"Ayolah Nelie ... Move on! Move on! Move on!" monolog Nelie menyemangati dirinya sendiri yang tengah menangis sembari memeluk bantal gulingnya.
Ia bangkit dan duduk di depan cermin memandangi dirinya yang sangat menyedihkan.Air mata terus mengalir membasahi wajahnya, kerap ia berbicara pada bayangannya yang terpantul di depan cermin.
"Ya Allah! ... kapan aku bahagia? Dari kecil, aku selalu di hantam kesedihan, kekerasan, membuat mental ku hancur. Hari-hariku dijalani dengan ratusan topeng ... Aku pura-pura kuat dihadapan orangtuaku, aku pura-pura bahagia didepan orang-orang, aku pura-pura mandiri dihadapan teman-temanku. Diriku yang sebenarnya hancur, membawa berbagai trauma di segala aktivitasku. Ambil aku ya Allah.. aku lelah ... aku mau pulang!" tangisnya pecah di depan cermin.
Setelah menangis lama, ia merasa lelah dan akhirnya tertidur lelap didepan cermin itu. Tak lama setelah itu, Elisa masuk ke kamar dan membangunkannya.
"Hey ... Nelie! Bangun nak, jangan tidur disitu dingin! Pindah ke kasur!" ujar Elisa seraya menepuk pelan pipi Nelie.Tanpa berucap apapun, Nelie bangun dan segera pindah ke kasurnya dan kembali tertidur. Elisa melihat mata Nelie yang membengkak dan hidungnya nampak memerah. ia tersadar selama ini sikap anaknya tersebut sedikit aneh, Nelie yang ceria sekarang menjadi Nelie yang pendiam dan suka menyendiri. Menyadari hal itu Elisa merasa khawatir tentang kehidupan putri bungsunya yang kini mulai berbeda dari biasanya.
***
Berbagai masalah bermunculan setiap harinya. Di musuhi teman-teman sekampung, dijauhi tanpa sebab dan di fitnah melakukan hal yang tidak benar pada kenyataannya. Sehingga Nelie menjadi topik utama di pembicaraan para emak-emak ahli ghibah.
Elisa semakin khawatir akan keadaan Nelie dan segera menceritakan semua tentang anak bungsunya itu pada suaminya. "Pah! Mamah khawatir Nelie kenapa-napa! Akhir-akhir ini Nelie nampak beda, dia jarang makan, suka menyendiri dan setiap malam mamah selalu intip Nelie ... Papa tau dia lagi apa?"
Elisa membuang nafas panjang, berusaha menetralkan dirinya untuk tetap tenang tanpa memikirkan sesuatu yang buruk tentang Nelie.
"Dia nangis setiap malam ... Mamah juga sempet nanyain ke caca keseharian Nelie di sekolah, Caca bilang Nelie selalu melamun dan menghindari banyak orang!"
Mendengar penjelasan Elisa, Ameer mengernyitkan dahinya, seketika raut wajahnya berubah, rasa khawatirnya melebihi Elisa kala itu.
"papa gak mau kalo sampe Nelie malu-maluin papa! Dari gaya bahasanya juga dia udah beda, apa mungkin salah pergaulan? ini gak bisa di biarin, Nelie harus di masukin ke pondok pesantren!" tegas Ameer.
Elisa sama sekali tidak yakin dengan pendapat suaminya tersebut. "Ah, Nelie gak mungkin betah tinggal di pondok!"
"Itu yang terbaik mah, mau gak mau Nelie harus mondok!" tegas Ameer menetapkan bahwa keputusannya itu menurutnya sudah bulat.
Dua pasang mata itu seketika mengarah pada seseorang yang tengah memasuki rumah dengan seragam sekolah yang terlihat kusut.
" Nah itu dia Nelie dah pulang!"
Ameer bangkit dari duduknya segera melangkahkan kakinya menuju putri bungsunya."Tunggu pah!" ucap Elisa sembari meraih tangan suaminya.
"Biar mamah aja yang bicara sama Nelie!" ujar Elisa dan di respon sebuah anggukan dari Ameer.
"Gimana sekolah hari ini hm?" tanya Elisa dengan suara lembutnya.
"Gak ada yang istimewa! tidak putih, tidak hitam ... Semuanya nampak abu-abu!" jawab Nelie dengan muka datar dan melenggang pergi memasuki kamarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tinta yang Permanen | Terbit√
Nonfiksi⚠️Typo berserakan ⚠️Cara kepenulisan masih acak-acakan. ⚠️Cerita belibet dengan alur membingungkan. ✅Lebih baik baca langsung dari bukunya yang sudah terbit, dan pastinya sudah direvisi. 'Tinta yang Permanen' _________________________________ Ada y...