XXXV. Ajian Pemikat

1 0 0
                                    

Melihat banyak orang yang datang mengepung Ular Hijau, Alap-alap Ireng yang dalam beberapa saat terakhir hanya mengerang tiba-tiba tertawa. Suara tawanya terdengar parau dan kering.

"Ra Awu-awu sialan itu, benar-benar tahu cara memanfaatkan orang untuk kepentingannya sendiri," ujar Alap-alap Ireng setelah tawanya mereda.

Di waktu itu juga seluruh wajah pemimpin kelompok elang tesebut telah berubah jadi ungu.

"Ular Hijau, kau bilang kematian kami berenam hari ini adalah karma bagi kami, tapi sepertinya karmamu juga akan segera datang," lanjut Alap-alap Ireng kemudian kembali mengerang.

"Ular Hijau, sampai jumpa lagi di neraka!" Jiwa Alap-alap Ireng putus seketika begitu perkataannya habis. Wajahnya yang sebelumnya telah berwarna ungu berubah lagi jadi hitam dan kering sama seperti bagian tubuh lainnya.

"Karmaku? Sayang sekali hal itu tidak akan terjadi, setidaknya tidak hari ini." Ular Hijau menanggapi kata-kata terakhir Alap-alap Ireng dengan dingin. Kemudian tangan pria itu menyambar kembali tongkatnya yang tertancap di tanah. "Gusti Patih, orang-orang yang mengepung kita ini adalah orang-orang yang tak pernah menghargai nyawa orang lain. Setidaknya satu atau dua nyawa manusia pernah mereka hilangkan tanpa ada keraguan sama sekali. Karena itulah, Gusti Patih, aku akan mewakili untuk memberikan hukuman atas kejahatan mereka."

"Apa maksud Anda, Ki?" tanya Patih Mandala yang masih belum mengerti maksud perkataan Ular Hijau.

"Guru, jangan Guru ingin_." Mayang Sari tak melanjutkan sebab ia sudah tahu apa yang gurunya ingin lakukan.

"Mayang Sari persiapkan dirimu dan jangan lupa jaga Gusti Patih!" Selesai berkata Ular Hijau memegang erat tongkatnya dengan dua tangan serta menempelkan bagian belakang kepala tongkat ke mulut lalu meniupnya.
Suara seruling pun mengalun.

Dari nada tinggi berangsur merendahkan kemudian tinggi kembali. Dari keras berubah lembut dan sebaliknya. Tinggi, rendah, keras, lembut silih berganti hingga membentuk suatu irama seruling yang indah, menawan serta memikat.

Bukan tanpa alasan tongkat Ular Hijau dinamai tongkat enam wujud. Seperti namanya, tongkat itu memang memiliki enam wujud. Wujud pertama adalah tongkat, wujud kedua pelontar senjata rahasia, wujud ketiganya pedang, keempat tombak dan kelima tombak berantai. Sedang wujud terakhir dari tongkat enam wujud adalah seruling. Di belakang kepala dan batang batang tongkat terdapat lubang-lubang kecil yang mirip pada sebuah seruling. Melalui lubang-lubang itulah Ular Hijau mampu membuat sebuah irama seruling yang memikat.

Meski begitu indah dan memikat, akan tetapi irama seruling yang dimainkan Ular Hijau mengandung bahaya. Mayang Sari yang tahu hal itu segera menggandeng tangan Patih Mandala dan berkata, "Kanda, jangan bergerak dan tetaplah di sampingku."

Patih Mandala yang belum paham dengan situasi hanya menurut saja pada perkataan Mayang Sari. Namun, tak lama berselang ia merasakan sesuatu menjalar di kakinya. Begitu Patih Mandala menengok ke bawah didapatinya seekor ular raja kobra melintas.

"Kanda, tetaplah diam, dia tidak akan menyakitimu," kata Mayang Sari.

"Irama yang sedang guru mainkan ini disebut Ajian Pemikat," kata Mayang Sari lagi.

"Ajian Pemikat? Apa itu?" tanya Patih Mandala.

"Salah satu jurus paling mematikan milik guru. Irama yang guru mainkan ini mampu memikat berbagai jenis hewan berbisa yang ada di hutan serta mengendalikan mereka," terang Mayang Sari.

"Maksudmu, sekarang ini Ki Ular Hijau sedang mengumpulkan dan mengerahkan pasukan hewan berbisa begitu?" tanya Patih Mandala lagi.

"Singkatnya begitu," sahut Mayang Sari.

Seperti yang dijelaskan Mayang Sari saat ini seluruh hewan berbisa yang berada di Hutan Dedet mulai dari lebah, ular, kalajengking, kelabang, laba-laba serta hewan beracun lainnya tengah berkumpul akibat terpikat oleh irama seruling Ular Hijau. Mereka tidak cuma berkumpul tapi juga menyerang Bayan beserta orang-orang dari enam kelompok penguasa Hutan Dedet.

Suara jeritan pilu terdengar saling sahut menyahut. Memecah keheningan malam Hutan Dedet. Setelah beberapa waktu suara jeritan-jeritan berangsur mereda sebelum lenyap sepenuhnya dan membawa Hutan Dedet kembali dalam keheningan. Tidak hening sepenuhnya, sebab masih ada irama seruling dari Ular Hijau. Namun suara seruling itupun juga lenyap tak lama setelahnya. Usai Ular Hijau mainkan irama lembut bernada tinggi dan bertempo lambat. Sebuah irama yang mampu membuat hati siapapun yang mendengar terasa tersayat-tersayat.

Sayangnya irama terakhir ini hanya bisa di dengar oleh dua orang yakni Mayang Sari dan Patih Mandala. Sementara orang-orang dari enam kelompok yang sebelumnya mengepung mereka bertiga telah terkapar di atas tanah menjadi mayat. Orang-orang yang secara hitungan kasar berjumlah lebih dari seratus lima puluhan itu tak satupun yang masih bisa bernafas termasuk Bayan.
Apa yang baru saja Ular Hijau lakukan itu bisa disebut sebagai pembantaian masal.

Melihat bagaimana begitu banyak orang kehilangan nyawa di depan matanya, membuat hati Patih Mandala jadi geram bukan main. Sampai tanpa sadar ia mengepalkan satu tangannya serta mengeratkan genggaman tangan lainya yang di pegang Mayang Sari. Mayang Sari yang merasa kesakitan pun segera melepaskan tangannya dari genggaman Patih Mandala.

Sebagai seorang penegak hukum Patih Mandala tentu tidak bisa membenarkan aksi pembantaian yang baru saja Ular Hijau lakukan. Sekalipun Ular Hijau bisa berdalih bahwa itu adalah semacam pembelaan diri, tapi tetap saja di mata hukum perbuatan Ular Hijau adalah salah. Sebagai mata tombak utama hukum di kerajaan sudah tentu Patih Mandala tidak bisa tinggal diam ataupun mengabaikan kejadian di depan matanya.

Patih Mandala menatap Ular Hijau dengan sengit. Wajah pria itu memerah dan pada kedua pelipisnya urat-urat mencuat.

"Ki Ular Hijau, kalau bukan pada hari ini aku dalam keadaan lemah, sebagai penegak hukum di negeri ini aku pasti akan langsung menangkap dirimu atas perbuatanmu ini!" kata Patih Mandala kemudian.

"Jangan gunakan dalih membela diri, terus kau dapat membunuh seenak hatimu. Pembunuhan adalah suatu pelanggaran berat di negeri ini. Sekalipun mereka-mereka ini adalah para bangsa begundal tapi nyawa manusia adalah sesuatu yang berharga. Lain kali jika kita bertemu lagi aku pasti akan menangkapmu!" kata Patih Mandala lagi.

Ular Hijau terkekeh, lalu berkata, "bagus memang begitu seharusnya, tapi jangan harap  aku mau merelakan diri."

Ular Hijau memutar kepalanya dan menatap balik Patih Mandala. Kemudian berkata dengan dingin.

"Gusti Patih, segala perbuatanku adalah tanggung jawabku sendiri sama sekali tidak ada kaitannya dengan muridku, kau pasti setuju,kan?" Patih Mandala tidak menjawab hanya mengangguk sekali.

Kemudian Ular hijau mengarahkan matanya pada Mayang Sari dan berkata lagi, "Mayang Sari, membasmi musuh itu harus sampai tuntas, begitu pula dengan membantu orang. Kau bantulah Gusti Patih ini menangkap penjahat! Dari sini kita akan menempuh jalan masing-masing."

Begitu Ular Hijau menyelesaikan kalimatnya, ia langsung berbalik lalu terbang ke udara dan menghilang di kegelapan.

End....


Legenda Ular HijauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang