XI. Berada Dalam Kepungan.

21 4 25
                                    

Hari dengan cepat berganti, dari siang berganti senja dan dari senja berganti malam. Gelapnya malam seolah menambah keangkeran Hutan Dedet yang memang sudah terkenal angker. Memang, keangkeran Hutan Dedet bukan disebabkan oleh bangsa lelembut, melainkan karena keberadaan sebangsa manusia-manusi kejam berhati setan yang menghuni hutan tersebut. Namun, tidak menuntut kemungkinan para korban dari manusia-manusia kejam ini berubah jadi arwah penasaran yang turut menghuni hutan. Yah, siapa yang tahu?

Akan tetapi hal-hal semacam itu, rasa-rasanya tak berpengaruh sama sekali pada dua manusia yang tengah beristirahat di pinggiran sungai Hutan Dedet. Dengan diterangi cahaya temaram bulan dan hangatnya api unggun, dua manusia ini tengah asyik menikmati ikan bakar yang baru saja mereka masak beberapa waktu lalu. Dua manusia ini tak lain adalah Patih Mandala dan Mayang Sari. Setelah seharian penuh dikejar oleh orang-orang kelompok harimau dan bahkan sekarang kelompok ular juga, karena tidak sengaja masuk wilayah mereka, kini akhirnya keduanya bisa menemukan tempat untuk beristirahat. Meskipun tempat itu belum bisa disebut aman. Yah, setidaknya di sana keduanya bisa melemaskan otot dan mengisi perut.

"Dinda, lenganmu terluka apa kamu baik-baik saja?" tanya Patih Mandala di sela-sela makan mereka.

"Ini?" Mayang Sari melihat lengannya yang terluka.

"Ah, cuma goresan kecil saja tak perlu khawatir," jawab gadis itu kemudian sambil memukulkan tangganya pada luka tersebut. Namun, begitu kena gadis itu malah memekik "aw!"

Patih Mandala hanya tersenyum dan geleng-geleng kepala melihat kelakuan aneh gadis itu. Patih Mandala meletakkan ikan bakar ditangannya, lalu berjalan mendekati Mayang Sari. Pria itu mengeluarkan sebuah sapu tangan berwarna putih dari dalam kantong bajunya.

"Kau ini, sekecil apapun yang namanya luka tetap luka. Jika dibiarkan terus bisa jadi berbahaya," omel Patih Mandala seraya membalut luka Mayang Sari dengan sapu tangannya.

Orang yang dibalut lukanya tak banyak protes. Hanya diam sambil memperhatikan wajah si Patih yang tengah fokus menyempurnakan ikatan di lengannya yang terluka.

"Nah, sudah selesai," kata Patih Mandala begitu pekerjaannya selesai.

Saat pria itu mendongak tanpa sengaja kedua matanya bertemu dengan kedua mata Mayang Sari. Sejenak, keduanya saling terpaku, seolah tubuh mereka membeku. Sebelum pada akhirnya sama-sama memalingkan wajah ke arah berlawanan untuk memutuskan kontak. Meski sejenak tapi ketika kedua mata mereka bertemu, sesuatu telah tumbuh di diri mereka masing-masing. Baik itu Mayang Sari maupun Patih Mandala. Sesuatu yang sekarang ini mampu membuat bersemu merah muka keduanya. Yang untungnya bisa disamarkan dengan baik oleh cahaya temaram malam. Kalau tidak, mungkin mereka akan menghadapi situasi yang lebih canggung.

"Te.. terima kasih, Kanda," kata Mayang Sari sedikit salah tingkah.

"Ah, ya, tidak masalah. Anggap saja sebagai ucapan terima kasih karena telah menyelamatkan nyawaku berkali-kali hari ini, meskipun aku pikir ini tidak sebanding," sahut Patih Mandala.

"Jangan pikirkan sebanding atau tidak, yang terpenting bagiku adalah... ketulusannya."

"Oh, begitu, ya." Meski tengah berbicara tapi wajah kedua manusia ini menghadap ke arah yang saling berlawanan.

"Lagipula menyelematkan nyawa sudah menjadi kewajibanku sebagai seorang pendekar," lanjut Mayang Sari. "Kalau tidak aku selamatkan mungkin orang-orang yang menunggu Kanda di rumah akan bersedih. Dan aku tidak suka dengan hal itu."

"Orang-orang yang menungguku di rumah?" Dahi Patih Mandala mengerut.

"Yah, seperti orang tua, saudara dan_," Mayang Sari menjeda kalimatnya.

"Em.., istri," lanjut gadis itu kemudian dengan agak lirih.

Patih Mandala terkekeh pelan. "Aku sudah jadi yatim piatu saat umurku baru tujuh tahun, aku juga adalah anak tunggal jadi tak memiliki saudara. Soal istri, mungkin Dinda tak percaya, meski umurku sudah sebanyak ini tapi aku belumlah memilikinya," kata pria itu setelahnya.

"Dinda tahu sendirilah bagaimana bobroknya kerajaan ini. Sebagai seorang patih sudah menjadi tugasku untuk membangunnya kembali. Banyak hal yang harus aku kerjakan untuk kerajaan, jadi mana mungkin ada waktu untuk memikirkan rumah tangga," tambahnya lagi.

"Begitu, ya." Entah kenapa mendengar itu hati Mayang Sari jadi senang. Bahkan tanpa dirasa sebuah senyum tipis samar-samar merekah di wajah gadis itu.

Namun, sedetik kemudian wajah Mayang Sari berubah serius, lalu gadis itu tiba-tiba berdiri sambil memegang ganggang pedang. Sikap Mayang Sari yang berubah mendadak tersebut sudah tentu membuat Patih Mandala bingung. Patih Mandala sudah mau buka mulut untuk bertanya, tapi Mayang Sari memberinya isyarat untuk diam.

"Keluar! Aku tahu kalian ada di sana!" berseru Mayang Sari.

"Haha..., rupanya nama besar pendekar angin putih bukan cuma omong kosong belaka," sahut sebuah suara dari kegelapan.

Tak lama berselang tiga sosok laki-laki menampakkan diri. Tiga laki-laki ini pada tangan kirinya sama-sama memiliki tato berbentuk ular. Tanda yang khas dari anggota kelompok ular. Namun, ada yang membedakan mereka dari anggota kelompok ular lainnya. Yakni ketiganya mengenakan kalung tembaga di leher masing-masing. Kalung tembaga ini biasanya hanya dimiliki oleh anggota paling elit di kelompok ular yang disebut sepuluh bisa. Sesuai namanya, sepuluh bisa, orang-orang elit ini berjumlah sepuluh orang. Dan tiga diantaranya telah menampakkan diri dihadapan Mayang Sari dan Patih Mandala.

"Padahal kami sudah menyembunyikan diri dengan baik, tapi siapa sangka dapat ketahuan olehmu hanya karena salah seorang diantara kami menginjak ranting pohon kering yang hanya seukuran jari saja. Sungguh hebat," puji salah satu diantara tiga laki-laki yang baru datang. Laki-laki itu berada di tengah dan suara sama dengan orang yang tadi menyahuti Mayang Sari.

"Perkenalkan, namaku Uro," kata laki-laki itu lagi memperkenalkan diri.

"Teman disebelah kanan ini namanya Ulu," tunjuknya pada pria di sebelah kanan.

"Dan ini Upat," lalu beralih ke pria sebelah kiri.

"Kami adalah sepuluh bisa dari kelompok ular." kata pria bernama Uro itu menutup perkenalan.

Mayang Sari berdecak. Lalu berkata, "aku tidak peduli siapa kalian, tapi yang pasti kedatangan kalian yang diam-diam itu sudah pasti punya niat tidak baik."

"Gadis tengik, tebakanmu memang benar! Kami datang memang untuk membawa kepalamu dan kepala patih itu!" sahut pria sebelah kiri yang bernama Upat kasar.

"Ingin kepalaku, ha? Apa jumlah orangnya tidak terlalu sedikit? Kalian yang menyebut diri sepuluh bisa, kenapa cuma datang bertiga? Mana tujuh lainnya? Sini, suruh mereka datang sekalian!" balas Mayang Sari.

"Tak perlu meriam untuk membunuh seekor kelinci. Untuk membawa kepalamu tak perlu kami sepuluh bisa turun bersamaan, bertiga saja belum tentu engkau dapat melawan!" Kini giliran pria bernama Ulu yang berseru.

"Benarkah? Kalau begitu kenapa kalian tidak coba maju, dan lihat apakah kelinci ini bisa kalian ambil kepalanya dengan mudah," tantang Mayang Sari.

Pria bernama Upat mendengus. "Baik, jika itu maumu!" Habis berkata pria itu langsung menyerang.

End....

Note;
Uro (ula loro/ular dua)
Ulu (ula telu/ular tiga)
Upat(ula papat/ular empat)

Dalam bahasa jawa huruf A biasanya di baca o

Legenda Ular HijauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang