Thank U buat kalian yang udah mampir.
Hope you enjoy reading^^Aku terbangun dari tidur setelah berjuang untuk dapat memasuki dunia mimpi selama hampir satu jam. Masih dengan muka bengkak aku berjalan ke dapur. Berniat mencari air minum. Mataku masih lengket dan pandanganku juga kabur. Jalanku? Tentu saja masih sama seperti ketika Seongho menggedor pintu kamarku beberapa saat lalu.
Kulihat sekeliling hanya kosong. Tidak ada dua manusia yang tadi membuat keributan di ruang tamu. Kemana mereka? Ah kenapa juga aku harus peduli. Bukankah lebih baik seperti ini. Adanya mereka berdua malah semakin membuatku menjadi pemarah seperti nenek monopouse.
Aku heran dulu sebelum ada Seungbo kurasa Seongho lebih banyak diam tapi sekarang dia mulai pintar mencari masalah. Setiap hari selalu ada saja hal yang diributkan. Korbannya? Tentu saja aku. Seungbo? Dia adalah penjahat kambuhan. Kalau tidak membuat sekutu denganku dia akan menjadi musuh bebuyutan Seongho. Yang manapun itu keduanya sama-sama membuat kepalaku nyut-nyutan.
"Hah sepertinya aku hanya perlu membuat sarapan untuk diriku sendiri. Baguslah. Masak apa hari ini?"
Karena hanya sendirian di rumah aku akan memanjakan diriku sendiri. Berperilaku bak bintang utama dalam drama. Bernyanyi dengan suara sumbang. Berlagak sok keren dengan kemampuan rap ku yang di bawah rata-rata. Tidak masalah. Hanya ada aku. Orang lain tidak akan tahu.
"Baiklah. Pertama kita panaskan minyaknya..."
Kali ini aku berlagak bak koki profesional. Untuk mendalami peranku aku bahkan memberanikan diri membalik telur ceplok dengan mengangkat telfon. Dan hasilnya? Seperti yang di bayangkan. Berantakan. Telur yang malang itu gagal mendarat kembali ke teflon.
"Kalau Seongho melihat dia pasti tertawa."
Karena telur pertama terbuang sia-sia terpaksa aku membuatnya lagi. Bedanya kali ini aku memasaknya dengan benar tidak lagi berlagak bak koki Michellin. Aku tertawa. Menertawakan kehebohan ku sendiri. Ternyata aku juga bisa berlagak gila seperti ini.
"Aku pulang!"
"A!"
Tidak sengaja pisau di tanganku menggores jari telunjukku karena kaget mendengar suara Seongho. Alih-alih mengucapkan salam yang santun dia memang selalu berteriak seperti itu. Persis seperti bocah SD.
Rasa nyeri mulai terasa dari ujung telunjukku yang tergores. Aku tidak tahu seberapa dalam pisau itu melukai tapi darah yang mulai mengucur seolah mengatakan kalau ini bisa menjadi serius.
"Kau tidak apa-apa?"
Sebelum aku sempat mengangkat tangan seseorang sudah lebih dulu menekan telunjukku. Menahannya supaya darah tidak lebih mengalir. Dia menuntunku untuk membasuhnya terlebih dahulu kemudian menuntunku ke ruang tengah. Setelah berhasil membuatku tidak bisa berkata-kata dia mengoleskan alkohol dari kotak p3k yang tadi di bawakan Seongho. Dan kemudian membalutnya dengan plester.
"Nuna kau terluka?"
"Ya aku kaget karena mu." Kataku tanpa berfikir yang kemudian di susul oleh Seungbo.
"Kenapa kau harus berteriak seperti itu?"
Kali ini Seungbo menimpali tanpa melihat tentunya karena dia sibuk menempelkan plester.
"Setiap hari aku juga seperti itu tahu. Nuna saja yang lebay."
Seongho mengambek. Dia duduk di seberang ku dengan gerakan yang sengaja diperlihatkannya padaku. Gerakan yang mengatakan kalau dia kesal. Tidak terima di salahkan.
"Aku ketularan lebay darimu."
"Mana ada. Nuna saja yang terlalu serius."
"Bukan terlalu tapi memang kenyataannya seperti itu." Seungbo. Dia sudah selesai dengan jariku.
"Kau juga kenapa ikut menyerang ku."
"Sudah ku bilang kan dia itu menyebalkan."
Merasa menang Seongho menaikkan satu alisnya dengan sudut bibirnya terangkat di satu sisi.
"Kau juga menyebalkan." Semburku.
"Kamu masak apa. Kalau terlalu sulit kenapa memaksakan diri." Kata Seungbo yang sangat suamiable membuatku menatapnya.
"Aku memang tidak pandai urusan dapur tapi bukan berarti tidak bisa."
"Aku setuju." Seongho mengamini ku.
"Karena kau selalu menyuruhku membuatkanmu sarapan makanya kau membelaku."
"Cih sudah baik ku bela masih tidak terima."
"Biar aku gantikan masaknya. Kamu duduk sini saja."
"Jangan!"
Suara Seongho yang lagi-lagi berteriak menghentikan Seungbo yang sudah bangkit dari duduknya menuju dapur.
"Apa maksudmu jangan? Kau meragukan kemampuan masakku? Masakanku tidak jauh beda dengan restaurant tau."
"Tentu saja masakanmu enak tapi bukankah lebih baik kita pesan antar saja? Kurasa masakan mereka jauh lebih enak."
Meskipun cara mengatakan Seongho menyebalkan tapi ada benarnya juga. Aku belum pernah merasakan masakan Seungbo dan ada makanan pesan antar yang sedang ku inginkan.
"Baiklah. Kau mau apa."
"Tonkatsu!" Lagi! Seongho berteriak. Terdengar sangat antusias.
"Kau?" Aku bertanya pada Seungbo.
"Ayam saja." Dia menjawabnya setengah hati.
"Nuna?"
"Aku?" Aku berfikir sejenak. Sebenarnya makanan yang kuinginkan ada banyak. "Pizza." Jawabku kemudian.
"Eh? Bukannya kamu belum makan seharian ini? Apa bisa kenyang hanya dengan pizza." Seungbo memprotes.
"Nuna seharian ini hibernasi."
Benar. Aku baru bangun tidur dan tidak melihat jam. Ini sudah malam? Wah. Mataku membulat. Aku sudah tidur berapa jam? Untung saja hari ini jadwalku libur jadi tidak akan ada masalah. Setelah kemarin aku lembur sampai subuh kurasa tubuhku memprotes dengan cara ekstrem.
"Aku tidak mengatakan kalau aku hanya memesan pizza."
Dua kakak beradik itu menatapku kaget. Dari muka mereka berdua seolah mengatakan kata yang sama. 'apa?' dan kemudian aku dengan senang hati menjawabnya.
"Sandwich. Hamburger. Topokki. Ice cream. Sprite-"
"Sudah sudah. Lebih baik Nuna sendiri yang pesan. Aku sudah pusing mendengarnya."
"Kamu beneran mau makan itu semua?"
Kata-katanya lebih terdengar seperti 'Kau tidak akan kekenyangan kah?'"Karna aku sudah hibernasi dan belum makan dari kemarin malam jadi kurasa perutku mampu menampungnya."
"Nuna kau itu perempuan."
"Lalu kenapa?"
"Nuna tidak malu kah?"
"Kenapa? Aku lapar ya aku makan. Lagi pula makanan itu aku sendiri yang bayar."
"Nuna ternyata selain terlalu aneh juga terlalu rakus."
"Apa kau bilang?"
Satu pukulan berhasil mendarat di kelapa Seongho. Jangan bertanya siapa pelakunya karena pasti akulah yang mengangkat tangan.
"Pukul saja dia. Mulutnya memang tanpa filter."
Dan terjadilah adu mulut antar keduanya. Seongho yang berbicara blak-blakan dan Seungbo yang banyak bicara tapi selalu berhasil memukul kalah lawan bicaranya. Kalau dia kalah bicara? Tangannya yang beraksi. Sama sepertiku yang suka menjitak kepala Seongho, Seungbo juga melakukannya. Bedanya Seungbo lebih sadis.
Jangan salah faham. Ini sama sekali bukan kekerasan dalam rumah tangga. Tapi memang seperti itulah mereka berdua tumbuh bersama. Sang kakak yang suka main tangan dan sang adik yang selalu main mulut. Teriakan Seongho? Aku berani menjamin kalian akan langsung pergi ke THT kalau satu jam saja tidak berhenti mendengarnya.
Kuharap kalian suka ceritanya.
Kalau suka boleh dong minta bantu dukungan votenya.
Yang mau komen juga silahkan sebisa mungkin bakal aku jawab^^
Love ya.
See ya😘
KAMU SEDANG MEMBACA
I love You, I'm Sorry
Romance"Love you. Kembalilah tidur." Ini masih gelap dan kamu tiba tiba menciumku? Sepertinya ada maksud lain di baliknya.