Seoul. October. Musim Gugur

7 2 0
                                    

Seoul, 23 October. Menjelang subuh.

Suara pintu di buka berhasil mengusir kantukku seketika. Ponsel di tanganku jatuh. Kubiarkan saja. Perhatianku sepenuhnya teralihkan pada pintu yang terbuka menampilkan sesosok pria yang kutunggu. Kepalanya tertunduk menatap lantai. Rambut hitamnya yang pagi tadi tertata rapi kini telah jatuh menutupi sebagian matanya. langkah kakinya yang berat mengatakan dia sangatlah lelah.

"Lembur lagi?" Tanyaku sembari membantunya melepaskan mantel panjang yang di pakainya. Dia tidak menolak.

"Hyung memintaku untuk lebih bersungguh-sungguh."

Suaranya dingin. Tapi meskipun begitu dia menyempatkan tersenyum padaku. Senyum lelah yang justru terlihat terpaksa.

"Tidak apa-apa. Kau bisa meletakkan semua itu setelah masuk rumah."

"Kenapa kau turun? Lanjutkan saja tidurmu."

"Aku takut sesuatu terjadi padamu jadi aku menunggu."

"Kau bahkan tidak tidur? Tenang saja tidak akan ada yang terjadi padaku. Sebentar lagi matahari terbit lebih baik kau cepat tidur. Matamu sangat merah, kau tahu?"

"Aku ingin lebih lama melihatmu. Kita bertemu saat sarapan saja bukan? Aku rindu."

Kugelengkan kepalaku. Itu benar. Terhitung sudah dua Minggu sejak dia mulai lembur. Terkadang dia harus berangkat sebelum matahari terbit dan pulang ketika aku sudah tidur. Dia berkata harus tetap pulang meskipun bisa saja dia tinggal di kantornya. Dia berkata ingin tetap pulang menemuiku. Waktu itu aku menanggapinya sebagai candaan. Kupikir dia tidak akan lembur terlalu lama. Sekarang aku justru merasa sangat bersalah karena membuatnya harus selalu pulang setelah lelah bekerja seharian. Bukan. Hampir bisa dikatakan dia pulang hanya untuk tidur. Hidupnya lebih banyak dia habiskan di kantor.

"Maaf. Aku janji setelah semua selesai aku langsung mengajukan cuti. Kita liburan bersama."

Liburan. Mengingat itu membuatku merasa bersalah. Kalau saja waktu itu aku tidak menolak keadaannya pasti akan lebih baik. Apakah aku terlalu takut mendapat penilaian buruk dari ketua tim daripada menciptakan perjalanan indah bersama Seungbo? Tapi tidak ada yang bisa kulakukan. Semua sudah berlalu.

"Jangan minta maaf. Kenapa harus minta maaf kalau tidak bersalah?"

"Kau jadi menungguku seperti ini karena aku jarang terlihat."

Bahkan dengan berbagai masalah yang sedang dia hadapi, dia masih memikirkan ku.

"Yah.... Sebenarnya aku cemburu. Sepertinya kau lebih suka berkencan dengan Oppa daripada denganku."

Ini adalah candaanku. Apakah terdengar sangat serius? Aku tidak tahu bagaimana menyusun kata sehingga bisa terdengar lucu.

"Dia lebih menyukaimu. Akhir-akhir ini dia bertingkah bagai bos besar padaku."

Ini adalah hal baru tapi juga tidak membuatku terkejut. Meskipun mereka adalah teman dekat namun ketika di kantor tetap hierarti yang berlaku. Sikap yang bisa membedakan keadaan seperti itu menurutku justru sangat menarik.

"Kau tahu aku tidak boleh ikut campur bukan?!"

"Tentu saja aku tahu. Aku juga tidak akan memintamu untuk melabraknya. Tenang saja."

Aku tertawa. Mana mungkin aku melabraknya kalau aku saja tidak tahu ada dimana kantornya. Tidak mungkin juga aku melakukannya. Itu sama saja dengan membuat pengumuman kalau kami adalah pasutri dengan perjanjian. Terdengar sangat buruk.

"Kerja bagus. Aku tahu kau selalu bisa ku andalkan."

Seungbo di depanku mulai menatapku sendu. Berulang kali dia terlihat menahan kata untuk di ucapkan. Dia juga lebih sering menghindari ku. Ketika dia melakukan itu biasanya ada sesuatu buruk yang pasti ingin dia sampaikan. Apakah lebih buruk dari lembur dua Minggu?

I love You, I'm SorryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang