"Siska Angraeni!?" Seru Alan balik menunjuk sosok yang baru saja ia sebut namanya. "Wah kebetulan sekali, apa kau pemikik Roku ini?"
"Ini akan lebih mudah karena dia teman kita" bisik Erwin terseyum tipis.
"Kau benar"
"Bukan aku pemiliknya, tapi Luna, teman sekolah kita juga, Lun! Kemari kau masih ingat Alan kan?"
Alan tersentak, tiba-tiba ia lupa caranya bernafas begitu mendengar nama gadis yang selama ini dicarinya disebut. Seperti gerakan slow motion ia melihat gadis yang sejak tadi membelakanginya perlahan berbalik dan mendekat.
'Benarkah itu Luna? Mana rambut keritingnya? Mana kacamatanya?' Jerit Alan dalam hati 'tapi dia makin dewasa dan mempesona, yaa Tuhan jantungku'
Pria itu memegangi dadanya karena Luna kembali memperlihatkan senyum dan lesung pipinya, hal indah yang sudah lebih dari lima tahun tidak dilihatnya.
"Hai Alan, lama tidak bertemu, bagaimana kabarmu?" sapa Luna ramah meski degupannya berdisco. Satu-satunya lelaki yang pernah dekat dengannya kini muncul kembali dan terlihat lebih matang dan dewasa.
"Ha...hai Luna aku baik, kau...?" Sapa Alan gugup. Bisnis dan cinta adalah dua hal yang berbeda dan pria itu akan bersikap sesuai kondisi, tapi kini keduanya berbenturan membuatnya otomatis bingung.
"Seperti yang kau lihat sendiri, ada apa mencariku?" Tembak Luna to the point.
Melihat penampilan resmi Alan dan orang yang dikenalnya sebagai teman pria itu dan juga ucapannya tadi yang menyebut soal Rukonya. Perempuan itu bisa menebak, pasti kedatangan mereka ada hubungannya dengan masalah pembebasan lahan.
"Sebaiknya kita duduk dulu" saran Erwin mengambil alih ketika melihat atasannya mati kutu.
🍈
"Tidak!' Jawab Luna singkat, tak ada lagi senyum ketika Erwin menjelaskan maksud kedatangan mereka.
"Tolong bantu kami, ini adalah kantor pertama yang Alan buka setelah mengambil alih perusahaan, gedung yang kami bangun nantinya akan jadi gedung pusat marketing, semua miniatur gedung dan proyek yang pernah kami kerjakan akan dipajang disini, jadi seperti showcase raksasa" terang Erwin lagi.
"Aku minta maaf bawahanku pernah kemari menerormu, sungguh itu diluar sepengetahuanku, tapi aku akan bertanggung jawab dan kau bisa mengajukan tuntutan jika mau" tambah Alan yang kini makin merasa bersalah.
"Tapi tolong pertimbangkan lagi, ada ratusan orang yang bergantung hidup pada proyek ini, jadi aku mohon pengertianmu" pinta pria itu lagi sambil menundukkan kepalanya.
Luna terdiam, sebanarnya ia tidak mau pindah hanya karena sudah merasa nyaman dengan tempat tinggalnya sekarang, masalah kedai tidak terlalu jadi bahan pertimbangnan.
Mendengar rezeki ratusan orang yang disinggung Alan, hatinya sedikit terusik.
"Aku..." suara mobil menghentikan Luna yang lantas berdiri dan keluar untuk menyambut Wulan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Lime (End)
RomanceSetelah bangkit dari kematian, Luna tak lagi seperti sebelumnya. Tujuan hidupnya-pun berubah. Ia yang awalnya seperti bayangan kini muncul di permukaan. Kedua tangannya jauh lebih berguna dari sebelumnya, tergantung bagaimana suasana hati dan cara i...