Kejadian Sebenarnya

13 2 0
                                    

"Ya! Kau bilang apa padanya."

"Astaga! Seungbo! Apa yang kau lakukan disini."

Dia menarik tanganku paksa untuk mengikutinya menjauh dari cafe. Setidaknya menghindar dari dinding kaca yang mungkin dia takut orang di dalam cafe bisa melihatnya.

"Aku tanya apa yang kau katakan padanya!?"

Aku sadar suaraku meninggi. Aku tidak bisa menahan rasa penasaran kenapa dia bertingkah mencurigakan seperti ini. Beberapa kali dia mencuri lihat seolah takut seseorang menemukannya. Dia tidak sedang dikejar debt colector bukan. Sangat tidak mungkin. Orang mapan seperti dia?

"YA! Apa yang kau lakukan pada pacar mu hah?"

Ayunan tangannya yang cepat berhasil menyapa bahuku keras. Panas. Bagaimana tidak. Dia memukul bahuku tanpa peringatan. Menyebalkan. Apa semua wanita suka memukul seolah itu cara mereka bercanda? Tapi tunggu! Pacar? Kenapa? Ada apa?

"Ya! Jawab dengan jujur. Kau tidak memperhatikannya?"

"Tunggu. Kenapa kau langsung menyalahkan ku?"

"Kau tidak sadar perubahan besar yang sudah dia lakukan? Yah, dimana-mana pria memang sama saja. Mereka selalu berkata akan melakukan yang terbaik padahal omong kosong."

"Ya! Bicaralah yang jelas agar aku mengerti."

"Apa kau bahkan sadar kalau dia hampir gila? Bukan ungkapan tapi gila yang sebenarnya. Keadaan mentalnya sudah terganggu dasar bodoh."

"Kau bilang dia gila? Bagaimana kau bisa berkata seperti itu. Kau dokternya!"

"Aku sedang tidak membahas pekerjaan sekarang. Aku mengatakannya sebagai sesama wanita. Apa yang sudah kau lakukan padanya sampai dia seperti itu."

"Dia selalu bilang baik-baik saja. Dan memang seperti itu kenyataannya."

"YA!!" Dia memukul kepalaku keras. "Kau kira dia akan bilang kalau dia sedang menderita hah? Padamu? Orang yang dia cintai? Dasar bodoh."

"Apa kau bahkan sempat membaca pesanku? Tiga bulan dasar bodoh! Sebaiknya kau perlakukan dia lebih baik."

"Ah, aku selalu lembur akhir-akhir ini. Aku tidak sempat melihat ponsel."

"Tunggu! Tiga bulan? Apa maksudmu tiga bulan?"

"Ya! Kau benar Seungbo si jenius itu? Kenapa kau menjadi sangat bodoh sekarang."

"YA! Katakan saja apa! Jangan berbelit seperti ini!"

"Hidupnya!" Dia diam sebentar. " Kubilang hidupnya tinggal tiga bulan lagi dasar bodoh. Aku bahkan tidak bisa menjamin akan tepat tiga bulan atau justru lebih cepat.

"Ya! Aku mengatakan ini karena kau temanku, tapi tolong! Perlakukan dia dengan baik. Kau kira aku tidak tahu sifatmu yang gila kerja?

"Ah, lakukanlah tanpa membuatnya curiga. Dia memintaku untuk merahasiakannya darimu."

_______

Angin malam yang dingin berhembus menusuk kulit. Sangat dingin sampai terasa sakit. Aku sama sekali tidak menyangka akan menjadi seperti ini. Sangat rumit. Terlalu tragis untuk di ceritakan. Bagaimana aku harus bersikap di depannya nanti. Aku harus berpura-pura tidak tahu meskipun sebenarnya aku sangat ingin menghiburnya. Meyakinkannya kalau dia tidak perlu menanggung semuanya sendiri. Dia bisa membagi rasa sakitnya padaku. Aku sangat ingin melakukan semua itu. Sayangnya dia yang terlalu mandiri justru membuatku merasa sangat tidak berguna.

Melihat punggungnya yang berjalan menjauh menyiksaku yang sangat ingin merengkungnya. Aku ingin memeluknya sekarang juga. Membiarkan dia bersandar padaku. Tapi kenyataannya adalah sebaliknya. Tidak ada yang bisa kulakukan. Hanya seperti ini. Mengikutinya dari belakang dalam diam. Bersikap sangat pengecut layaknya pria dungu tanpa perasaan malu.

Ponselku bergetar. Kubiarkan. Tapi semakin lama getarannya semakin mengganggu karena tak kunjung berhenti. Hyung. Lagi-lagi dia. Kenapa setiap kali keadaan menjadi sulit dia selalu datang memperburuk keadaan?

"Halo." Ucapku datar.

"Ya! Brengsek! Kau benar-benar tidak datang hari ini hah? Dasar kau siala-"

"Hyung aku sedang sibuk. Kita bicara nanti."

Ku putuskan telfon begitu saja. Kembali menonaktifkannya lalu menyimpannya dalam kantong. Aku sudah tahu apa yang akan terjadi besok jadi biarkan hal itu terjadi besok. Untuk malam ini aku ingin menjadi pria pengecut untuk wanita yang ku cintai. Seperti yang dia mau, aku akan berpura-pura tidak tahu dan terus melangkah maju. Meskipun dalam hati aku sangat menentang keputusan ini.

Sebentar saja aku teralihkan oleh telfon Hyung, sudah tak kutemukan dia yang tadi berjalan di depanku. Kemana dia. Kuedarkan pandangan ke sekeliling tak kutemukan dia. Bagai orang gila aku berlarian kesana kemari dengan perasaan gelisah.

Aku sangat tahu dia sedang tidak baik-baik saja saat ini. Sedari tadi dia berjalan dengan fikiran kosong. Langkah kakinya yang mantap berbanding terbalik dengan tangannya yang terayun tanpa tenaga mengikuti langkah kakinya. Tasnya yang dia tenteng semakin meyakinkan. Aku ingat dia pernah berkata menenteng tas adalah hal yang merepotkan jadi dia akan selalu menyampirkannya di bahu.

"Ketemu."

Aku terlambat. Dia terlanjur melakukannya. Menghabiskan semua kaleng minuman yang dia bertekad takkan pernah menyentuhnya. Dia terlihat sangat berantakan sekarang. Jauh lebih menyakitkan dibanding ketika dia berkata menyerah pada pengobatan.

"Kenapa kau disini? Dan apa ini? Kau minum semua ini?"

Aku tidak bisa memikirkan kata lagi saat ini. Hanya deretan pertanyaan tidak berguna itu yang terlintas. Dia menatapku. Tapi tidak sedang menatapku. Dia benar-benar sudah kehilangan akal sehatnya. Dadaku sesak melihatnya. Matanya yang menatapku bertanya sudah cukup mengatakan kalau dia pasti melupakanku.

"Anda siapa?"

Benar. Dia tidak mengenaliku. Dia bahkan sampai menggunakan honorifik padaku. Apa yang bisa kulakukan? Tidak mungkin aku memaksanya untuk ikut denganku ketika dia bahkan tidak mengenaliku. Dia pasti akan menganggapku gila kalau sampai melakukan itu. Tapi aku lebih tidak bisa melihatnya seperti ini.

"Kenapa kau minum sebanyak ini? Ayo kita pulang."

Lagi-lagi aku berkata tidak berguna. Aku terus saja berkata seperti pecundang. Aku ingin dia mengenaliku. Cukup mengingat kalau aku bukanlah orang asing baginya. Kemudian membawanya pulang. Malam semakin larut. Udara juga semakin dingin. Sangat tidak baik untuknya.

Kugaruk kepalaku yang tidak gatal. Menyadari kebodohanku yang tidak membawa jaket untuknya. Dia hanya memakai kain tipis yang pasti sangat dingin. Aku juga tidak mungkin memberikan Hoodie yang sedang kupakai walau bisa saja aku melakukannya. Meskipun aku memakai kaos dibalik jaket tudungku, orang akan menganggapku mesum kalau membuka baju di tempat umum.

Ketika akhirnya dia menangis dalam pelukanku, sama seperti yang sudah terjadi, aku tidak bisa melakukan apa-apa. Aku tidak mampu menghiburnya. Lebih lagi untuk menenangkannya. Hanya kalimat egois dan tanpa merasa bersalah kukatakan.

"Sudah sudah tidak apa-apa. Ada aku disini. Kamu aman bersamaku."

I love You, I'm SorryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang