Rio termenung di dalam kamar nya setelah bertemu dengan Elzra. Ia masih memikirkan setiap perkataan yang Elzra katakan kepadanya. Kenyataan bahwa ibunya bukan lah orang biasa, dan bahwa apa yang ayah nya kuasai sekarang bukan lah milik nya membuat Rio sedikit pusing memikirkan nya. Ia tidak tahan dengan perlakuan ayah nya kepada Laura, ia ingin mengakhiri semua nya dan kembali membentuk keluarga yang dulu ia lihat. Keluarga yang sesungguh nya. Keluarga bahagia.Rio sudah bertekad dalam hatinya untuk membayar semua kesalahan yang selama ini telah ia perbuat. Ia akan kembali menepati janjinya kepada ibu nya dulu untuk menjaga Laura dengan baik, walaupun sedikit terlambat.
Rio beranjak dari duduk nya dan masuk ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya.
***
Dilain tempat. Claresta yang tengah mengotak atik komputernya tersenyum miring ketika satu-persatu hal yang ia cari terpampang dengan jelas di depan mata nya.
"The game starts..."
Ia beranjak dari tempat duduk nya dan menyambar beberapa bilah belati dan menyembunyikan nya dibalik sepatu serta jubah yang ia kenakan. Tatapan Claresta sedikit mengelap dengan kilatan dendam yang sangat kentara. Setiap langkah nya di iringi dengan senyuman miring nya yang tak kian memudar.
"Akan ku pastikan kalian membayar semua yang telah kalian perbuat selama ini"
Brak
Claresta membuka pintu ruangan nya dengan kasar. Di depan pintu sudah berdiri dua orang berbaju serba hitam yang memang bertugas menjaga di depan ruangan nya.
"Siapkan mobil, aku ingin 'bermain' sebentar"
Salah satu diantara mereka mengangguk dan undur diri untuk melaksanakan apa yang di perintahkan oleh Claresta.
"Jangan beri tahu siapapun kemana aku akan pergi, dan pastikan kedua pria itu tidak mengacau"
"Baik nona"
Setelah nya Claresta berjalan dengan langkah lebar menuju keluar rumah. Lalu dengan cepat memasuki mobil yang sudah di siapkan oleh bawahan nya. Mobil yang ditumpanginya meleset dengan cepat ketempat yang hendak ia tuju.
20 menit berlalu. Claresta sampai di depan sebuah bangunan tua yang terlihat tak terawat. Sebagian dinding nya retak dan terdapat lubang di beberapa bagian. Dengan langkah tenang ia menaiki anak tangga menuju lantai dua bangunan itu. Berbeda dengan lantai dasar, di lantai dua keadaan nya jauh lebih baik, tampilan nya sedikit terawat dengan cat putih yang sedikit pudar. Di ujung lorong terdapat satu pintu dengan cat coklat tua. Di depan pintu itu bertumpuk sampah makanan dan botol minuman keras yang terlihat baru. Di depan pintu Calresta bisa mendengar seseorang yang sedang tertawa. Giginya bergemelatuk mendengar setiap tawa memuakkan yang keluar dari mulut laki-laki di dalam sana. Kedua tangan Claresta menyibak jubah nya dan mencabut dua bilah belati masing-masing di tangan kanan dan kirinya.
"Say goodbye to the world. Bastard!!"
Brak
Syuttt
Syutt
Jleb
Brak
Belati Claresta tepat mengenai jantung dan kepala pria itu. Mata nya terbuka bahkan mulutnya masih terbuka seperti orang yang sedang tertawa. Darah menggenang di sekitar tubuh pria itu.
"Kau masih bisa tertawa bahkan saat kau sudah mati. Semoga kau tidak bertemu ibu ku yang berada surga"
Tangan Claresta mencabut dengan kasar belatinya dari tubuh pria itu. Dengan pelan ia mengelap darah yang melekat di bilah nya menggunakan jubah yang ia kenakan
"Mainan ku jadi kotor. Air saja tidak cukup untuk menghilangkan kotoran yang di ciptakan oleh darah bajingan seperti mu" ucap Claresta mendengus kesal seakan-akan barusan ia tidak melakukan apa-apa.
Claresta menekan sesuatu di telinga nya kemudian..."Bersihkan"
Setelah mengucapkan itu, Claresta keluar dari ruangan itu dan kembali menuruni tangga untuk kembali ke mobil nya. Saat ia hendak pergi, terdapat beberapa pria berbaju hitam yang mungkin orang-orang suruhan nya menaiki tangga yang sama seperti yang ia lewati tadi.
"Ck. Kenapa juga ia harus tertawa, aku jadi tidak bisa bermain-main karena terbawa emosi" ucap Claresta mencengkeram pelan kemudi mobil. Mobil Claresta melaju dengan cepat membelah jalanan yang sedikit berkabut karna hujan deras yang tiba-tiba saja turun. Tanpa peduli dengan keselamatan nya ia tetap menancap gas tanpa keraguan sedikit pun.
***
Di waktu yang sama, Defan terlihat tengah berteduh di pos satpam karena hujan yang tiba-tiba saja turun dengan deras ketika ia baru saja hendak pulang ke rumah. Hari ini ia terpaksa sekolah karena terus di marahi oleh ayah nya. Padahal yang ia tahu, Andre serta Rio hari ini tidak sekolah. Ia sedikit marah dan membuat ia mengingat kembali masa kecil nya dimana ia merasa kedua orang tua nya lebih sayang kepada Laura dan Rio saja. Ingatan itu membuat hari-hari Defan di sekolah sangat lah suram. Ia benci dengan perasaan terbuang itu.
"Ck. Malah makin deres" decak Defan dengan gerutan gusar di pelipisnya.
Di pos satpam sudah tidak ada siapa-siapa, begitu juga dengan sekolahan yang sudah kosong. Ia tadi tertidur di kelas dan tidak ada yang mau membangun kan nya. Saat membuka mata, seisi sekolah sudah sunyi.
"Terobos aja lah, serem anjir lama-lama di sini" akhirnya karna sudah lelah menunggu, Defan memutuskan untuk menerobos hujan yang sedari tadi tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Defan berlari kecil menghampiri motor nya dan menyalakan mesin. Tanpa menunggu lama, ia langsung melakukan motor nya meninggalkan lingkungan sekolahan.
Defan membelah jalanan dengan kecepatan tinggi, karena kurang waspada dan minim nya pengelihatan akibat hujan yang deras, Defan tidak sadar jika di depan nya melaju sebuah mobil yang menuju kearah nya. Saat mobil itu sudah berada di depan nya, sudah tidak ada lagi kesempatan Defan untuk mengelak. Dengan pasrah ia menutup kedua mata nya dan merasakan hantaman keras yang seakan merobek setiap inci tubuh nya.
Brak
Tetesan-tetesan hujan yang lebat mengguyur wajah Defan yang sudah tidak terbungkus oleh pelindung. Ia tidak bisa merasakan sekujur tubuh nya, Defan membatukkan darah yang kemudian membasahi seluruh wajah nya. Di kejauhan ia bisa melihat seseorang dengan jubah hitam yang menutupi seluruh wajah nya. Karena derasnya hujan, Defan tidak bisa melihat dengan jelas. Pening menghampiri kepalanya, dengan perlahan kedua kelopak matanya menutup rapat dan hanya kegelapan yang dapat ia lihat. Genangan darah yang bercampur dengan air hujan mengalir menodai jalanan di sekitar nya.
Di kejauhan, seseorang yang tadi sempat di lihat oleh Defan menarik sudut bibirnya, sambil terkekeh ia berkata
"Lemah. Kau bisa sekejam itu sejak kecil, aku berharap hal ini bisa merenggut nyawa mu"
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Story Transmigrasi [TAMAT]
Teen FictionGeferia Kesha Salavoka, gadis cantik berusia 25 tahun yang berhasil meraih kesuksesannya meski terbilang masih muda. Memiliki keluarga dan pasangan yang sangat menyayanginya membuat hidup Gefe terasa sempurna. Hidupnya tak pernah kekurangan sedikit...