Bab 2

60.4K 4.6K 62
                                    

13 tahun yang lalu...

Raya melangkah gontai masuk ke dalam rumah. Wajahnya muram karena kejadian buruk yang menimpa saat di sekolah. Kakinya melangkah ke arah dapur, mencari keberadaan Ibunya. Ada hal penting yang secepatnya harus ia beritahu ke Ibunya.

Menemukan Ibunya berdiri di hadapan kompor dengan posisi membelakanginya, Raya memilih menarik salah satu kursi di ruang makan. Tidak ada penyekat antara dapur dan ruang makan. Jadi ia lebih leluasa memandang punggung Ibunya dari tempatnya duduk.

"Ibu," panggil Raya.

"Udah pulang?" Ibu menanggapi tanpa memutar badannya untuk menatap anaknya.

"Ibu," panggil Raya lagi.

"Apa?"

Raya tidak langsung menjawab. Melihat Ibunya yang masih sibuk dengan masakannya, Raya jadi takut untuk memberitahu.

"Ibu," panggil Raya untuk ketiga kalinya.

"Apa sih?" Tanggapan Ibu tidak selembut sebelumnya. Dari nada suaranya terdengar kalau Ibunya kesal karena terus menerus dipanggil.

"Ibu."

Kesabaran Ibu sudah habis. Tangannya mematikan kompor, dan dengan membawa pisau menghampiri anak bontotnya. "Apa sih manggil-manggil? Kamu nggak lihat kalo Ibu lagi masak?"

Raya hanya bisa menampilkan cengiran. "Lagian Ibu dipanggil-panggil nggak nengok."

"Kan bisa ngomong langsung. Kuping Ibu belum budek," sela Ibu mendelik tajam. "Ada apa? Kamu buat masalah apa di sekolah? Nggak capek bikin ulah mulu?" tanyanya beruntun.

Raya meneguk ludahnya susah payah. Belum juga menjelaskan, Ibunya sudah mengeluarkan taring tajam.

"Masih SMP aja udah banyak tingkah," keluh Ibu. "Ada aja hal ceroboh yang bikin Ibu pusing."

Raya berdeham. Ia menegakkan duduknya, tidak lupa memasang tampang memelas agar Ibunya kasihan padanya. "Hari ini aku ada pelajaran kimia."

"Terus?"

"Terus ada praktikum di lab kimia."

"Terus?" Perasaan Ibu sudah tidak enak. Apalagi melihat Raya yang saat ini sedang memilin jari, khas kalau anaknya sedang cemas.

"Aku nggak sengaja mecahin alat-alat praktikum," ucap Raya lirih.

Ibu menarik napas panjang, lalu menghembuskannya keras. Perasaannya ternyata tidak salah. Pasti ada saja perbuatan Raya yang membuatnya banyak istighfar.

"Terus sama guruku disuruh ganti."

"Berapa harganya?"

Raya menunduk ketakutan. "Belum tau, Bu. Soalnya aku mecahin banyak alat."

"KOK BISA MECAHIN BANYAK ALAT?" Ibu sudah tidak bisa menahan emosinya. Setelah mencoba sabar, tapi ternyata meledak juga kemarahannya. Ia memang mengenal karakter anak terakhirnya yang selalu ceroboh.

"Alat praktikum punya kelompokku sama kelompok di temanku," jawab Raya. "Aku nggak ada niat buat mecahin. Itu semua nggak sengaja, Bu. Badanku nggak sengaja kedorong sama temanku waktu di praktikum. Terus tanganku nyenggol alat-alat sampai jatuh."

"Kamu pasti banyak bercanda waktu di lab?" tuduh Ibunya.

Raya menggeleng cepat. "Nggak kok!" elaknya.

"Terus, gimana cara gantinya?"

"Hmmm ... boleh beli langsung alat yang aku rusakin, atau ganti pakai uang."

Jagad Raya [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang