13 Akting

326 15 3
                                    

"Beberapa bulan lagi kamu akan lulus. Kamu mau kuliah di mana?"

"Belum kepikiran, Pa."

"Kamu harus kuliah."

"Mungkin Arden mau langsung bekerja, Mas." Melisa menimpali dari pantry. Mengejutkan saja. Wanita dengan kuku indah itu memutuskan untuk memasak makan malam yang Arden ragukan rasanya akan enak.

"Sejak kecil yang ia tahu hanyalah menghamburkan uang seperti Ibunya. Dia tidak tahu cara mencarinya sama sekali."

Bukan salah Arden jika dia begitu. Papanya yang sejak kecil selalu menenangkannya dengan uang. Setiap tidak bisa merayakan ulang tahunnya, papanya akan mengirimkan mainan dan uang. Dari sanalah Arden percaya bahwa dia hidup untuk menghabiskan uang, karena itulah satu-satunya bentuk kasih sayang dari orangtuanya.

"Begitu lulus, anak laki-laki belajar dengan mudah caranya mencari uang. Itu naluri mereka."

"Bagaimana dengan jurusan Manajemen?"

Arden beralih dari ponselnya. Ia sudah mengenakan kaos putih berbalut jaket hitam yang dipadankan dengan jeans biru. Arden siap pergi bersama teman-temannya, tapi papanya memintanya menetap untuk makan malam. Katanya sebentar, tapi Arden ragu ini akan menjadi perbincangan panjang.

"Boleh juga." Arden tidak pernah tahu apa yang ia inginkan untuk hidup. Ia hanya butuh uang dan itu bisa didapatkan selagi dia memberi kesan yang baik untuk Papanya. Jadi Arden terbiasa mengikuti kemauan papanya meskipun hasilnya jarang sekali bagus.

"Kamu satu-satunya penerus yang Papa miliki. Sebetulnya Papa mengerti masa muda seharusnya tidak serumit ini, tapi dulu ketika Papa seumuran kamu, Papa setidaknya sudah tahu apa yang ingin Papa lakukan di masa depan."

Arden menyalakan lagi ponselnya. Pop up chat dari Dave muncul. Tidak sabar mengajaknya keluar, karena Jasmir tidak bisa dihubungi. Begitu katanya.

"Kakek kamu adalah laki-laki yang keras. Satu-satunya yang dia pedulikan adalah bagaimana perusahaan kita tetap bertahan. Kakek kamu tidak mau kerja kerasnya hancur begitu saja, jadi sejak awal Papa adalah aset dibandingkan anaknya."

Kepedihan melintas di mata Herdi sehingga Arden mematikan ponselnya lagi. Bagaimanapun dia tidak boleh bersikap buruk kepada pria yang telah menjaganya selama ini.

"Papa pikir caranya mengajari Papa salah, tapi melihat kamu terombang-ambing dengan ketidakjelasan ini membuat Papa menyesal. Seharusnya kamu diarahkan sejak awal." Herdi meraih gelasnya. "Mungkin kamu harus mengikuti les atau semacamnya."

"Percuma, Pa. Udah mau lulus juga."

"Justru itu. Kamu tidak boleh gagal di ujian akhir, karena itu akan menjadi image kamu ketika lulus."

"Bahkan kalau aku lulus dengan nilai yang bagus, aku tetap harus mengikuti ujian masuk perguruan tinggi."

"Itu karena sejak awal kamu tidak memiliki prestasi apapun."

"Bukankah Arden pernah menjuarai sejumlah pertandingan olahraga?"

Arden menatap Melisa. Tidak menyangka bahwa wanita itu menyelidiki kisah hidupnya.

"Apa artinya lomba-lomba tersebut? Itu perkelompok. Dia tidak memiliki prestasinya sendiri."

Arden sejujurnya mulai muak akan keberadaan Aya di meja makan. Papanya akan membahas masa depan dan memberi motivasi layaknya Mario Teguh. Pembicaraan itu nyambung untuk keduanya sehingga Arden menjadi terlihat seperti orang luar. Namun saat ini Arden kira lebih bagus ada Aya sehingga bukan dia yang dijadikan tumbalnya.

Dave:
COK! LO HARUS LIHAT INI!

Pesan dengan caps lock tersebut membuat Arden masuk ke room chat-nya dengan Dave. Sebuah foto menyusul. Dalam penerangan yang minim, Jasmir tampak menggengam tangan Aya, membawanya menuju mobil yang terparkir di seberang jalan.

RED | Step Sister Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang