"Udah babak belur, kok, malah senyum-senyum." Aya menyindir Arden, sementara laki-laki itu malah tertawa kecil.
"Gue senang, karena lo sepeduli ini sama gue."
"Siapapun yang ngeliat Kakak sekarang juga akan merasa kasihan tahu!"
"Sepertinya orang yang di sana enggak." Arden menatap Dave di pantry. Dave sedang memakan sepotong pizza yang berhasil dibelinya setelah merampas uang Arden. Perayaan, karena Arden masih hidup. Begitu katanya.
"Kak Dave sebenarnya juga cemas, tapi ini semua gara-gara kebodohan Kakak. Jadi Kak Dave enggak mau peduli."
"Ayolah, lo peduli sama gue. Kenapa susah banget untuk jujur soal hal kecil semacam itu?"
"Aku cuma kasihan sama Kakak."
"Lo enggak harus kasihan sama gue."
"Semua manusia yang baik punya rasa kasihan, apalagi melihat orang yang berdarah-darah dan hampir mati."
"Semua orang bisa kasihan, tapi enggak semua orang bisa peduli seperti ini."
Aya menatap Arden jengkel. "Kakak bisa diam enggak?"
"Lo bisa memilih enggak peduli sama gue, Aya."
"Kakak adalah keluarga aku."
"Lo enggak harus peduli sama keluarga lo, apalagi cuma saudara tiri semacam gue."
"Yang mau Kakak ngomongin sebenarnya apa?"
"Lo peduli sama gue, Aya. Enggak usah berpura-pura. Mata lo yang hampir nangis ngeliat keadaan gue itu lebih dari kasihan. Lo mau gue baik-baik aja. Lo rela mondar-mandir cuma untuk nyariin obat gue dan see! Sekarang lo juga membersihkan luka gue."
"Udah aku bilang—"
"No, dengerin gue!" Arden memotong ucapan Aya sebelum perempuan itu berbicara lebih banyak.
"Awalnya gue pikir lo cuma kasihan. Awalnya gue pikir gue cuma jatuh sendirian, tapi enggak. Kecemasan di mata lo, jari-jari lo yang masih gemetaran bahkan sekarang hanya karena gue berdarah adalah kebenarannya. Lo sesayang itu sama gue. Lo juga jatuh seperti gue Aya!" Arden meninggikan suaranya dalam keriangan. Tertawa dan membuat Aya tampak kesulitan berbicara.
"Aya, lo bener-bener pintar menyembunyikannya sampai gue berpikir gue sendirian selamanya."
Aya mundur, menurunkan tangannya yang memegang sepotong kapas berwarna merah.
"Itu enggak benar."
"It's oke untuk jujur soal apa yang lo rasain. Lo enggak harus menyembunyikan hal itu selamanya."
Arden menggengam kedua tangan Aya. Meyakinkan perempuan itu bahwa segalanya baik-baik saja jika Aya mengungkapkan perasaannya. Malah keadaan akan sangat baik. Arden yakin itu.
Aya melirik Dave. "Enggak enak. Ada Kak Dave."
Arden tertawa, lalu memeluk perut Aya. Apa dia bilang! Aya juga menyukainya. Perempuan itu hanya pintar menyembunyikan perasaan, tapi Aya jelas tidak bisa berbohong selamanya.
"Diam dulu!" Aya mendorong Arden. Menempelkan kapas basah ke darah yang mengering di sekitar hidung Arden.
"Sejak kapan?" Arden mendongak. Malam ini Aya sangat cantik. Rambutnya yang berantakan, letak kacamatanya yang miring dan kulitnya yang berminyak menunjukkan betapa perempuan itu hampir tidak memikirkan dirinya sendiri hanya untuk Arden.
"Sejak Kakak menyakiti perasaan aku. Kakak membohongi Papa dan Mama soal hubungan kita. Saat itu aku baru tahu kalau rasanya sesakit itu ketika Kakak bilang enggak mungkin suka sama aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
RED | Step Sister
RomansaArden itu paling ganteng se-SMA Tanjuaya. Tumbuh dengan kepercayaan bahwa semua cewek menyukainya membuat Arden menjadi cowok yang gampang mematahkan hati perempuan. Sekarang targetnya adalah Gaia atau yang biasa disapa Aya. Adik tirinya sendiri ya...