Waktu berlalu dengan cepat. Kesibukan yang menyita waktu membuatku terlambat menyadari kalau sudah hampir dua Minggu aku selalu pulang larut karena lembur. Menyedihkannya setiap kali pulang selalu kutemui dia yang menungguku dengan raut cemas. Mula-mula dia menungguku dengan di temani televisi yang menyala, meskipun aku yakin dia tidak menontonnya. Kadang dia duduk di meja makan sembari memainkan ponselnya. Pernah juga ku temui dia yang keluar dari kamar mandi dengan sisa basah di wajahnya. Apakah sebenarnya dia sangat mengantuk namun terus saja menungguku?
Kali ini pun tak jauh berbeda. Ketika aku masuk rumah ku temukan dia yang tertidur di meja makan. Setelah meletakkan mantel dan tas kerjaku dengan sembarang, kuhampiri dia. Matanya terpejam tampak sangat lelah. Bibir ranum yang biasa menyapaku dengan senyuman indah entah mengapa terasa lebih pucat dari biasanya. Atau mungkin sebelumnya memang sudah seperti itu tapi aku gagal mengenalinya? Pelan ku ulurkan tanganku merapikan anak rambutnya yang berantakan. Dia terlihat sangat tenang ketika tidur.
"Sayang, bangun." Bisikku.
Aku takut mengganggu tidurnya. Tapi aku juga tidak bisa membiarkannya tidur disini. Udara sangat dingin. Dia bisa flu. Meja makan tempat dia menopang tangan untuknya merebahkan kepala juga membeku. Dia hanya memakai luaran tipis yang melapisi baju tidurnya.
“Apakah sudah pagi?”
Kata pertama yang dia ucapkan adalah memastikan waktu. Dia pasti sudah lama menungguku.
“Pukul tiga subuh” Jawabku.
Aku ingin tersenyum, tapi mungkin ini adalah waktu yang salah jadi aku mengurungkannya. Dia menatapku sendu. Seolah berkata ingin lebih lama bersamaku. Dia sudah pernah mengatakannya memang, meskipun tidak benar-benar mengatakannya. Dia bergumam menyesalkan diriku yang selalu pulang larut dan jarang terlihat. Dia pasti kesepian. Seongho, bocah tengil itu juga jarang pulang. Dia menemani Eomeoni yang berkata ingin salah satu dari kami ada bersamanya. Tentu saja Seongho adalah orang yang datang karena aku sudah memiliki keluarga kecil untukku jaga. Meskipun, tentu saja, Eomeoni tidak tahu kalau aku telah menikah.
“Kamu tidak tidur?”
Kenapa dia terus saja menghawatirkanku? Tidak bisakah sekali saja dia berkata jujur? Bersikap lebih egois tidak akan membuatnya tampak buruk. Dia bisa menahanku untuk jangan pergi. Atau berkata membutuhkanku untuk berada di sampingnya setiap saat. Kalau saja dia mau mengatakannya, mungkin rasa sesak di dadaku menjadi lebih lega. Namun sayangnya, dia memilih tidak mengatakan itu.
“Aku harus membangunkanmu dulu sebelum aku tidur”
Ku usap kepalanya lembut. Dia memejamkan matanya sebentar. Ku sentuh pipinya yang dingin terbasuh udara malam. Walaupun di dalam ruangan dengan pemanas ruangan yang menyala tetap berhasil mengantarkan udara dingin padanya. Aku turun dari kursiku, bersiap menahan tubuhnya untuk ku angkat memindahkannya kedalam kamar. Tapi dia hanya diam. Dia juga tidak berusaha mengangkat kepalanya yang sedari tadi terus berbantal lengannya.
"Kenapa? Ada yang sakit? Sebentar."
Ku dekatkan kursi yang semula ku duduki. Kembali mendudukinya lalu menangkup pipinya. Menyandarkan kepalanya pada bahuku untukku lebih bisa mengusap dahinya, kalau saja dia ternyata demam. Tapi tidak. Bukannya panas melainkan dingin. Dahinya sangat dingin. Apakah karena terlalu lama dia meletakkan kepalanya pada meja makan? Tidak. Dia memiliki tangan yang membatasi kepalanya dengan meja makan yang dingin.
"Kamu membeku. Kita pindah ke dalam ya. Ah, kau bilang ingin berlibur bukan. Kita bisa melakukannya. Tadi Hyung bilang Presdir sudah menyetujui rencana kerja yang kita buat. Setelah hari ini aku bisa langsung mengambil cuti. Bagaimana? Kau suka?"
"Eum aku suka." Katanya singkat. Sangat lirih. Sangat terdengar suara khas bangun tidur.
"Aku sudah memesan tiket tadi. Untuk mengejutkanmu, tentu saja. Aku tahu kau tidak akan setuju kalau aku mengambil kelas bisnis. Kau pasti akan bilang 'terlalu mahal' padahal aku sama sekali tidak keberatan. Ini adalah liburan pertama kita jadi aku ingin semua yang terbaik. Ah, salahkan aku yang tidak mampu membeli tiket kelas eksekutif. Kau tidak marah kan?!"
Ini sudah malam. Hampir pagi malah. Tapi aku sibuk menceritakan rencana liburan yang akan datang. Mulutku sibuk mengoceh tentang bagaimana kita akan menghabiskan waktu ketika sampai di sana nanti. Tempat mana saja yang akan kita kunjungi. Bahkan sempat juga memikirkan oleh-oleh apa yang akan kita beli. Yang padahal kita belum sampai di sana. Aku memang terlalu bersemangat.
"Aku merindukanmu."
Kalimat tiba-tiba yang dia ucapkan langsung mengubah suasana. Otakku yang semula sibuk berfikir jauh kedepan mendadak tersadar. Dia. Suaranya. Entah mengapa terdengar sangat asing di telingaku. Dia berkata merindukanku. Hal yang sangat tidak biasa. Dia bukan tipe wanita yang akan mengatakan perasaannya dengan mudah seperti ini. Dia penuh pertimbangan pada hal sekecil apapun, yang padahal tidak perlu.
Aku bukannya tidak suka. Lebih tepatnya terkejut. 'aku merindukanmu'. Sebuah kalimat yang menyatakan kepemilikan. Aku adalah miliknya. Seseorang yang berhak dia rindukan. Tapi kenapa? Dia berkata bukan tanpa maksud. Aku tahu dia tidak akan berkata seperti itu dengan gamblang. Dia memiliki maksud yang lain.
"Setelah hari ini berlalu aku akan sepenuhnya milikmu. Maafkan aku ya. Aku janji hanya akan memikirkanmu setelah ini."
Ini adalah kata penghiburan untuk diriku. Aku perlu meyakinkan diriku kalau aku berhak berkata seperti itu, setelah apa yang kulakukan padanya. Meninggalkannya sendiri di rumah bukanlah hal yang baik. Dia pasti sangat kesepian. Aku yang bersalah.
"Terimakasih sudah hadir dalam hidupku."
Bukan. Ini salah. Kenapa dia berkata hal aneh seperti ini. Kalimat yang dia ucapkan tidak benar. Harusnya aku yang bersyukur dia telah hadir dalam hidupku. Tunggu! Bukan ini masalahnya. Kenapa dia tiba-tiba seperti ini? Suasananya mendadak menyedihkan. Ada apa ini?
"Kamu adalah suami terbaik untuk wanita tidak sempurna sepertiku. Meskipun aku bukan istri yang baik. Meskipun.." kudengar dia menghela nafas dalam. "Meskipun.. aku adalah kesalahan terbesar dalam hidupmu."
Aku tidak tahu. Kenapa dia bersikap seperti ini. Dia seolah sedang mengatakan sesuatu yang telah dia pendam lama. Kalimat yang dia ucapkan adalah kebahagiaan namun penuh dengan nada penyesalan. Kenapa dia? Sikapnya persis ketika dia sedang hilang akal beberapa waktu lalu.
Apa yang sedang dia fikirkan? Apakah ada sesuatu yang mengganggu?
Dan pada saat pikiranku sibuk menerka apa yang sedang terjadi, ketakutan ku menjadi nyata. Aku panik ketika ku dengar tarikan nafasnya yang menjadi berat. Seolah dia kesulitan bernafas. Aku takut sesuatu terjadi padanya. Nafasnya semakin memburu seiring kepanikan mengubahku menjadi pria bodoh. Aku gagal mengenali kenyataan. Nafasnya yang tersengal terdengar semakin menyakitkan.
Dalam otakku yang buntu hanya ada satu cara yang terlintas. Dokter. Tanganku yang kesulitan mencari ponsel menyumbang ketakutan dalam diriku menjadi lebih besar.
Berhasil. Aku menemukannya."Aku mencintaimu "
Tapi tepat ketika aku berhasil menekan tombol panggil pada ponselku, kurasakan sesuatu dingin jatuh membasahi pipiku. Aku menangis. Terlambat menyadari kenyataan. Aku tidak bisa menahan bahuku untuk tetap tegar sebagai sandarannya. Aku juga gagal menahan air mataku yang terus mengalir membentuk bercak basah pada pangkuanku.
Tapi dia tetap diam. Dia tidak lagi bertanya mengapa aku menangis. Dia tidak berusaha menghentikan tangisku. Dia masih diam. Terus saja diam bahkan ketika ku tarik bahunya untuk ku dekap. Aku tidak berani melihatnya. Hanya semakin erat menyembunyikan tubuh rapuhnya dalam pelukanku yang tidak lagi hangat. Pelukanku takkan mampu membuatnya hangat. Dia terlanjur dingin, perlahan. Udara dingin musim gugur lebih bisa memenangkannya daripadaku.
Dia masih hangat. Setidaknya sampai pagi menjelang. Dan aku terlalu takut kehilangan kehangatan itu. Jadi aku hanya bisa terus mendekapnya seperti ini.
Istriku. Dia pergi meninggalkanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
I love You, I'm Sorry
Romance"Love you. Kembalilah tidur." Ini masih gelap dan kamu tiba tiba menciumku? Sepertinya ada maksud lain di baliknya.