segera ia membuka bungkus nasi dan menyuapkannya pada sang ibu.

Dulu keadaan ibu dan anak itu tidaklah begitu nestapa seperti sekarang. Meski dulu mereka juga tinggal di rumah yang lebih mirip gubuk reot tersebut tapi rona kebahagiaan selalu terpancar dari wajah keduanya.

Perubahan besar ibu dan anak itu terjadi setelah sosok suami sekaligus ayah di rumah tersebut menghilang. Kejadian ini terjadi sekitar setahun lalu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 19 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Legenda Ular HijauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang