Bab 25

48.6K 4.1K 78
                                    

Baru kali ini Raya mendengar suara Ayah Jagad yang berteriak-teriak saat ditangani oleh dokter. Karena kondisi yang tidak memungkinkan untuk menerima kunjungan, Raya dan Jagad harus puas saat pihak rumah sakit menyuruh mereka untuk pulang.

"Mas Jagad nggak papa?" tanya Raya khawatir.

Jagad mengangguk. "Aku nggak papa."

"Ayahnya Mas Jagad sering kayak gitu, ya?"

"Beberapa kali kayak gitu."

"Untung perawat-perawat di sana sigap banget ya, Mas. Langsung ditangani gitu."

Jagad mengangguk. Ia bersyukur Ayahnya mendapatkan penanganan yang tepat. Terlebih orang-orang di lingkungan rumah sakit benar-benar sigap dalam merawat Ayahnya. Membiarkan Ayahnya untuk dirawat di rumah sakit jiwa, sebuah keputusan yang tepat. Belum tentu ia bisa merawat Ayahnya sendiri sebaik petugas medis di rumah sakit. Lagi pula, dokter tidak menyarankan Ayahnya untuk dirawat di rumah.

"Sebelum pulang mampir beli makan dulu, Mas. Soalnya Ibu ngasih tau kalo hari ini nggak masak," beritahu Raya sambil membaca pesan di ponselnya. "Semenjak Bapak sakit, Ibu jarang banget masak," lanjutnya mengeluh.

"Soalnya aku sama Rafli udah pesanin makanan sehat buat Bapak sama Ibu. Mungkin Ibu malas masak kalo nggak ada yang makan."

"Mas tau nggak, ternyata Bapak waktu dadanya sakit tuh lagi kena panic attack."

Jagad mengangguk mengiyakan. "Ibu udah cerita ke aku sama Rafli. Awalnya aku nggak nyangka, tapi setelah baca-baca artikel, ternyata panic attack bikin jadi sesak napas, dada juga jadi sakit."

"Aku kira Bapak punya penyakit jantung," sahut Raya lirih. "Pikiranku udah jelek aja, mikir yang nggak-nggak. Apalagi banyak kasus orang yang kena serangan jantung di malam hari. Makin parno aja," lanjutnya menjelaskan.

"Kamu tau nggak." Jagad menoleh ke Raya saat lampu lalu lintas di depan berubah menjadi warja merah. "Pasien di rumah sakit jiwa lebih banyak berjenis kelamin laki-laki."

"Oh ya?" Raya memasang tampang tidak percayanya.

"Kok bisa?"

"Karena laki-laki lebih banyak memendam. Ketika punya masalah, laki-laki lebih milih memendam sendiri. Sampai akhirnya batinnya nggak kuat, dan berakhir di rumah sakit jiwa."

Raya manggut-manggut. "Karena yang lebih sering cerita itu spesies perempuan, bukan laki-laki."

"Itu juga yang terjadi sama Ayahku. Karena dipendam sendiri, akhirnya jadi penyakit batin. Untuk ngobatinnya nggak segampang kalo sakit batuk atau pilek. Kalo psikisinya yang udah kena, bakal merambat kemana-mana."

"Mas Jagad kalo punya masalah jangan dipendam sendiri, harus cerita ke orang lain. Bisa cerita ke Mas Gandi, atau cerita ke Mas Rafli."

"Aku malah jarang cerita masalah yang berat-berat ke mereka."

"Terus ceritanya ke siapa?"

"Kalo nggak cerita ke Ibu, ceritanya ke Bapak."

"Oh ya?" Raya baru tahu fakta soal ini. Ia pikir, tempat curhat Jagad selama ini antara Gandi dan Rafli. Ternyata dugaannya kurang tepat.

"Rafli juga sering kok cerita ke Ibu atau Bapak kalo lagi ada masalah di keluarganya. Sampai sekarang Rafli masih suka curhat ke Ibu sama Bapak."

Raya menampilkan cengiran lebar. "Aku aja yang anaknya, jarang cerita ke mereka."

Jaga tersenyun tipis. "Kamu mau makan apa?" tanyanya. Belum sempat Raya membuka mulutnya, ia dengan cepat menambahkan. "Jangan bilang terserah. Aku nggak mau mikir mau bawa kamu ke tempat makan apa."

Jagad Raya [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang