XXII. Sergapan

4 1 0
                                    

Mari kita kembali ke gerombolan Mayang Sari, Patih Mandala dan Ular hijau. Setelah tengah hari ketiga orang ini memulai kembali perjalanan mereka. Dengan Ular hijau memimpin di depan, sementara Mayang Sari dan Patih Mandala mengekor di belakangnya. Sepanjang perjalanan mereka lebih banyak diam. Namun, sesekali mereka terlihat saling bercakap-cakap, meski itu hanya diantara Mayang Sari dan Patih Mandala. Sedang ular hijau seolah seperti tengelam dalam pikirannya sendiri.

"Dinda Mayang, boleh aku tanya sesuatu padamu?" tanya Patih Mandala pada satu kesempatan dalam perjalanan.

"Boleh saja, kalau bisa aku jawab, ya, akan aku jawab," sahut Mayang Sari.

"Dinda, sejak kapan kamu mengenal Ki Ular hijau?" Mayang Sari menghentikan langkahnya sejenak. Kemudian menengadahkan kepalanya ke langit sambil mengingat-ingat.

"Pertama kali aku bertemu Guru, kalau tidak salah ingat, adalah enam tahun lalu," jawab Mayang Sari kemudian kembali meneruskan langkahnya.

"Waktu itu, aku hanyalah seorang gadis kecil berumur tiga belas tahun yang kabur dari rumah," tambah gadis itu.

"Kenapa? Apa ada sesuatu yang mengganjal di hati Kanda?" tanya Mayang Sari balik.

"Tidak, hanya saja kalian terlihat akrab." sahut Patih Mandala

"Akrab? Apa di mata Kanda terlihat begitu?"

"Maksud, Dinda?" Dahi Patih Mandala mengerut.

"Sejujurnya hubunganku dengan Guru tidak seakrab yang Kanda pikirkan. Dalam setahun aku hanya dapat bertemu guru beberapa kali saja, lalu sejak tiga tahun lalu ia tidak menemuiku lagi. Dengan alasan yang tidak aku ketahui. Aku juga tidak banyak mengetahui tentang Guru selain dia adalah pendekar terhebat saat ini," terang Mayang Sari.

"Kalau begitu apa Dinda tahu kalau Ki Ular hijau itu...," Patih Mandala tidak jadi meneruskan kata-katanya.

"Seorang pendekar  yang keji." Seketika Patih Mandala terkejut dengan kalimat Mayang Sari tersebut.

"Tentu saja aku tahu. Itu bukan rahasia lagi bukan?" Mayang Sari menyibak sebuah ranting pohon yang menghalangi jalannya.

"Meski tahu Dinda tetap...." Lagi, Patih Mandala tidak meneruskan kata-katanya.

"Aku tahu apa yang Kanda pikirkan. Sebagai seseorang yang berpandangan lurus Kanda berpikir tidak seharusnya aku menjadikan Ular Hijau sebagai guru, kan?" Patih Mandala diam tak menyahut.

"Saat pertama kali bertemu Guru aku juga berpikir Guru adalah seorang yang jahat. Di depan mataku dia dengan entengnya membunuh sepuluh orang pengunjung kedai makan yang aku kunjungi tanpa alasan apapun. Namun, belakangan aku tahu jika orang-orang yang dibunuh oleh Guru merupakan manusia-manusia keji." Mayang Sari tiba-tiba menghentikan langkahnya. Kemudian menatap Patih Mandala yang juga ikut berhenti di sampingnya.

"Kanda, tak selamanya Guru membunuh orang tanpa alasan. Jika Guru telah turunkan tangan jahatnya maka orang-orang itu sudah pasti memang pantas mendapatkan karma atas segala perbuatannya. Walau apa yang Guru lakukan itu juga tidak bisa dibenarkan," ujar Mayang Sari kemudian.

Setelah itu ia kembali berjalan mengikuti Ular Hijau yang sudah jauh di depan. Begitu pula Patih Mandala.

"Kanda tahu, tempat yang aku sebut rumah tak ada bedanya dengan kandang serigala. Ditempat itu yang kuatlah yang berkuasa, sementara yang lemah akan ditindas. Namun, berkat Guru aku berhasil bertahan di tempat itu tanpa seorang pun berani menindas," ujar Mayang Sari lagi.

"Jadi walaupun dunia mengutuknya, aku akan selalu percaya dan berada di sisi Guru berdiri," lanjut gadis berbaju putih tersebut.

Dengan cepat waktu bergulir. Dari siang menjadi senja dan dari senja menjadi malam. Malam itu langit malam terlihat begitu indah. Ada ribuan atau bahkan ratusan ribu bintang menghiasinya. Ditambah dengan bulan sabit yang seolah sedang tersenyum bahagia.

Namun, langit malam yang begitu indah itu tidak bisa sepenuhnya dinikmati jika berada di Hutan Dedet. Di siang hari saja belantara Hutan Dedet sudah berbahaya apalagi setelah malam tiba. Bahaya bisa mengancam dari mana saja. Baik dari hewan buas maupun gerombolan perampok yang menghuni hutan.

Sementara itu Ular Hijau bersama Mayang Sari dan Patih Mandala masih terus berjalan. Baru ketika hampir memasuki tengah malam mereka berhenti untuk beristirahat. Buah-buahan yang sempat mereka temui di jalan menjadi santapan mereka malam itu. Walaupun yang terlihat makan hanya Mayang Sari dan Patih Mandala. Sedangkan Ular Hijau hanya duduk menghangatkan diri dengan mata terpejam di depan api unggun yang baru saja mereka buat. Dalam beberapa waktu acara istirahat ketiganya berjalan tenang tanpa ada gangguan. Namun, dalam detik-detik berikutnya aura mengancam menguar dari balik kegelapan.

"Kanda, apa kau merasakannya?" tanya Mayang Sari pada Patih Mandala lirih.

"Iya, Dinda, seseorang telah mengawasi kita," sahut Patih Mandala. Kedua orang itu lalu melirik ke Ular Hijau serempak.

"Kalian para tikus sampai kapan mau bersembunyi!" seru Ular Hijau lantang sambil perlahan membuka matanya.

"Hahaha... ! Dari balik kegelapan terdengar suara tawa tak kalah lantang.

" Ki Ular Hijau memang hebat seperti yang dirumorkan!" seru suara yang sama.

Kemudian enam bayangan manusia melesat turun dari pepohonan. Keenam orang itu tak lain adalah para ketua kelompok penguasa Hutan Dedet.

"Jadi siapa kalian?" tanya Ular Hijau masih yang masih duduk tenang menatap api unggun di depannya.

"Kami adalah enam pemimpin dari enam kelompok penguasa Hutan Dedet," sahut laki-laki pemilik suara sebelumnya. Laki-laki itu mengenakan jubah hitam dan di tangannya tergenggam sebuah tombak. Laki-laki itu tak lain adalah Alap-alap Ireng pemimpin dari kelompok elang.

"Entah ada angin apa sampai membuat enam pemimpin dari enam penguasa Hutan Dedet menemui sekaligus?"  Ular Hijau bangkit berdiri lalu di tatapnya dengan datar Alap-alap Ireng dan rekan-rekannya.

"Ular Hijau, di Hutan Dedet ini ada sebuah aturan dimana orang luar yang masuk tidak diizinkan keluar kecuali hantunya saja." Yang angkat bicara kali ini adalah Lembu Sura, pemimpin kelompok banteng.

"Kedatangan kami berenam ke sini adalah untuk menegakkan aturan itu. Meskipun ada beberapa diantara kami yang juga punya tujuan lain," lanjut Lembu Sura sambil melirik ke lima rekannya.

"Oh, begitu rupanya. Namun, rasa-rasannya hal itu akan susah untuk dilakukan," ujar Ular Hijau dingin.

"Jumawa!" Lembu Sura mendengus. "Mari kita lihat apakah kau masih bisa menyombongkan diri setelah ini!"

"Gusti Patih, anda menyingkirlah dahulu. Orang-orang ini biar jadi urusanku," kata Ular pada Patih Mandala. "Mayang Sari, kau lindungi Gusti Patih."

"Baik Guru," sahut Mayang Sari patuh. Kemudian gadis itu beringsut mundur bersama Patih Mandala.

"Kekeeke...!" Ular Hijau terkekeh.

"Siapa takut. Kalian jual aku beli. Kalian berenam majulah sekalian biar aku ladeni!" tantang Ukar Hijau kemudian.

End.....





Legenda Ular HijauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang