"Maaf."

450 57 41
                                    

— 𝙎𝙀𝙉𝙅𝘼𝙉𝙄 —

"Kak Tari~"

Tari menoleh, ia mengangguk saat teringat dengan keluhan adiknya—Senja. Jika tidak diingatkan, mungkin Tari sudah lupa.

"Ayah," panggil Tari.

"Ya, ada apa, Kak?" balas Dirga, ia menaruh kaca matanya dan melipat majalah yang sedang dibaca. "Ada apa?"

"Senja izin sekolah dulu hari ini, ya?" ucap Tari. "Katanya sakit perut, dari semalam tidak bisa bobo."

Senja mengangguk, membenarkan apa yang diucapkan oleh Kak Tari. Jika bicara sendiri, Senja tak akan didengar.

"Sakit?" ulang Dirga. "Senjani, kamu sakit atau beralasan supaya tidak ke sekolah?"

"Sakit, Ayah," aku Senja.

"Jadi semalam kamu sengaja tidak makan biar sakit perut, begitu?" sahut Ayu. "Supaya kamu tidak masuk sekolah, iya?"

Senja menggelengkan kepalanya, ia menunduk menatap perutnya yang kini ditepuk-tepuk memberitahu. Perutnya memang masih sakit, bahkan jika diperbolehkan Senja ingin menangis untuk meluapkan rasa sakitnya.

"Perutnya sakit, kalau tidak percaya antar Senja ke dokter saja," kata Senja memelas. "Senja tidak bisa bobo dari semalam."

"Ya itu karena kamu tidak makan sampai habis!" sahut Ayu geram.

"Kamu kasih dia makan, Bun?" tanya Dirga. "Kan, saya sudah bilang untuk tidak kasih Si Anak Nakal ini makan, dia sedang dihukum."

Ayu memalingkan pandangannya ke sembarang arah, sementara Dirga beranjak berdiri menghampiri Senja. Pria itu mencengkram lengan Senja, menyeret anak berusia enam tahun itu turun dari kursi meja makannya.

"Kak Senja buat kesalahan apa?" tanya Bulan. "Kenapa Ayah bawa Kak Senja pelgi?"

Tari menatap kepergian Senja. "Bunda, kenapa Bunda diam saja?"

"Senja buat kesalahan kemarin malam," ucap Ayu. "Dia tidak membereskan mainannya."

Sementara itu, Senja diseret ke kamar mandi dan diguyur tanpa perasaan. Anak itu bahkan sudah memakai baju seragam TK-nya, tetapi Ayah Dirga dengan tidak berperasaan mengguyur sekujur tubuhnya hingga pakaian seragam tersebut basah. Senja kedinginan, ia menggigil dengan rasa nyeri di perut yang makin menjadi. Tetapi, Ayah Dirga seolah tidak peduli kepadanya, mengabaikan rasa sakitnya.

"Menangis!" maki Dirga. "Kamu cuma beralasan, kan? Supaya kamu tidak masuk sekolah, kan? Supaya kamu tidak perlu ke sekolah dengan mengeluh sakit perut, iyakan?!"

"Tidak Ayah, perut Senja sakit, sekarang—"

"Jangan berbohong, Senjani!"

Senja menggigit bibir bawahnya sendiri, menahan jeritan atas tambahan rasa sakit di telinga saat Ayah Dirga menjewer-nya. Air masih mengalir, membasahi tubuh mungilnya yang kedinginan.

"Besok akan beralasan apalagi, hah?"

"Kenapa kamu selalu mengeluh ketika akan pergi ke sekolah?"

"Sekarang baju seragam kamu basah, kamu tidak perlu ke sekolah, puas?"

"PUAS SENJANI?"

Dirga menghempas tubuh lemah itu ke lantai dengan kasar, shower masih mengalirkan air ke tubuhnya. Pria itu melengos pergi, detik itu juga tangis Senja pecah karena menerima sakit pada fisik serta batinnya. Nahasnya, tidak ada satu pun anggota keluarganya yang datang menghampiri, bahkan setelah Senja menjerit pun tidak ada yang peduli.

Sampai pada akhirnya, Senja harus beranjak seorang diri, mematikan shower agar tubuhnya tak makin basah. Tubuhnya menggigil, bibirnya pucat pasi, Senja melangkah gemetaran keluar dari kamar mandi, dan tidak ada siapa-siapa di rumah selain dirinya sendiri.

Ke mana semua orang?

Langkah kakinya melemah, Senja berkedip pelan sebelum pada akhirnya ia jatuh ke lantai hilang kesadaran.

— 𝙎𝙀𝙉𝙅𝘼𝙉𝙄 —

Ayu menatap termometer yang mengukur suhu tubuh Senja, di sana tertera 38°C, menunjukkan bahwa Senja mengalami demam. Begitu Ayu kembali dari mengantar anak-anak ke depan untuk pergi ke sekolah bersama Ayah Dirga, ia mendapati Senja yang terbaring di lantai dengan kondisi tubuh basah. Sudah hampir satu jam Senja tak sadar, dan sudah hampir tiga puluh menit berlalu suhu tubuhnya naik drastis.

Di dahi Senja, ada plester pereda demam yang menempel sempurna. Berharap bisa membantu menurunkan suhu tubuh pada Senja, walau sudah dua puluh menit menempel tak kunjung adanya perubahan. Senja masih tetap demam.

"Bunda."

Suara serak milik Senja terdengar, bocah itu merintih sakit dengan mata yang merah khas anak sedang demam. Ayu menatapnya, lalu meraba leher Senja untuk memastikan suhu tubuhnya sekali lagi. Masih belum ada perubahan.

"Kenapa semalam tidak dihabiskan makan malamnya?"

"Sengaja kamu?"

"Supaya tidak pergi ke sekolah dan bisa diam di rumah, begitu?"

"Kamu ini tidak seperti Kak Tari sama Adik Bulan, ya? Pemalas."

Senja menelan ludahnya dengan susah payah, kedua sudut bibirnya malah terangkat memaksa senyum kepada Sang Bunda. Ayu muak melihatnya, ia sampai berdecak kesal karena harus berada di rumah seharian untuk menjaga Senja yang sedang demam.

"Perutnya sudah tidak sakit," kata Senja. "Tapi kepala Senja sakit."

"Itu salah kamu!" tekan Ayu. "Makanya kalau disuruh makan itu habiskan, jangan disisakan, mubazir!"

"Maaf."

"Maaf?" tanya Ayu. "Bunda tidak mau dengar kata maaf keluar dari bibir kamu, Bunda mau kamu tidak sakit begini, Bunda tidak suka anak yang lemah!"

"Senja tidak boleh sakit?"

"Iya!" tukas Ayu. "Harus jadi anak yang kuat, anak yang tidak cengeng!"

"Bunda bakalan sayang sama Senja kalau Senja kuat dan tidak cengeng?"

"Ya, tentu saja."

Senja menganggukkan kepalanya, dia sudah bertekad untuk lebih menjaga dirinya sendiri agar tidak sakit setelah ini. Tetapi, jika tidak sakit begini, Bunda Ayu pasti tidak akan berada di dekatnya seperti sekarang.

"Bunda," panggil Senja.

"Apa?"

"Kenapa Bunda lebih sayang sama Kakak sama Adik?" tanya Senja. "Kenapa Bunda tidak sayang sama Senja?"

"Karena kamu berbeda dari mereka, kamu tidak berbakat seperti Kakak, kamu juga tidak penurut seperti Adik," beber Ayu. "Kamu itu cuma anak yang nakal, anak yang nyusahin dan suka bikin masalah."

Tanpa Ayu sadari, perkataannya bisa saja terekam sempurna di benak pikiran Senja. Bocah kecil yang masih duduk di bangku TK bagian kelompok B tersebut, mungkin akan terus mendengar perkataan Sang Bunda tentang dirinya, tentang Senjani yang disebut sebagai anak nakal, menyusahkan, dan suka membuat masalah. Tentu saja perkataannya bukan hal yang baik.

"Sekarang tidur saja, jangan banyak tingkah," kata Ayu. "Bunda sebenarnya mau pergi ke acara arisan hari ini, tapi karena kamu sakit jadi tidak bisa pergi."

"Senja minta maaf, Bunda."

"Makanya jangan sakit!"

Senja juga tidak akan sakit separah ini jika dipercaya perutnya sedang bermasalah. Buktinya sakit perutnya sudah memudar sekarang, andai tidak diguyur oleh air mungkin Senja sudah sembuh dari sakitnya.

"Lapar?" tanya Ayu begitu mendengar suara dari perut Senja. "Bicara kalau lapar, jangan cuma diam."

"Senja lapar."

"Tunggu sebentar, Bunda ambilkan bubur dulu, setelah makan harus minum obat."

"Tidak mau," tolak Senja. "Obatnya pahit, Senja tidak mau."

"Senjani!"

— 𝙎𝙀𝙉𝙅𝘼𝙉𝙄 —

SenjaniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang