"Ayah, Bunda."

440 54 25
                                    

— 𝙎𝙀𝙉𝙅𝘼𝙉𝙄 —

Suara tawa itu terdengar memenuhi ruang keluarga, hanya dengan menonton sebuah kartun di televisi, membuat empat anggota keluarga tersebut tertawa. Tetapi, Senja tidak berada di sana, dia satu-satunya anggota keluarga yang hanya berdiri di ambang pintu kamarnya, menyaksikan betapa hangatnya suasana di ruang keluarga. Senja sendiri baru bangun tidur, obat yang diminumnya berhasil membuat ia mengantuk dan tertidur. Senja pasti sulit tidur malam ini.

"Ayah, Bunda."

Senja memanggil dengan nada yang pelan, sehingga tidak terdengar oleh kedua orang tuanya. Senja melangkah maju, ia sudah lebih baik setelah minum obat dua kali hari ini, saat pagi dan tadi siang.

"Yah, selesai~" keluh Bulan. "Ayah, ulangi satu kali lagi, ya~" pintanya.

Dirga menggelengkan kepalanya. "Tidak, sekarang waktunya kamu beristirahat, besok sekolah."

"Bulan janji, bulan akan bobo dengan cepat, satu episode lagi, ya~" pintanya sekali lagi. "Bunda, ayo bilang pada Ayah, satu lagi, plis~"

Tari menepuk lengan Sang Ayah. "Ayah, kasih satu kali lagi saja, ya? Bulan itukan tidak pernah berbohong sama Ayah, dia pasti bobo setelah satu episode lagi."

"Kak Senja!!!"

Bulan memekik kegirangan, ia beranjak dari sofa dan berlari memeluk Senja. Bulan benar-benar merindukan Senja, padahal cuma beberapa jam tak bertegur sapa dengannya.

"Kak Senja sudah sembuh?" tanya Bulan. "Bulan kangen."

"Senja juga kangen sama Adik," balas Senja. "Adik, bagaimana sekolahnya hari ini?"

"Seru pasti!" sahut Dirga sinis. "Makanya, sakit sedikit jangan mengeluh, biar tidak ketinggalan keseruan di sekolah, iyakan, Dik?"

Bulan mengangguk setuju, pelukan itu merenggang dan Bulan memegang kedua pipi Senja. Masih empuk pipinya, masih enak dimainkan.

"Kak Senja jangan sakit lagi, ya," ucap Bulan. "Supaya Kak Senja tidak ketinggalan keseluan di sekolah."

"Ayah, besok Kakak harus latihan buat kompetisi bernyanyi pekan depan," ujar Tari. "Pulangnya bisa dijemput, ngga?"

"Kompetisi lagi?" tanya Ayu terkagum. "Anak Bunda makin keren saja, Bunda bangga sama kamu, Kak."

Dirga mengusap pucuk kepala Tari dengan penuh kasih sayang.

"Boleh, boleh banget, nanti Ayah jemput kamu, nanti bilang sama Bu Gurunya saja buat telepon Ayah," tutur Dirga.

"Baik Ayah, terima kasih~"

"Sama-sama, Kakak~" balas Dirga sembari mendaratkan satu kecupan di dahinya.

"Kompetisinya di mana, Kak?" tanya Ayu.

"Di sekolah, kompetisinya sama murid-murid dari sekolah lain, lho," beber Tari.

Betapa Tari dibanggakan. Dikaruniai suara emas membuatnya mendapat banyak tawaran untuk berkompetisi, tak jarang Tari keluar sebagai juara pertama.

"Senja, Senja, Senja!" sahut Senja tiba-tiba. "Ayah sama Bunda mau dengar suara Senja tidak? Senja juga bisa bernyanyi, lho."

"Aaaa, ayo belnyanyi sekalang, Kak Senja!" pekik Bulan antusias.

"Ayo nyanyikan satu lagu buat Kakak, Senja!" pinta Tari tak kalah antusias.

Senja memicingkan matanya berpikir, dia mencari lagu yang cocok untuk dipertunjukkan kepada kedua orang tuanya. Mereka semua harus tahu, kalau Senja juga punya bakat.

"Sudah waktunya tidur tapi," ujar Dirga. "Ayo, masuk ke kamar masing-masing dan beristirahat."

"Tapi, Ayah—"

SenjaniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang