Sejak berusia tujuh tahun dan mulai mengerti, Luna selalu marah pada takdirnya. Berbagai macam pertanyaan sering muncul di benaknya.
Kenapa harus terjadi bencana alam?
Kenapa orang tuanya harus meninggal?
Kenapa ia berada di Panti Asuhan?
Kenapa tidak ada keluarga yang mau mengasuhnya?
Kenapa ia harus hidup pas-pasan?
dan banyak lagi yang lainnya.Semua pertanyaan yang mengarah ke pikiran negatif itu membuatnya jadi pendiam dan tertutup. Luna merasa kesal jika ada yang tertawa bahagia karena itu seolah sedang mengejeknya. Dia pikir belajar dengan giat dan menjadi pintar akan membuat hidupnya lebih baik.
Namun, kenyataanya, ia mati mengenaskan sendirian. Luna masih ingat betul rasa sakit dan kesepian di penghujung nafasnya. Sama sekali tidak terlintas soal skripsi atau karier sebagai pekerja kantoran yang selama ini ia perjuangkan mati-matian.
"Aku sunguh bodoh" gumamnya seraya mengetok kepalanya sendiri.
Luna bangkit dan jalan perlahan agar tidak membangunkan anak-anak lain. Ia menuju kamar mandi untuk mencuci muka agar merasa sedikit lebih segar. Setelahnya, ia kembali ke kamar dan langsung menuju meja belajar. Luna menggeleng tak percaya melihat deretan dan tumpukan buku-buku tebal. Dirinya yang berusia 17 tahun memang begitu terobsesi dengan belajar.
Semua buku-buku, ia masukkan ke dalam kardus dan hanya menyisakan buku-buku yang memang ia pakai saja.
Kado dari Ibu Ria yang berupa bingkai foto berisi foto-foto kolase dirinya sejak bayi hingga berusia 17 tahun, Luna taruh di atas meja belajar menggantikan posisi buku-buku yang sudah ia pensiunkan.
"Begini terlihat jauh lebih baik" Dulu hadiah itu ia buang karena mengingatkan pada hidupnya yang tidak beruntung.
"Kenapa bangun secepat ini Luna, apa kau sakit?" Tanya Diah, gadis yang ranjangnya berada paling dekat dengan Luna.
"Tidak" jawab Luna setelah menoleh "aku terbangun begitu saja dan tidak bisa tidur lagi, jadi aku beberes" ucapnya lalu tersenyum. "Kenapa kau bangun lebih awal? Apa ini giliranmu membantu di dapur? Tanya gadis itu kemudian.
Bukannya menjawab, Diah malah terbengong, ia menatap Luna seakan tak percaya. "Kau cantik Luna" pujinya "teruslah tersenyum seperti itu" kata-kata itu lolos begitu saja tanpa gadis itu sadari.
"Benarkah?" Balas Luna terkekeh "aku akan sering terseyum kalau begitu"
Diah tersipu malu, gadis yang seusia dengan Luna itu lantas bangun lalu membereskan tempat tidurnya "Kalau begitu aku ke dapur dulu" pamitnya lantas berjalan dengan cepat sambil mengikat rambut sebahunya.
🍈
"Diah, Mbak ke toilet dulu, mules, sayur sopnya tinggal kamu kasih garam tiga sendok makan, awas jangan kurang atau lebih!"
Demikian titah Mbak Intan sebelum meninggalkan dapur. Dengan percaya diri Diah menyanggupi dan meraih toples berisi garam halus. Saat hendak menakar ke dalam sendok, gadis itu dikagetkan dengan suara piring stainlist yang jatuh karena karena disenggol kucing. Tanpa bisa dicegah seluruh isi toples terjun bebas masuk ke dalam kuah sayur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Lime (End)
RomanceSetelah bangkit dari kematian, Luna tak lagi seperti sebelumnya. Tujuan hidupnya-pun berubah. Ia yang awalnya seperti bayangan kini muncul di permukaan. Kedua tangannya jauh lebih berguna dari sebelumnya, tergantung bagaimana suasana hati dan cara i...