Pisah Ranjang

20 2 0
                                    

Thank U buat kalian yang udah mampir.
Hope you enjoy reading^^



Sepanjang perjalanan pulang Seungbo sama sekali tidak melihatku. Tidak juga berkata apapun. Dia hanya terus saja berfokus pada jalanan di depan. Wajahnya juga datar. Aku tahu kenapa dia bersikap seperti itu. Dia memprotes ku yang tidak pernah memihaknya ketika di restoran tadi. Dibalik sikapnya yang selalu serius dia juga terkadang berlaku seperti ini. Diam yang sangat tidak menyenangkan.

Tadi ketika keluar dari restoran dia juga tidak menggandeng tanganku. Padahal biasanya dia terlalu terobsesi menggenggam tanganku yang selalu hilang dalam genggamannya. Dia tetap membukakan pintu untukku naik mobil. Dia juga masih meletakkan tangannya pada bingkai pintu menjaga kepalaku supaya tidak terbentur. Tapi semua ini dia lakukan tanpa suara. Sama sekali tidak mengucapkan sepatah kata pun.

"Aku tahu aku salah. Maaf. Jangan marah lagi hmm??"

Aku yang semakin tidak nyaman dengan aksi diamnya berusaha membujuknya. Tapi dia terus diam. Tidak menjawab. Sama sekali tidak terpengaruh bahkan ketika ku julurkan tanganku menarik lengan kemejanya. Dia membiarkanku merengek bagaikan bocah lima tahun.

"Kau tahu kan aku harus membangun image supaya tidak membuatmu malu. Hmm? Jangan marah ya."

Tidak ada reaksi. Seungbo masih nyaman dengan protes diamnya.

"Ah sudahlah. Kalau kau tetap mau diam silahkan lagipula juga tidak merugikanku."

Sambil berpura-pura marah kulepaskan tanganku yang ternyata percuma. Seungbo tidak terpengaruh sama sekali. Sempat kudengar dia berdehem singkat. Kukira dia akan membuka mulutnya yang ternyata itu hanya halusinasi ku. Dia masih nyaman dengan suasana menyebalkan ini. Sampai akhirnya kita sampai di rumah.

Setelah pintu terbuka dia menerobos masuk mendahuluiku. Dari langkahnya yang panjang sepertinya dia sedang memiliki sesuatu yang harus segera di lakukannya. Kalau memang seperti itu aku justru bersyukur. Setidaknya dia tidak sepenuhnya mendiamkan ku. Mungkin saja tadi selama perjalanan pulang dia sedang memikirkan urusannya itu. Dan tidak dengan sengaja membuatku berkata sendiri.

"Seongho-ssi kau di rumah?"

Di balik dapur Seongho tampak sibuk dengan acara memasaknya. Entah apa yang sedang dia buat kali ini. Mungkinkah dia mencoba menumpuk sekian banyak macam lauk yang dia jajar memenuhi meja diatas selembar roti dan kemudian menumpuknya dengan selembar roti lagi di atasnya? Roti lapis? Tentu saja dia sangat pandai membuat camilan satu itu. Tapi tunggu, bukankah dia membuat terlalu banyak?

"Oh hai Nuna. Kau sudah datang?"

Seperti biasa ketika sedang sibuk dia hanya akan menatapku sekilas dan kembali mengabaikanku. Dia mulai tertular kebiasaan serius Hyungnya.

"Sedang apa? Sandwich? Segini banyak?"

Aku mengambil kursi untuk ku duduki. Seongho di depanku tidak terganggu sama sekali. Dia terlihat sangat bersungguh-sungguh dengan pekerjaannya. Menyenangkan melihatnya yang seperti ini. Dia sudah jauh lebih baik dari ketika awal aku mengenalnya. Cahaya dari wajahnya yang entah berdasarkan apa aku meyakini mulai bersinar. Semangatnya? Mungkin.

"Aku akan menjualnya di akademi nanti."

"Kau? Menjual ini?"

Aku memicingkan mata menatapnya curiga. Orang yang mendapat tatapanku justru tidak menggubris. Dia masih saja asik dengan potongan daging yang dia letakkan diatas selada. Masih tanpa menatapku dia kembali membuka mulutnya.

"Apa aku terlihat kekurangan uang di mata Nuna?"

Tentu saja tidak. Dia akan selalu memalak Hyungnya untuk urusan uang. Dia bisa menggunakan seribu satu alasan supaya bisa mendapat uang saku lebih. Herannya dia tidak pernah mau menerima uangku. Bahkan ketika aku diam-diam memasukkannya kedalam saku jaket atau tas ranselnya. Dia pasti akan mengembalikan padaku. Dia seperti punya alat pelacak sehingga mengetahui kalau uang itu dariku. Memang, Hyungnya tidak akan melakukan hal seperti itu.

I love You, I'm SorryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang