Mulai Gusar

33 4 0
                                    

Thank U buat kalian yang udah mampir.
Hope you enjoy reading^^

"Nuna. Akhirnya Nuna menjawab telfonku."

"Ada apa?" Tanyaku malas.

Ini sudah kesekian kalinya dia berusaha menelfonku. Aku tidak bisa menonaktifkan ponselku hanya untuk menghindari telfon Seongho. Ada banyak urusan pekerjaan yang menjadi jaminan kalau aku melakukan itu. Terutama ketua tim. Aku juga tidak tahu mengapa ketua tim sangat suka menelfonku melalu nomer pribadi. Selalu ada saja hal yang dia bahas setiap kali menggangguku. Untunglah dari kesemua itu dia hanya membicarakan tentang pekerjaan. Kalau saja dia sudah melewati batas aku mungkin akan langsung menyodorkan surat pengunduran diri.

Sudah hampir satu bulan sejak aku tidak lagi melihat kedua kakak beradik itu di rumah. Dan selama itu juga tidak ada tanda tanda kalau Seungbo akan memperbaiki keadaan. Dia tidak berusaha menelfonku. Tidak juga mengirimkan pesan. Ponselku yang biasanya di penuhi dengan catatan panggilan darinya sekarang tidak ada.

Seongho beberapa kali menelfonku yang hanya kuabaikan. Aku belum siap mendengar suaranya. Aku takut kalau seandainya tidak sengaja mendengar suara Seungbo. Bagaimanapun mereka tinggal serumah pasti ada saat ketika mereka saling berbicara bukan.

Suasan di rumah Eomeoni memang sangat menenangkan. Aku yang hanya pernah sekali kesana sangat tahu kalau rumah itu dirawat dengan sangat baik. Kalau saja aku mengenal Eomeoni bukan karena Seongho mungkin aku akan mengunjunginya sangat sering. Sayangnya Eomeoni adalah orang tua mereka berdua. Aku menyukai suasana rumah Eomeoni tapi tidak dengan kehadiran mereka berdua.

"Eomeoni bertanya kenapa aku tidak pergi menemui Nuna."

"Aku tidak percaya."

Eomeoni bertanya seperti itu? Sangat tidak mungkin. Sudah sangat jelas kalau ini hanya akal-akalan Seongho supaya bisa menelfonku.

"Dia juga bertanya kenapa manusia itu selalu di rumah."

Mendengar kata manusia itu membuatku kembali merasakan sesak. Padahal Seongho tidak mengatakan namanya kenapa aku bereaksi seperti ini.

"Lalu?"

"Aku bilang Nuna sedang ingin sendiri dan tidak ingin diganggu jadi mengusirku."

"YA!-"

"Mendengar Nuna yang marah sepertinya Nuna sudah lebih baik. Hah... sia-sia saja aku menghawatirkan Nuna."

"Siapa yang menyuruhmu menghawatirkanku."

"Karena aku sudah tahu keadaan Nuna aku akan pergi. Aku harus ke akademi. Nuna tidak bisakah Nuna menjemputku? Sejak Nuna mengusirku aku harus pulang pergi naik bus sendiri. Sangat melelahkan. Aku kadang juga harus terpaksa berjalan kaki karena ketinggalan bus. Manusia itu selalu menolak saat kusuruh menjemput. Padahal aku sudah berjanji akan membelikannya strawberry kesukaannya kalau dia mau tapi dia tetap menolak. Kalau saja Nuna ada pasti dia tidak akan bisa menolak."

Seongho yang mendumel terdengar menggemaskan. Tingkahnya yang selalu manja mau tidak mau membuatku rindu padanya. Dia memang bisa membuatku merasa seperti seorang kakak yang harus selalu mengawasinya setiap saat. Tingkahnya yang tidak terduga lah yang membuatku tidak bisa marah padanya.

"Apa hubungannya denganku."

Bibirku terangkat. Sepertinya ini adalah senyum tulus pertama yang kulakukan setelah malam itu.

"Nuna tidak tahu? Dia selalu mencari perhatian Nuna."

"Hm?"

Seungbo? Mencari perhatian? Bukankah justru dia yang selalu memperhatikanku? Perhatian yang terlalu besar sampai membuatku salah mengartikan sebagai ketertarikan. Ah, mengingatnya lagi membuatku kembali terluka. Senyumku menjadi kecut. Mengingat kebaikan Seungbo kembali membuatku merasa sangat bodoh.

"Nuna tahu kenapa setiap pagi dia selalu di balkon?"

"Menjemur pakaian?"

Aku selalu melihatnya membawa keranjang pakaian. Kalau bukan menjemur pakaian lalu apa? Dia tidak akan membawa bawa barang itu kalau bukan untuk menampung pakaian basah setelah di cuci kan?

"Dia sengaja menjemur pakaian ketika pagi karena tahu Nuna selalu ada di dapur menyiapkan sarapan."

"Bicara apa kamu. Kau kan selalu telat bangun. Bagaiman kau tahu."

"Nuna. Selalu terlambat bergabung sarapan bukan hanya karena telat bangun tahu. Nuna lupa kalau aku jarang tidur ketika malam?"

Apakah Seongho berkata jujur? Kalau memang seperti itu kenyataannya bukankah itu sudah sangat lama? Seingatku dari hari pertama aku bertemu Seungbo aku selalu melihatnya kembali dari balkon setiap pagi. Dia mencari perhatian padaku? Kenapa? Itu adalah pertama kalinya aku bertemu dengannya. Bukankah itu juga pertama kalinya dia bertemu denganku?

"Kenapa kau tiba-tiba membelanya? Kau kan selalu bermusuhan dengannya."

"Entahlah. Mungkin aku menyukai kedekatan kalian."

"Kau sepertinya lupa pernah bilang tidak menyetujuiku menemui pria sepertinya."

"Kutarik kembali. Aku sekarang tidak rela kalau memiliki kakar ipar selain Nuna."

Mataku membulat mendengarnya. Apa yang dia katakan? Kakak ipar? Komedi macam apa ini. Seongho selalu bercanda dalam perkataannya tapi bukankah ini sangat keterlaluan. Satu bulan tidak bertemu dengannya membuatnya semakin berani mengatakan pikirannya yang tidak masuk akal.

"Oh ya Nuna apa manusia itu tidak menghubungimu?"

"Kenapa."

"Kemarin aku tidak sengaja melihat pesan masuk di ponselnya. Katanya hasil tes milik Nuna sudah keluar."

"Tes? Tes apa?"

"Mana ku tahu. Ah, aku baru ingat. Pesan itu berasal dari Rumah Sakit."

Rumah Sakit? Kenapa dia mendapat pesan dari rumah sakit? Hasil tes milikku? Apakah aku pernah menjalani tes? Kurasa tidak. Selain karena tanganku yang di perban waktu itu aku tidak pernah ke rumah sakit. Lagi pula untuk apa. Aku selalu merasa sehat meskipun terkadang sakit di perutku yang ketika kambuh seolah bisa membunuhku. Selain itu aku baik-baik saja.

Apa dia menyembunyikan sesuatu dariku? Aku tidak ingat dia bertingkah aneh di depanku. Kecuali ketika dia memelukku dengan tiba-tiba sehari setelah dia menyatakan perasaannya padaku malam itu. Malam yang kata dia aku pingsan. Apakah dimulai dari waktu itu? Aku penasaran. Aku ingin bertanya padanya. Tapi aku tidak ingin menemuinya. Haruskah aku menanyakan langsung pada dokter yang menangani ku waktu itu?

"Seongho. Bisa kau katakan padanya? Aku menunggunya bicara jujur padaku."

Aku tidak mendengar jawaban Seongho karena tepat setelah aku mengatakan itu kuputuskan saluran telfon. Apapun yang akan dikatakan Seongho aku tidak peduli. Aku hanya ingin tahu apa yang sedang disembunyikan pria itu padaku. Aku bahkan tidak berani menyebut namanya. Hatiku yang terlalu rapuh selalu merasa sakit ketika mendengar namanya di sebut.

Tapi kenapa aku menunggunya bicara? Benarkah aku yakin dengan apa yang kukatakan? Kalau memang benar Seongho menyampaikan pesanku sudah pasti pria itu akan berbicara padaku. Entah dengan mengirimiku pesan atau menelfonku. Atau bahkan mungkin menemuiku.
Ketika aku mengalaminya nanti, apakah aku akan kembali menangis? Menangis karena merindukannya? Atau justru karena kembali tersakiti olehnya.

Kuharap kalian suka ceritanya.
Kalau suka boleh dong minta bantu dukungan votenya.
Yang mau komen juga silahkan sebisa mungkin bakal aku jawab^^
Love ya.
See ya😘

I love You, I'm SorryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang