Thank U buat kalian yang udah mampir.
Hope you enjoy reading^^Hari Senin yang sangat tidak kuinginkan tiba. Alarm dari ponsel yang berdering keras memaksaku menghadapi kenyataan. Kemarin aku terus mengurung diriku dalam kamar sembari merapalkan mantra kalau aku tidak menyukai Seungbo. Aku tidak terluka karena dia menemui wanita lain. Aku tidak akan menyukai senyumnya lagi. Yang nyatanya tidak berhasil sama sekali. Aku masih menyukai pria itu. Aku marah padanya tapi juga merindukannya.
Sabtu malam setelah aku mengusir Seongho dari rumahku, dia pergi. Seungbo terus duduk diam menatap layar hitam televisi di depannya. Dia berkata dengan suara keras sengaja supaya aku bisa mendengarnya. Dia masih menungguku kalau saja aku akan turun untuk menemuinya. Mengantarkan kepergiannya.
Hatiku sangat sakit ketika mendengar itu. Aku ingin menemuinya. Aku ingin memeluknya sebelum dia pergi dan tidak akan kembali entah sampai kapan. Di lain sisi hatiku yang kecewa melarang. Berkata kalau lebih baik aku tidak melukai diriku sendiri dengan harapan palsu.
"Aku akan pergi. Kau, jagalah dirimu baik-baik. Kalau kau membutuhkanku aku akan langsung datang. Jadi, jangan ragu untuk menelfonku."
Air mataku kembali meleleh mendengar suaranya. Aku sangat ingin berlari dan menghambur dalam dekapan hangatnya sekarang juga. Namun keegoisanku kembali menahan.
Sambil memeluk bantal dalam dekapanku yang semakin erat kutenggelamkan wajahku agar suara isakan tangisku teredam. Aku takut kalau seumpama Seungbo mendengarnya. Aku yakin akan langsung melemparkan diriku padanya kalau sampai dia berdiri didepan pintu kamarku.
"Aku pergi. Aku akan merindukanmu."
Kalimat terakhir terucap dari bibirnya menyapa telingaku. Disusul suara pintu menutup setelahnya. Seungbo pergi. Dia benar-benar pergi meninggalkanku. Ini keinginanku. Aku yang mengharapkan Seungbo menjauh dariku. Harusnya aku bahagia. Namun air mataku bertambah deras membanjiri pipi. Tangisku pecah. Aku tidak bisa menahannya lagi. Ini sangat sakit.
"Kau kenapa."
Perempuan bermata indah yang selalu menjadi teman dekatku menyusulku. Dia menggenggam gelas kertas di kedua tangannya. Senyumnya mengembang setelah berhasil membuatku menoleh menyambut kedatangannya.
"A. Tidak ada."
Tanganku terulur menerima gelas kertas darinya. Dia membawakan untukku ternyata padahal aku tidak memintanya. Entahlah mungkin tingkah ku yang aneh membuatnya berfikir kalau aku sedang membutuhkan banyak air untuk menjernihkan otak keruhku.
"Tidak ada? Kau yakin? Aku sudah memanggilmu lebih dari tiga kali tadi."
"A maaf sepertinya aku tidak mendengar."
"Yah.. tentu saja kau tidak mendengarnya. Aku tahu kau melamun tadi."
Dia menengadahkan kepala sembari mengembuskan nafasnya keras. Mungkin dia lebih tahu perasaanku daripada diriku sendiri.
"Mana ada. Aku sedang memikirkan proyek lanjutan dari ketua tim."
"Siapa yang sedang kau bohongi? Hanya orang bodoh yang percaya."
Dia membalikkan badan menghadapku. Matanya lurus menatapku. Sangat tegas. Sudah pasti dia tidak akan bisa kubohongi. Selain sangat pandai meruntuhkan keteguhan pendirian dia juga sangat bisa mengendus kebohongan.
"Benar kan? Aku terlalu kelihatan sedang berbohong kan?" Dia mengangguk. "Tapi kenapa dia tidak peka." Suaraku melirih. Lebih tepat kalau disebut bergumam.
"Siapa? Pacar?"
"Pacar siapa. Bukan." Elakku sambil tertawa.
Aku tahu dia pasti tidak akan melepaskanku dengan mudah. Lebih mudah kalau aku menghindarinya. Dia akan terus bertanya sampai aku menyerah dan memberinya jawaban jujur. Itu yang selalu terjadi.
"Oh ayolah.. siapa? Jangan bilang pria waktu itu? Yang mengantarmu? Hyungnya Seongho? Seong... bo??"
Sayangnya kakiku kalah cepat dari gerakan tangannya yang menahan lenganku. Dia sekarang menggandeng lenganku erat takut kalau aku akan kabur. Dia juga mulai menebak menggunakan kejadian yang dia karang sendiri. Menyedihkannya semua tebakan dia selalu benar.
"Seungbo. Bukan Seongbo."
"Terserahlah. Pokok dia."
"Ya.. begitulah."
Karena sudah tahu kalau percuma saja mengelak akhirnya aku menurut mengatakan apa yang telah terjadi. Dia mendengarku bercerita dengan patuh. Orang yang tidak mendengar apa yang sedang kubicarakan mungkin mengira kalau aku sedang membacakan dongeng. Yang walaupun aneh saja wanita sebesar diriku masih menyukai dongeng kekanakan.
"Jadi kalian putus?"
Aku terbatuk. Tersedak setelah mendengar dia yang berkata putus. Aku yang masih terkejut menatapnya bertanya. Apakah dari ceritaku ada kata pacaran yang tidak sengaja kukatakan? Kurasa tidak. Dia melihatku terbatuk bukannya membantuku justru menertawakanku.
"Apa maksudmu putus. Dia saja belum resmi menjadi pacarku."
"Tapi kau menyukainya kan? Buktinya kau sampai seperti ini hanya karena dia menemui wanita lain."
Benar. Semua dimulai ketika dia marah saat Seongho berkata dia menemui wanita itu. Teman kencan. Kenapa kata itu terasa sangat menyakitkan?
"Dia tidak menyangkal ketika Seongho berkata teman kencan. Kau bisa bedakan 'seorang wanita' dan 'teman kencan' kan"
"Baiklah baiklah teman kencan. Tapi dia juga tidak mengiyakan bukan. Kau masih bisa mengambilnya."
"Dia bukan barang. Mengambil apanya."
"Kurasa kau terlalu berlebihan padanya. Coba saja kau telfon dia bilang kalau kau merindukannya aku berani bertaruh dia akan langsung datang tidak sampai sejam. Bahkan mungkin cuman hitungan menit dia sudah berdiri di depanmu."
"Iyakan? Kadang aku juga berfikir aku terlalu berlebihan. Tunggu. Kenapa kau malah membelanya? Dasar menyebalkan."
Terimakasih kepada perempuan didepanku ini. Berkatnya aku kembali memikirkan semuanya. Aku terlalu plin plan bukan. Tidak tahu sisi mana yang harus kupegang teguh. Aku tahu aku memang naive. Dan karena itulah aku sering berfikir labil. Kalau kemarin aku menyalahkan Seungbo sekarang berbalik aku mengasihaninya. Menyalahkan diriku sendiri.
Sisi seperti inilah yang tidak kusukai dari diriku. Tidak memiliki pendirian. Terlalu mengandalkan hati daripada realita. Terlalu mudah terombang ambing.
"Tukang pencemburu. Sudahlah aku masih ada tugas yang belum selesai. Aku pergi dulu."
Dia pergi mendahuluiku. Setelah puas membuatku membocorkan rahasia yang berusaha kupendam sendiri. Bukan itu saja. Dia juga berhasil membuatku kembali berfikir dengan apa yang telah ku lakukan. Apakah aku memang terlalu berlebihan? Sampai mengusirnya dari rumah? Yang padahal dia juga tidak setiap hari ada disana.
Memang benar rumahku sudah seperti rumah kedua baginya. Namun kenyataannya adalah dia hanya menggunakan rumahku untuk tidur karena pekerjaannya yang selalu lembur membuatnya pulang larut. Menurutnya dia akan mengganggu Eomeoni kalau harus membunyikan bel saat tengah malam.
A. Dia pernah bilang padaku kalau dia menolak kunci rumah pemberian Eomeoni karena merasa terlalu terbebani. Dia beralasan belum menganggap pantas untuk menganggap pemilik rumah rumah itu.
"Seungbo.. apakah aku terlalu berlebihan?"
Mengapa aku menyesal telah mengusirnya? Apakah aku takut kehilangannya? Kenapa aku merasa kalau dia akan benar-benar pergi? Haruskah aku memanggilnya kembali? Aku merindukannya.
Tiba-tiba saja aku merasa sangat lelah. Hari terasa sangat lambat untuk berakhir. Pekerjaan juga terlalu sulit untuk di kerjakan. Terlalu banyak untuk di selesaikan. Aku merindukannya. Suaranya yang bisa membuatku kembali bersemangat. Senyuman manisnya yang membuatku bertahan. Dan teduh matanya yang memberiku tempat berlindung.
"Maaf dan..." Kupejamkan mataku rapat. "Aku menyukaimu."
Kuharap kalian suka ceritanya.
Kalau suka boleh dong minta bantu dukungan votenya.
Yang mau komen juga silahkan sebisa mungkin bakal aku jawab^^
Love ya.
See ya😘
KAMU SEDANG MEMBACA
I love You, I'm Sorry
Romance"Love you. Kembalilah tidur." Ini masih gelap dan kamu tiba tiba menciumku? Sepertinya ada maksud lain di baliknya.