23. Wanita Mandiri

134 8 7
                                    


" Aku memang berjuang sendiri,
Tapi aku di kuatkan oleh tekad,
Di dukung oleh sebuah harapan,
Di dorong oleh dendam
Dan di semangati ambisi."

Nelie Martalianty

─── ・ 。゚☆: *.☽ .* :☆゚. ───

Heningnya pagi dengan udara yang dilapisi kabut dan embun pagi yang sejuk, di desa Lebak bambu. Ayam-ayam mulai berkokok bagai mengingatkan bahwa matahari sudah terbit. Nelie membuka tirai jendela kamarnya dan sinar matahari pagi yang hangat itu masuk menyinari kamarnya.

Perasaan tak karuan kembali terlintas di hatinya, dan mulai menyadari ada sesuatu yang hilang dari hidupnya.

"Sekarang aku sendirian! Devan bukan lagi milikku. Aku sakit, tapi aku bahagia. Aku bahagia bisa terbebas dari laki-laki keparat itu," gumamnya.

Pernikahannya dengan Devan hanya mampu bertahan selama satu tahun. Kini ia harus rela menjadi seorang janda di usianya yang masih 19 tahun itu.

"Dulu aku benar-benar takut menikah, takutnya bukan di malam pertama! Melainkan takut menjadi korban perselingkuhan. Dulu banyak kasus perselingkuhan yang aku saksikan pada pernikahan saudara dan rekan-rekanku, kini aku mengalaminya sendiri ... Bahkan lebih sadis!"

Nelie tidak banyak bercerita mengenai statusnya sekarang pada teman-temannya. Bahkan sebagian tetangga pun tidak mengetahui Nelie sudah berpisah dengan suaminya. Namun teman-temannya sudah sedikit curiga terhadap Nelie. Mulai dari sikapnya yang tidak seceria dulu lagi dan nampak lebih dewasa dan lebih banyak diamnya.

Aku gak mungkin ceritain semuanya pada mereka. Aku malu, aku malu karena sudah gagal mempertahankan rumah tanggaku! Yang mereka tau bahwa Devan itu pria berpendirian, baik dan Sholeh. Tidak dengan kenyataannya ... Dan walaupun sudah menjadi mantan suami, aku gak mau membongkar aib orang lain, batin Nelie.

Seorang wanita berkulit putih, tengah berdiri di ambang pintu. Ia nampak menatap tajam ke arah Nelie yang baru saja keluar dari kamarnya.

"Lho! Kayak ada yang berubah deh ... Eh iya, gue baru nyadar rambutnya Nelie jadi pirang!" ucap Nayla—kakaknya Nelie.

"Gue cuma ikut trend sekarang! Bukankah seorang janda harus pirang rambutnya? Dan jadilah janda pirang!" ucap Nelie seraya mengibaskan kerah bajunya, sombong.

"Lah, gue dulu juga pernah menjanda gak pernah tuh warnain rambut!" Nayla mendengus sebal.

"Kan, ini trend sekarang! Lagian gue kalo keluar selalu pake hijab, gue warnai rambut hanya untuk kesenangan diri sendiri aja gak lebih!"

"Janda pirang yaa? Bukankah janda itu bolong?" maki Nayla.

Perdebatan semakin memanas diantara Kakak beradik tersebut.
"Kakak aja tuh, yang bolong, udah ada anak juga. Jangan di bandingin sama gue yang masih fresh gini!"

"Duh, anak indigo marah! Jangan marah dong nanti kerasukan!"

"Dari pada lu, anak Indomie," pekik Nelie, yang kemudian melenggang pergi ke luar mengakhiri perdebatannya.

"EH LHO! LEBIH ENAK ANAK INDOMIE! YANG DI RASAIN RASA ENAKNYA MIE, BUKAN LIHAT HANTU TERUS!" teriak Nayla diselingi tawa kecilnya.

Tinta yang Permanen | Terbit√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang