— 𝙎𝙀𝙉𝙅𝘼𝙉𝙄 —
"Siapa yang mau naik komidi putar?"
"Kakak!"
"Adik!"
Dirga tersenyum dibuatnya, ia mengusap pucuk kepala Si Kakak dan Si Adik yang berseru dengan penuh semangat. Detik berikutnya, Dirga mengeluarkan tiga tiket menuju wahana komidi putar yang pastinya disukai oleh anak-anak.
"Senja tidak mau naik," tolak Senja. "Tidak mau."
Seketika senyum Tari dan Bulan memudar, entah apa yang Senja pikirkan sehingga menolak untuk naik ke wahana tersebut. Padahal, kalau dilihat-lihat wahana kincir ria jauh lebih menakutkan dibanding wahana ini. Mereka masih bertahan di sini, hal itu dikarenakan ada satu wahana yang wajib mereka naiki, yakni komidi putar.
"Senja di sini saja."
Senja menggelengkan kepalanya, ia menurunkan tangan Ayah Dirga yang tertahan memegangi tiga tiket wahana komidi putar tersebut.
"Kamu ini bagaimana, sih?" protes Dirga. "Ayah sudah belikan ini buat kamu, harusnya kamu tidak menolak!"
"Senja tidak mau, Ayah," kata Senja. "Senja di sini saja, bersama Ayah dan Bunda, menunggu."
Dirga menghembuskan napas kasar. "Senjani."
"Bunda," panggil Senja, ia beralih memegang tangan Bunda Ayu. "Senja tunggu di sini saja, ya? Senja takut, Senja tunggu di sini saja, boleh?"
"Ayo Kak Senja!" seru Bulan. "Kalau Kak Senja tidak naik, Bulan tidak mau naik!"
"Ayah sudah beli tiket ini, Senjani!" tukas Dirga, ia meraih kedua bahu Senja dan memaksa anaknya berbalik menghadap ke arah dirinya.
Senja merintih tertahan, matanya sudah memanas menahan sakit saat tangan kekar Ayah Dirga mencengkram kedua bahunya. Sorot Dirga meneduh, perlahan ia berjongkok guna mensejajarkan tubuhnya dengan Senja.
"Jadi kamu akan menolaknya, Senjani?" tanya Dirga.
Senja menelan ludahnya dengan susah payah, kemudian ia menggelengkan kepalanya tanda tak bisa menolak. Senyum Dirga mengembang seketika, ia menepuk kedua bahu Senja dua kali sebelum pada akhirnya membawa anak-anak menuju ke jalan masuk wahana komidi putar.
"Senja mau yang warna putih, deh," ucap Senja.
"Kakak duluan!" seru Tari, ia berlari dan menggapai kuda warna putih yang sangat lucu.
"Kak Senja, sini sama Bulan," ucap Bulan, ia menyeret lengan Senja menuju ke tempat kosong lainnya. "Kak Senja pegangan, Bulan sini dekat Kak Senja, ya."
"Terima kasih, Bulan."
"Sama-sama, Kak Senja~"
Senja tidak pernah marah punya adik seperti Bulan, malah Senja berterima kasih karena Tuhan telah menghadirkan Bulan di kehidupannya. Meski pada akhirnya, kini Senja harus kehilangan seluruh perhatian orang tuanya.
Komidi putar itu mulai bergerak, lantas pikiran Senja yang sebelumnya berantakan jadi tersusun kembali, apalagi saat mendengar tawa Bulan yang kesenangan naik wahana tersebut. Di depan sana, Kak Tari sering menoleh ke belakang untuk melambaikan tangan pada kedua adiknya. Lihatlah, bahkan mereka memiliki hubungan yang sangat baik. Senja juga dapat melihat senyum Ayah Dirga dan Bunda Ayu di sini, senyum tulus mereka yang jarang Senja lihat ketika bersamanya.
Sampai ketika di putaran terakhir, pendengaran Senja yang semula baik-baik saja mendadak bermasalah. Berdengung di sana, rasanya kepala Senja akan pecah. Senja batuk-batuk, hingga tanpa sadar ada bercak darah menodai telapak tangannya.
"Kak Senja."
"Senja, ayo turun."
Senja tersadar, ia menggelengkan kepalanya dan suara dengungan itu perlahan menghilang. Dia bahkan tidak tahu kapan Kak Tari dan Adik Senja turun dari tempat mereka dan memanggilnya untuk segera turun juga.
"Seru, kan?" Bulan berucap sembari merangkul lengan Senja. "Kenapa tadi Kak Senja menolak?"
"Bunda," panggil Senja, ia melepas Bulan begitu saja dan beralih menghampiri Bunda Ayu. "Tadi ada suara yang kencang."
"Mungkin kamu mengantuk," ucap Ayu. "Mas, kita pulang sekarang, yuk!"
"Iya, lagipula ini sudah terlalu malam buat mereka," balas Dirga.
Senja memegang tangan Bunda Ayu lebih awal, dia ingin berada di posisi dipegang tangannya sama Ayah atau Bunda. Kebetulan saja sedang dekat dengan Bunda Ayu, jadi Senja segera pegang tangannya, sebelahnya lagi Senja ulurkan untuk memegang Bulan. Bulan berjalan paling tengah, jadi bungsu kesayangan semua orang.
— 𝙎𝙀𝙉𝙅𝘼𝙉𝙄 —
"Bunda tahu ini hari libur, tapi Bunda tidak mau anak Bunda tidurnya sampai kebablasan."
Ayu memasuki kamar Senja, begitu membuka pintu ia sudah disuguhkan dengan pemandangan lucu Senjani yang terlelap di balik selimut tebalnya. Di saat Tari dan Bulan sudah selesai sarapan, Senja masih bergelut dengan mimpinya. Ayu melangkah lebih dekat, ia menyibak korden agar cahaya masuk memberi tanda pada Sang Pemilik Kamar agar segera bangun.
"Senjani."
"Bangun, ini sudah jam berapa."
Ayu mengernyit. Setelah ia selesai membuka korden, ia bergegas menghampiri ranjang Senja dan mulai duduk di tepian ranjang tersebut. Senja berkeringat, tapi Senja memakai selimut hampir di seluruh tubuhnya, yang tersisa hanya kepala saja.
"Senjani."
"Senjani, bangun."
Senja terusik, matanya berkedip perlahan sebelum pada akhirnya terbuka sempurna hingga menunjukkan kemerahan di sepasang mata teduhnya. Ayu meraba kening Senja, pupil matanya melebar sadar akan suhu tubuh Senja yang terasa lebih tinggi dibanding biasanya.
"Selamat pagi, Bunda," sapa Senja serak. "Senja sakit kepala, Senja baru bobo tadi, Senja masih mengantuk."
"Kamu harus sarapan," ucap Ayu.
Senja menggelengkan kepalanya. "Senja mengantuk, Senja boleh bobo lagi, kan?"
"Tidak." Ayu menggelengkan kepalanya. "Kamu bangun, Bunda ambilkan sarapan buat kamu."
"Bunda tahu Senja sakit, ya?" tanya Senja, ia tersenyum dibuatnya. "Senja mau disuapi, boleh?"
Ayu menatapnya cemas, kemudian ia melenggang pergi untuk mempersiapkan sarapan serta obat pereda demam. Entah sejak kapan Senja demam, sampai-sampai tidak ada yang menyadarinya.
Dalam hitungan menit, Ayu kembali dengan satu mangkuk sup serta sepiring nasi di atas nampan, tidak lupa ada segelas air putih untuk melengkapi sarapan Senja. Satu hal lagi, di sana juga ada obat yang harus Senja minum.
"Kamu bisa duduk?" tanya Ayu. "Ada yang harus Bunda urus di luar."
"Tapi Senja mau disuapi," kata Senja.
"Senja," panggil Ayu lemah lembut. "Ada tamu di luar, Bunda harus segera keluar."
Senja terpaku membisu dibuatnya.
"Ini obatnya, nanti kamu minum setelah makan habis," tutur Ayu. "Ayo duduk dan menyandar ke sebelah sana."
Senja bergerak perlahan untuk menyandar pada kepala ranjang, di detik itu juga kakinya yang tersembunyi di balik selimut tak sengaja menendang nampan yang sedang Bunda Ayu Pegang.
"Senjani!" sentak Ayu, suaranya tak begitu keras namun terdengar menyentak. "Pelan-pelan!"
"M-maaf, Bunda," sesal Senja.
"Cepat turun!" perintah Ayu bernada bisikan. "Duduk di sana, menyusahkan saja!"
Setelah Ayu menunjuk ke arah kursi belajar, Senja melangkah lemah menuju ke sana. Ayu menoleh sekilas pada Senja, begitu melihat Senja sudah duduk ia lanjut menarik selimut yang terkena tumpahan sup serta air tersebut.
"Kamu ini, ceroboh!" hardik Ayu. "Merepotkan saja."
Senja mencebikkan bibirnya, sadar bahwa kecerobohannya telah merepotkan Bunda Ayu.
— 𝙎𝙀𝙉𝙅𝘼𝙉𝙄 —

KAMU SEDANG MEMBACA
Senjani
Fanfiction[COMPLETED] "Ayah, Bunda, Senja masih kecil." [19-01-24] #2 Sinb