Bab 18

47.8K 4K 84
                                    

Sudah hampir satu minggu, panas Raya belum juga turun. Padahal ia sudah minum obat penurun panas, tapi tidak ada berefek apapun. Perjuangannya untuk minum obat tidak main-main. Ibu akan menghancurkan obatnya sampai halus, lalu butuh banyak gula untuk dicampur dengan obatnya agar tidak terasa pahit. Seperti itu cara ribet setiap Raya harus meminum obat. Belum juga drama yang dimuntah karena tidak tahan dengan rasa pahitnya.

Jagad yang merasa kasihan dengan Raya, mau tidak mau menarik perempuan itu untuk melakukan pemeriksaan di rumah sakit. Tentu saja melalui persetujuan dari Ibu dan Bapak. Seharusnya Gandi yang diugaskan untuk membawa Raya ke rumah sakit. Tapi, temannya itu memilih menggantikannya meeting dibanding harus mengantar Raya ke rumah sakit. Akhirnya, membawa Raya ke rumah sakit menjadi tugas Jagad.

Di sepanjang jalan menuju rumah sakit, bibir Raya cemberut. Ia paling benci menginjakkan kaki di rumah sakit. Ada banyak hal yang tidak ingin ia lihat saat di rumah sakit, salah satunya adalah darah.

Saat menunggu namanya dipanggil, Raya merangkul lengan Jagad kuat. Kepalanya bersandar di pundak Jagad sambil matanya memperhatikan satu persatu pasien yang juga menunggu seperti dirinya. Kelakuannya persis seperti seorang anak yang sedang merajuk karena tidak mau diperiksa.

"Mas, aku takut disuntik," bisik Raya pelan.

"Kalo emang disuruh dokternya disuntik ya nurut aja." Jagad menepuk-nepuk punggung tangan Raya yang ada di lengannya.

Raya mencebik. "Aku nggak suka lihat darah."

"Nanti aku tutupin matamu," ucap Jagad terkekeh.

Bibir Raya semakin maju saat mendengar ucapan Jagad.

Saat tiba giliran nama Raya dipanggil, Jagad harus menarik paksa perempuan itu untuk masuk ke ruang dokter. Sampai mereka dilihat menjadi perhatian beberapa orang lain yang sedang menunggu panggilan. Di dalam ruangan, Jagad menjelaskan keadaan Raya kepada dokter secara detail. Raya hanya duduk diam di sebelahnya, dengan kepala tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.

"Karena panasnya sudah lebih dari empat hari, periksa darah dulu ya."

Mata Raya langsung terbelalak lebar. Ia menggeleng-geleng tidak setuju, tapi Jagad dengan santai malah menyetujui dan membawanya untuk ke ruang pengambilan darah.

Jagad sebenarnya tidak tega. Apalagi Raya sudah bersiap menangis saat perawat menyiapkan peralatan untuk mengambil darah. Ia yang berdiri di samping Raya, langsung membawa kepala perempuan itu mendekati tubuhnya. Ia mengusap belakang kepala Raya, berharap bisa menenangkan perempuan yang sedang gugup menunggu diambil darahnya.

"Sus, pelan-pelan ya." Raya menatap perawat yang sudah duduk di depannya dengan wajah ketakutan.

"Nggak sakit kok, Mbak." Perawat itu tersenyum, mencoba menenangkan pasiennya.

Raya mengulurkan lengannya. Ia mengeratkan cengkraman tangannya pada baju Jagad. Wajahnya sudah terbenam sempurna di tubuh Jagad. Jantungnya berdetak semakin kencang saat membayangkan darahnya akan diambil oleh perawat.

"Nggak usah dilihat," bisik Jagad.

"Aaaahhhhh...." Raya berteriak keras saat merasakan jarum menusuk permukaan kulitnya.

Jagad mengusap-usap kepala Raya. "Udah, udah. Susternya udah selesai kok."

Raya menjauhkan wajahnya dari tubuh Jagad. Matanya sudah merah dengan kondisi air mata sudah membasahi pipinya. "Sakit...."

"Malu dilihatin sama susternya. Udah besar, masa masih nangis diambil darahnya?" Jagad mengusap air mata Raya dengan ibu jarinya. Kemudian ia membawa Raya ke kantin, selagi menunggu hasil darah Raya keluar.

Jagad Raya [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang