XIX. Guru dan Murid

4 1 0
                                    

Malam telah berlalu, di ufuk timur matahari telah menunjukkan sebagian wajahnya. Di hari yang masih pagi itu, dari berbagai tempat terpisah di belantara Hutan Dedet, puluhan asap putih membumbung di udara. Sebagian asap putih itu adalah milik para pemburu, sebagian lagi adalah milik para pelancong yang kebetulan kemalaman di hutan, yang cukup beruntung tidak bertemu perampok penghuni hutan.

Namun, dari sekian banyak tempat, ada dua tempat yang paling menarik dimana asap putih terlihat. Pertama adalah Lemah Abang. Sedang satu lagi adalah tempat dimana Mayang Sari, Patih Mandala dan Ular Hijau beristirahat. Di tempat yang hanya dipenuhi oleh rerumputan tersebut terlihat sosok Mayang Sari tengah duduk bersila. Kedua mata gadis itu terpejam dan kedua telapak tangannya begitu tenang menempel di atas lutut.

Sementara itu, dua belas langkah di depan Mayang Sari, Patih Mandala tengah duduk sambil memperhatikan gadis itu dengan lamat-lamat.

"Kau tenang saja lukanya sudah tidak terlalu parah," kata Ular Hijau sambil melemparkan ubi-ubian ke dalam api unggun.

"Dia itu anak yang kuat. Setelah membuka mata beri dia makan selanjutnya kau tidak perlu mengkhawatirkan apa-apa lagi," berkata lagi Ular Hijau.

"Aku akan ada di sana jika mencariku," Pria berjubah hijau tersebut menunjuk sebuah pohon asem yang berjarak sepuluh kilometer dari mereka. Kemudian, ia terbang ke pohon tersebut dan mendarat dengan indah di salah satu dahannya.

"Orang itu, apakah dia manusia?" gumam Patih Mandala sambil melihat sosok ular hijau yang sekarang tengah berdiri tegak di atas dahan pohon. Dalam binar mata Patih Mandala tersirat rasa kagum sekaligus heran.

Bagaimana tidak, kemarin malam, begitu ular hijau selesai membantai Nyi Welang beserta bawahannya Mayang Sari tiba-tiba muntah darah dan langsung pingsan. Setelah ketiganya meninggalkan tempat yang telah dipenuhi mayat tersebut hampir sepanjang malam ular hijau menyalurkan hawa murni pada Mayang Sari untuk meringankan lukanya. Kemudian lanjut berjaga sampai pagi tiba di dahan pohon asem tempatnya berdiri sekarang.

Saat Patih Mandala bangun pria berjubah hijau itu meninggalkan sejenak tempatnya berjaga dan tidak lupa meminta Patih Mandala untuk menjaga Mayang Sari. Dan begitu kembali ia sudah membawa ubi-ubian yang sekarang sudah berada di perapian. Lalu sekarang, ia kembali lagi ke tempatnya untuk berjaga.

Selain itu, juga ada rasa gusar yang mengganjal di hati sang patih saat melihat ular hijau. Selama ini, meski bukan orang rimba persilatan, tapi Patih Mandala telah banyak mendengar tentang ular hijau. Selain disebut-sebut sebagai pendekar nomor saat ini, ular hijau juga dikenal sebagai seorang berdarah dingin yang tak segan membunuh.

Malam kemarin, Patih Mandala telah menyaksikan sendiri betapa hebat sekaligus sadisnya ular hijau. Anggota kelompok ular yang jumlahnya mungkin lebih dari dua atau bahkan tiga lusin dapat ia bantai tidak lebih lama dari waktu menyeduh segelas teh. Yang lebih mengherankan lagi ular hijau sama sekali tak peduli dengan mayat-mayat mereka yang berserakan. Patih Mandala dengan sangat jelas mendengar saat ular hijau mengatakan jika mayat Nyi Welang dan anak buahnya tak ada bedanya dengan bangkai nyamuk. Ia sama sekali tak peduli jika mayat-mayat itu nantinya bakal dimakan binatang buas atau membusuk dengan sendirinya.

Memang jika Patih Mandala pikir lagi, Nyi Welang dan anak buahnya memang pantas mendapatkan akhir yang seperti itu setelah semua kejahatan yang mereka perbuat. Selain itu juga adalah hal lumrah di dunia persilatan untuk saling bunuh-membunuh. Sebab di dunia itu hukum rimba masih berlaku. Hanya saja, cara main hakim sendiri seperti itu, sangatlah bertentangan dengan prinsipnya sebagai seorang penegak keadilan kerajaan.

Beralih dari ular hijau, Patih Mandala menatap ganti memandang Mayang Sari. Dalam benaknya pria itu tak habis pikir, bagaimana bisa Mayang Sari si pendekar angin putih yang selama ini ia dengar sebagai seorang pendekar berjiwa lurus adalah murid seorang pendekar sesat seperti ular hijau.

Bersamaan dengan matangnya ubi di perapian Mayang Sari perlahan membuka matanya. "Astaga, ini bagus sekali, kebetulan aku sedang kelaparan." Setelah berkata Mayang Sari lekas menerjang maju dan menyambar ubi yang baru saja diangkat dari perapian oleh Patih Mandala.

Karena baru diangkat dari perapian tentu saja ubi itu masih sangat panas. Mayang Sari mengunakan kedua tangannya secara bergantian untuk memegang ubi yang masih panas itu. Di saat bersamaan ia juga menggunakan mulutnya untuk meniup-niup ubi. Setelah merasa ubi ditangannya sudah tidak terlalu panas lagi, gadis itu lantas membelahnya jadi dua lalu memakannya dengan lahap. Satu ubi telah tandas, Mayang Sari kembali menyambar ubi yang lain.

"Astaga ini sangat menyenangkan," ujar Mayang Sari usai menandaskan ubi keduanya.

"Ini, minumlah dulu " Patih Mandala menyodorkan wadah air yang terbuat dari ruas bambu.

"Ah, terima kasih, Kanda." Mayang Sari menerimanya lalu menenggak isinya.

"Oh, ya, dimana guru?" tanya gadis itu kemudian.

"Gurumu, ada di sana." Sahut Patih Mandala sambil menunjuk tempat ular hijau berada dengan wajahnya. Kemudian Mayang Sari menghentakkan tubuh, terbang menuju dahan pohon asem ular hijau bertempat.

"Hei, setidaknya bawa satu ubi untuk gurumu," gumam Patih Mandala sendiri seraya mengikuti Mayang Sari dengan netranya yang dalam sekejap sudah berada di samping sang guru.

End....



Legenda Ular HijauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang