13. Indigo Dadakan

157 19 8
                                    

________________

Di lapangan kecamatan marga bukit, lomba marawis antar pondok pesantren di malam yang terang bulan kala itu, nampak sangat meriah.

Nelie yang hanya menjadi penonton dengan berbekalkan serba serbi cemilan di tas jinjing berukuran sedang-nya, duduk di kursi terbelakang bersama Laisa dan keponakannya, Nisa.

"Andai Gus Arya ada disini, ya, menjadi vokalis di grup marawis ponpes kita
Siapapun pasti kalah dengan suaranya yang merdu itu!" ucap Nelie yang mulai tersenyum dengan tatapan kosongnya.

"Jangan terlalu mikirin Gus Arya terus nel! Nanti Allah cemburu lho, kalo Allah sudah cemburu tuh pasti Arya di hilangkan jauh-jauh dari kehidupanmu!" bisik seorang wanita di telinga Nelie yang suaranya terdengar mendengung.

"SIAPA ITU!" teriak Nelie seraya melirik lirikan matanya ke kiri dan ke kanan.

"Apaan sih, Nel? Kaget aku!" pekik Nisa yang sedari tadi menyantap cemilannya.

"Jangan iseng, lah, Nis, pake bisik-bisik segala!" ucap Nelie yang mulai sedikit kesal.

"Lah, siapa yang bisik-bisikan, orang aku lagi makan cemilan," ujar Nisa.

"Kamu, ya, Sa? Jangan iseng, deh!" tanya Nelie pada Laisa.

"Kamu lihat aku, kan, dari tadi aku main hp!" jawab Laisa dengan sedikit ngegas.

Nelie menyadari tidak ada siapa-siapa lagi selain mereka bertiga yang duduk di kursi paling belakang tersebut.

"Terus yang tadi siapa?" gumamnya yang mulai merinding mengingat hal tersebut.

Nelie memilih tidak bercerita apapun kepada mereka, takutnya membuyarkan suasana.

"Gue mau duduk di tengah dong!" ucap Nelie yang sekujur tubuhnya mulai gemetaran.

"Lah, kenapa kamu, Nel?" Tanya Nisa heran.

"Gue ... gue kedinginan, kalo gue duduk di tengah kan setidaknya berasa hangat karena dihimpit kalian," bohongnya.

Di tengah malam itu, perlombaan marawis tersebut sudah berada di puncak acara. Tepukan tangan dan sorak Sorai meramaikan lapangan di malam itu. Nelie yang sedari tadi hanya melamun dengan tatapan kosongnya menatap ke arah langit.

Bibirnya pucat dan sekujur tubuhnya seketika terasa dingin. Di lihatnya sosok wanita berbaju putih tengah terbang ke arah suatu bangunan yang ada di dekat lapangan kecamatan tersebut.
Mulutnya kaku untuk berucap, disertai pusing dan mual.

Tatapan kosongnya disadarkan oleh Laisa yang merasa ada hal aneh pada Nelie yang tidak seperti biasanya.

"Nel, kamu kenapa ih? Jangan melamun terus nanti kesurupan!" ucap Laisa seraya menggoyang-goyangkan tangan Nelie. Namun, tidak ada sedikitpun jawaban. Gadis itu hanya terdiam dengan tatapannya yang kosong.

Nisa yang menyadari bahwa keponakannya ini sudah tidak baik-baik saja, secepatnya dia membawa Nelie kembali ke pesantren.

"Acaranya belum selesai kak!" ucap Laisa pada Nisa yang mulai menggandeng Nelie untuk berjalan.

"Udah tengah malam, lihat Nelie ... dia semakin pucat gini!"

Nelie hanya terdiam tidak berucap apapun.
N

Tinta yang Permanen | Terbit√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang