"Senja Tidak Mau Sakit."

374 60 64
                                    

— 𝙎𝙀𝙉𝙅𝘼𝙉𝙄 —

Tari menatap Senja yang terlelap, sebagian tubuh bocah itu terbalut oleh selimut tebal. Padahal ini masih sore, belum waktunya untuk tidur. Biasanya juga Senja menghabiskan waktu sore dengan bermain.

"Senjani."

"Senja."

Suara kecil milik Tari berhasil mengusik tidurnya, sorot mata memerah Senja terlihat begitu jelas sekarang. Melihatnya tak bergerak lebih banyak, membuat Tari memutuskan untuk menghampirinya. Tari merangkak naik ke ranjang Senja, meraba dahinya memastikan seberapa tinggi suhu tubuhnya saat ini.

"Maafin Kakak, ya?" sesal Tari. "Seharusnya Kakak tidak dorong Senja tadi."

Senja berkedip lemah, bibirnya benar-benar kering dan pucat.

"Sakit, ya?"

"Kak Tari," panggil Senja serak. "Senja tidak mau sakit."

Tari mengangguk, ia memeluk Senja dan mulai menelusup masuk ke dalam selimut tersebut. Dia memeluk Senja di balik selimut tebal itu, dengan begini Tari dapat memberikan pelukan yang lebih leluasa.

"Sakitnya sebelah sini?" tanya Tari, ia meraba bagian dada bekas dorongannya. "Maafin Kakak, tadi Kakak kesal karena tidak menang."

Senja balas mengangguk, lalu raut wajah Tari nampak khawatir.

"Senja tahu obatnya," ucap Senja.

"Bagaimana?"

"Diusap-usap terus, dipeluk juga Senja-nya, ya?"

Tari mengangguk patuh, ia mengikuti apa yang dikatakan oleh Senja, yakni mengusap dadanya dengan penuh kasih sayang, lalu ia peluk adiknya itu erat sekali. Dengan begini, Senja dapat merasakan tulusnya kasih sayang orang terdekat. Tak apa jika itu bukan Ayah ataupun Bunda, mendapat perhatian seperti ini saja sudah membuat Senja merasa hidup.

"Tapi sebenarnya sakitnya bukan karena Kakak," ucap Senja. "Yang sakit kepala Senja, bukan dadanya."

Tari beranjak duduk, ia membelai dahi Senja yang kemudian memberinya pijatan kecil. Terlihat dari sorot mata Tari yang sendu, menunjukkan adanya ketulusan dalam diri Tari. Lantas, apakah Tari akan konsisten terhadap ketulusannya pada Senja?

"Kakak tidur di sini, deh," ucap Tari. "Biar Senja tidak sendirian."

"Besok bangunkan Senja," pinta Senja.

"Besok Senja bangun lagi, kan?" tanya Tari. "Biar ada yang bisa Kakak peluk."

"Iya, Senja bakalan bangun lagi."

"Senja mau bobo sekarang?" tanya Tari, Senja mengangguk sebagai jawaban. "Ya sudah, Kakak bakalan terus peluk Senja sampai pagi."

— 𝙎𝙀𝙉𝙅𝘼𝙉𝙄 —

Tari tidak bermain-main dengan ucapannya, dia memeluk Senja sampai pagi tiba. Bahkan jika dia tidak terbangun lebih awal, mungkin saja sekarang dia masih memeluk Senja. Hanya saja dia harus segera bersiap, hari ini bukan hari minggu.

Senja bangun beberapa menit setelah Tari bergegas pergi dari kamarnya, tentu saja Senja merasa lebih baik setelah melewati malam yang cukup panjang bersama Kak Tari. Sakit kepalanya cukup mereda, berkat pelukan hangat yang diberikan oleh Kak Tari.

Bocah itu turun dari ranjangnya, tubuhnya kembali mendapatkan energi. Ia mengumbar senyum hangatnya, mulai melangkah keluar kamar untuk ikut sarapan bersama yang lain.

"Selamat pagi~" sapa Senja. "Lho, kenapa tidak panggil Senja? Kan, Senja mau sarapan bareng."

"Kan!" sahut Dirga. "Anak ini tidak benar-benar sakit, dia cuma cari perhatian saja!"

"Mas," panggil Ayu. "Kamu sudah lebih baik?"

Senja mengangguk mantap. "Sudah, dong! Kan, semalam Kak Tari tidur sama Senja, peluk Senja dan sayang-sayang Senja."

Tari menepuk kursi kosong di sebelahnya, meminta pada Senja untuk segera mengisi kekosongan di sana.

"Kirain Kakak, kamu masih harus istirahat, jadi Kakak tinggal duluan," ucap Tari.

"Ih, kenapa tidak ajak Adik?" sahut Bulan sedih.

"Sempit, Dik!" kata Senja sambil cekikikan. "Tidur sama Kak Tari saja hampir jatuh."

"Kak Senja sudah sembuh tapi?" tanya Bulan.

"Sudah, kok!"

"Bohong sakitnya itu!" seru Dirga. "Kalau sakit beneran, mana mungkin bisa berjalan ke sini sekarang."

"Senja tidak lumpuh, Ayah," sahut Tari. "Lagipula, kenapa Ayah tidak pernah perhatian sama Senja, sih?"

"Kalau sarapannya sudah selesai, kalian mandi dan siap-siap, ya?" pesan Dirga, nada bicaranya berubah jadi lebih rendah. "Nanti Ayah antar kalian ke sekolah."

"Senja ikut!" seru Senja. "Senja sudah sembuh, Senja mau sekolah."

"Kakak, Adik, kalian mandi, gih!" suruh Dirga, masih dengan nada yang rendah penuh kasih sayang.

"Tunggu sampai Kak Senja beles," ucap Bulan.

Tari mengangguk. "Kakak juga."

Ayu melipat bibirnya sendiri, menyisakan Dirga yang kelihatan berusaha meredam amarah atas keputusan Tari dan Bulan. Tidak seperti biasanya mereka tidak menurut.

"Mau berangkat sama Ayah, kan?" tanya Dirga. "Nanti pulangnya Ayah jemput juga."

"Sama Bunda saja!" jawab Bulan setelah menghabiskan segelas susunya.

"Bun, suruh mereka mandi, gih!" kata Dirga.

"Nanti, sampai Senja beres, biar sekalian," balas Ayu.

Senja menatap bingung pada mereka, ia mengunyah perlahan makanan yang baru saja masuk ke mulutnya. Detik berikutnya Dirga beranjak berdiri, ia menatap bengis pada Senja yang masih kebingungan.

— 𝙎𝙀𝙉𝙅𝘼𝙉𝙄 —

"Ayah, tunggu Senja!"

Padahal satu tangan Dirga menganggur, mengingat Tari masih berada di mobil karena sekolahnya berbeda dengan Senja dan Bulan. Namun, dengan tanpa perasaan Ayah Dirga hanya menggenggam tangan Bulan, membuat Senja mengejar di belakang minta digenggam juga. Bulan beberapa kali menoleh ke belakang, kaki mungilnya dipaksa berlari akibat dari langkah cepat Ayah Dirga.

"Sampai jumpa, nanti Ayah jemput lagi," ucap Dirga pada Bulan.

"Ayah!" pekik Senja, bocah itu berakhir memegang tangan Dirga juga. "Kelas Senja sebelah sana, ayo!"

Dirga menoleh, raut wajahnya yang semula begitu berseri kini berubah muram. Senja mundur selangkah menjauh, ketika hendak melepaskan tangannya tiba-tiba beralih ia yang digenggam oleh Ayah Dirga. Tidak pelan-pelan, Dirga menggenggam kuat sekali pergelangan tangan Senja, sampai ketika dilepaskan bekas kemerahan muncul.

"Sudah, kan?" tanya Dirga.

"Kenapa Ayah tidak sayang sama Senja?"

Dirga berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan Senja, ia mencengkram kedua bahu Senja dan menatapnya tajam.

"Dengar anak nakal, saya tidak pernah mengharapkan kamu!" tekan Dirga, suaranya pelan namun nadanya benar-benar menekan. "Kamu adalah keputusan terburuk yang pernah saya buat!"

Sepasang mata Senja mulai berkaca-kaca sekarang.

"Sampai kapan pun, saya tidak akan pernah menyayangi kamu, tidak akan pernah!" yakin Dirga. "Karena apa? Karena kamu adalah satu-satunya anak yang tidak bisa dibanggakan, satu-satunya anak yang hanya bisa membawa masalah saja!"

Tepat ketika air matanya jatuh membasahi pipi, Dirga menghapusnya cukup kasar. Sakit bagi kulitnya yang sensitif.

"Jangan menangis, jangan lemah!"

Setelah mengatakan itu, Dirga beranjak berdiri dan meninggalkan Senja begitu saja. Bocah itu hanya bergeming, ia menahan mati-matian air matanya agar tidak jatuh lagi. Senja menelan ludahnya dengan susah payah, kedua tangannya mengepal sebagai upaya menahan air matanya jatuh.

"Senja tidak boleh menangis, Senja tidak boleh lemah, Senja harus kuat biar Ayah bangga sama Senja!"

— 𝙎𝙀𝙉𝙅𝘼𝙉𝙄 —

SenjaniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang