"Bunda Kenapa?"

343 47 47
                                    

— 𝙎𝙀𝙉𝙅𝘼𝙉𝙄 —

Senjani.

Diberi nama yang indah karena berharap sesuatu yang indah pula bagi pemiliknya. Namun, takdirnya tak begitu indah, tak seperti yang diharapkan.

Bocah kecil berusia enam tahun itu harus kehilangan banyak sekali momen manis saat masih kecil. Momen manis di masa kecil yang bisa diceritakan suatu hari nanti itu, tak pernah Senja dapatkan rasanya. Senja terus menelan kepahitan sikap kedua orang tuanya yang abai terhadap dirinya. Hanya pada dirinya.

Melihat Kak Tari selalu dipuji atas kemampuan bernyanyi, melihat Adik Bulan selalu disayang karena menjadi anak terkecil. Bagaimana dengan Senja?

"Lain kali, kalau sudah jamnya pulang ya pulang, jangan keluyuran terus, kamu ini perempuan!"

Senja menatap sarapannya dengan penuh rasa bersalah, semalaman dia tidak bisa tidur karena terus teringat bagaimana sakitnya lidi itu mengenai kulitnya. Lukanya membekas sampai sekarang, bahkan Senja menolak mandi, bekas luka itu pasti akan menimbulkan rasa perih.

"Kan, kamu tahu sendiri bagaimana Ayah kamu itu, kalau Bunda bicara lihat, dong!"

Senja menggelengkan kepalanya, meski Bunda Ayu tak sekejam Ayah Dirga, Senja tetap saja takut untuk menatapnya. Bocah itu menyuapkan satu sendok sup ke mulutnya, belum sempat tertelan ia batuk-batuk.

Ayu mengambil mangkuk dari meja, ia mengulurkan beberapa helai tisu. Batuknya tak kunjung reda, bahkan ketika Ayu sudah menjauhkan meja kecil dari hadapan Senja pun, anak itu masih saja batuk-batuk. Ayu menelan ludahnya dengan susah payah, ia mengusap peluh di dahi Senja yang kemudian memeriksa tisu di genggaman Senja.

Berdarah.

Senja berkedip lemah, ia menatap teduh Sang Bunda yang saat ini terkejut melihat bercak darah tak sedikit di gulungan tisu tersebut. Apakah Ayu akan benar-benar peduli pada Senja sekarang?

"Sialan!" jerit Ayu, ia menghempas tisu tersebut ke hadapan Senja.

"Bun-da," panggil Senja terbata. "Bunda kenapa?"

Ayu menggelengkan kepalanya, ia membuang pandangan ke sembarang arah dengan napas tidak beraturan. Detik berikutnya Ayu beranjak dari tepian ranjang Senja, entah apa yang sedang ia pikirkan hingga Ayu tidak memperhatikan langkahnya dan menendang meja berisi sarapan Senja.

"Sialan, sialan, sialan!" umpat Ayu di sela langkahnya.

Senja mengerucutkan bibirnya sedih, ia hampir muntah saat merasakan bagaimana anyir nya sisa darah dari mulutnya. Dia melirik gumpalan tisu yang ternoda oleh darah, mulai mengambilnya dan menatap dengan sedih.

"Tuhan ... Jangan kasih Senja sakit, Senja sudah sakit, jangan tambah sakit," mohon Senja.

Bahkan bocah sekecil itu tahu bagaimana cara memohon kepada Tuhan-nya.

— 𝙎𝙀𝙉𝙅𝘼𝙉𝙄 —

"Senjani?"

Tari menoleh, kalau tidak salah dia mendengar seseorang menyebut nama adiknya. Anak laki-laki itu tersenyum kikuk, ia tertangkap basah sedang melihat foto tiga bocah perempuan dalam dompet merah muda milik Mentari.

"Kamu tahu?" tanya Tari.

Bocah itu mengangguk mantap. "Benar Senjani, ya?"

"Iya, Adikku," aku Tari. "Adik pertamaku Senjani, yang kedua Rembulan."

"Boleh aku lihat?"

"Boleh."

Tanpa keberatan Tari mengeluarkan foto tersebut, menunjukkan pada teman barunya kalau dia punya dua adik perempuan. Kalau begitu, sudah dapat ditebak siapa anak laki-laki tersebut, bukan? Yap, Bintang.

SenjaniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang