Kerumunan sudah bubar, tinggal Alan sendirian yang duduk di meja dan menghabiskan air dari botol yang diberikan oleh Luna. Setelah habis ia melihat merek air itu.
'Airnya sejuk, nanti kuminta Kakek untuk stok di rumah'
"Ck..ck..ck, parah! Parah! Seru Erwin mengambil tempat di samping Alan, ia menatap miris sahabatnya itu.
"Kau benar, memang parah, aku rasanya tadi hampir mati" balas Alan "buat apa sih bikin keripik neraka kayak gini" gerutunya membuang benda yang dimaksud ke tong sampah.
"Bukan itu maksudku, kelakuanmu yang parah, Luna sekarang pasti sedang kesal, gara-gara kau, dia gagal menang taruhan"
"Hah!" Alan shock mendengar penuturan Erwin, ia tidak berpikir sejauh itu, teringat kembali ucapan gadis itu tadi yang menyebutnya ceroboh. "halah tidak mungkin, justru tadi dia yang bantu kasih minum ke aku" sangkalnya menghibur diri.
"Itu cuma demi kemanusian, jangan GR!"
"Kamu itu teman apa musuh sih? kasih semangat, kasih saran atau bantuin kek, perasaan dari tadi kamu nyudutin aku melulu" protes Alan memandang sinis pemuda berjambul di sampingnya.
"Justru aku bilang begini biar kamu sadar dimana letak kesalahan kamu, tapi btw bukannya kamu pernah bilang nggak naksir sama Luna, jadi ngapain peduli sama perasaanya?" Ungkit Erwin usil.
"I..tu karena alasan kemanusian, sudah-sudah, pesan makanan sana!" Kilah Alan lalu mengalihkan topik. "Airnya merk yang ini ya" titahnya lagi seraya mengancungkan botol air yang diminumnya tadi.
🍈
Hampir Setiap hari Luna harus berjalan sejauh dua kilometer untuk pergi dan pulang sekolah. Baginya itu bukan masalah, karena ia sudah terbiasa. Jika dulu ia akan menggerutu karena kelelahan, sekarang tidak, gadis itu bahkan menikmati langkah demi langkah yang ia tempuh.
Berpikir dan berjuang untuk masa depan adalah keharusan, tapi mengabaikan masa kini justru menjadi kebodohan yang hampir dilakukan semua orang. Padahal kita hidup di saat ini.
Hal yang dipelajari Luna dari kematiannya adalah menghargai setiap moment, banyak hal-hal indah di sekitarnya yang dulu ia abaikan, seperti betapa baiknya Ibu Ria, betapa polosnya Diah dan betapa menggemaskannya Rina.
Luna yang lama tidak akan tau ada dua gabut cantik yang suka main taruhan di sekolahnya, ada guru BK mesum yang selalu mencari mangsa dan ada pemuda tampan ceroboh yang katanya bau ketek. Hanya buku yang Luna kenal dulu. Gadis itu tersenyum ketika mengingat ulah Alan tadi, entah apa yang ada di pikiran pemuda itu.
Luna terus berjalan di trotoar tepi jalan raya. Lalu lintas tidak terlalu ramai karena waktu baru beberapa menit bergeser dari jam dua. Tampak sebuah mobil mewah berwarna merah berhenti di depan sebuah Toko kue, dari dalam mobil turun sepasang ibu dan anak balita perempuan berusia sekitar lima tahun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Lime (End)
RomanceSetelah bangkit dari kematian, Luna tak lagi seperti sebelumnya. Tujuan hidupnya-pun berubah. Ia yang awalnya seperti bayangan kini muncul di permukaan. Kedua tangannya jauh lebih berguna dari sebelumnya, tergantung bagaimana suasana hati dan cara i...