45

19 0 0
                                    


Edrick duduk termenung di depan sebuah foto keluarga. Mata nya menatap betapa bahagia nya setiap orang di dalam foto itu. Ia tak pernah mengira segala tawa dan kebahagiaan yang dulu nya sempat tercipta sirna begitu saja.

Namun rasa kecewa dan sedih itu salah ia ekspresikan. Bahkan hingga saat ini ia masih mengira jika istri tercinta nya meninggal karena di sebabkan oleh anak terakhirnya. Laura.

"Aku kira aku akan merasakan kebahagiaan seperti dulu lagi saat menikahi wanita itu. Tapi tak aku sangka ia ternyata hanya sampah jalanan yang sempat ku pungut tanpa memilah terlebih dahulu"

"Sekarang, aku tidak tau harus berbuat apa. Semua nya sungguh kacau, dan entah kenapa perasaan ku sangat tidak tenang" ucap nya lagi masih memandangi foto di balik bingkai kaca itu.

****

Tiga hari berlalu setelah kejadian dimana Gefe membongkar semua kebusukan Mira. Gefe mulai bersekolah seperti biasa dan tidak mendapatkan kesulitan yang berarti walau ia jarang masuk sekolah. Hey, jangan lupakan siapa diri nya ya. Ia adalah wanita dewasa yang sudah sukses di kehidupan sebelum nya. Mengulang pelajaran SMA tidak ada artinya bagi dia.

Hari ini setelah pulang sekolah Gefe menyempatkan diri untuk menjenguk Kely di rumah sakit. Masih belum ada tanda-tanda gadis itu akan bangun. Selama Kely terbaring di atas brangkar itu tidak ada orang lain yang mengunjungi nya selain Gefe.

"Gue pulang dulu ya. Cepet bangun, gue mau ngomong sama lo sekali.....aja secara langsung. Dan bilang apa yang sebenarnya terjadi sama sahabat lo ini. Please jangan nyerah..." 

Gefe melangkah kan kakinya meninggalkan ruangan Kely setelah menutup rapat pintu ruang rawat inap itu.

Gefe sampai di depan motor nya yang terparkir, ia mulai memasang helm dan menaiki motor itu. Gefe mulai menyalakan mesin dan melaju menyusuri jalan raya.

"Kok aneh ya. Situasi nya kayak terlalu tenang. Perasaan gue jadi nggak enak" ucap Gefe di sela-sela kesibukan nya berkonsentrasi mengendarai motor di tengah jalanan yang cukup padat.
.
.
.
.
.
Gefe sampai di depan rumah nya, ia melangkahkan kaki memasuki rumah mewah itu. Namun detik berikut nya menaikan alis bingung. Di sini sangat sepi.

Gefe melihat jam tangan yang bertengger manis di tangan kiri nya.

"Udah jam lima. Seharusnya mereka semua udah ada di rumah jam segini, tapi kok sepi" ucap Gefe seraya melangkah kan kakinya mengitari ruang tamu.

"Bodo amat lah, ngapain juga mikirin mereka. Mending gue istirahat" ucap Gefe lalu menaiki tangga menuju kamar nya.

Gefe langsung merebahkan diri nya di atas kasur setelah melepas sepatu dan seragam nya. Ia mulai memejamkan mata karena merasa sangat lelah. Hanya beberapa menit saja, kantuk sudah merenggut kesadaran nya.

Namun. Baru sepuluh menit ia tertidur, mata mungil itu sudah terbuka lebar dengan peluh yang membanjiri seluruh badan nya. Mata Gefe membola dengan tangan bergetar ketakutan. Dengan rakus ia menghirup udara dalam-dalam untuk menetralkan detak jantung nya. Mimpi. Ia kembali bermimpi.

"Nggak, nggak, NGGAKK!!" Gefe seperti orang yang kehilangan akal, ia menyambar kunci motor di atas meja belajar nya dan langsung berlari menuruni tangga dengan cepat.

Tanpa memperdulikan para pelayan yang menatap diri nya bingung, Gefe langsung menuju garasi tempat di mana motor nya terparkir. Setelah mesin motor hidup, dengan kecepatan penuh ia membelah angin menuju jalan raya.

Tangan nya masih sedikit bergetar memegang kedua stang motor. Peluh masih terlihat jelas di pelipis nya. Gefe benar-benar sedang ketakutan saat ini. Di mimpi nya, di dalam mimpi nya ia melihat, darah. Darah dan pembunuhan. Isak tangis dan kengerian yang tidak pernah ia bayang kan. Yang semakin memperparah adalah, mereka yang berada di sana, adalah keluarga Laura.

"Gue belum terlambat, gue harus bisa ngalangin ini. Gue bisa, gue pasti bisa" ucap Gefe dengan air mata yang mulai berjatuhan di pipi nya.

20 menit kemudian....
Ckitttt

Ban motor yang di kendarai Gefe berdecit dengan keras ketika ia mengerem secara mendadak kedua roda hitam itu. Mata nya sedikit terkejut ketika sadar jika tujuan yang dari tadi ia tuju ternyata adalah rumah tua tempat dimana pertama kali ia bangun di raga ini. Pantas saja otak nya langsung tahu kemana ia harus pergi ketika bangun dari mimpi nya.

"Apa-apaan semua ini?" ucap Gefe yang mulai menyadari sesuatu. Ia yakin bukan tanpa alasan kejadian di dalam mimpi nya terletak di rumah tua ini.

"Semuanya makin jelas" ucap Gefe lagi. Sedetik kemudian mata nya membola sempurna

"Sebatang nikotin adalah Andre, atau nggak Defan. Mereka berdua orang yang ada di dekat gue yang selalu gue liat megang rokok. Organisasi di bawah laut, yang artinya tenggelam. Ibu Laura adalah cucu dari salah satu pendiri organisasi Ballerick. Organisasi yang udah lama hilang dan nggak pernah muncul lagi. Sisa teka-teki terakhir. Tebak siapa aku...."

Gefe menoleh kearah rumah di depan nya. Hati nya sangat takut dengan segala kemungkinan yang akan terungkap ketika ia masuk di dalam rumah itu. Bayangan-bayangan potongan mimpi nya membuat wajah Gefe semakin berkeringat dingin. Ia tidak membenci darah. Tapi jelas ia sangat takut jika warna merah itu keluar karna suatu hal yang tidak wajar.

Pada akhirnya, Gefe melangkah kan kakinya memasuki rumah itu, cuaca di luar semakin mendung, membuat suasana di dalam rumah itu semakin mencekam. Samar-samar penciuman Gefe mencium aroma yang kurang sedap. Bau amis, bau anyir darah.

Mata Gefe menangkap bercak darah seperti bekas seseorang yang di seret di sepanjang lantai. Dengan muka pucat pasi Gefe mengikuti arah jejak itu, hingga akhir ia sampai di depan pintu kayu yang seperti nya pintu belakang rumah itu.

Dengan pelan Gefe mulai membuka pintu itu, suara derit engsel membuat suasana semakin tidak mengenak kan.

Wusss

Angin sore menerpa anak rambut yang menjuntai di samping pipi nya. Tubuh Gefe seketika kaku dengan bibir yang mulai bergetar.

Pemandangan di depan nya, sangat tidak layak untuk di pandang. Mira dan Andre tergeletak tak bernyawa dengan kondisi yang mengenaskan. Di atas tubuh mereka tertulis kalimat "bajingan penjilat" dengan warna merah darah.

"Kau sudah datang?" tanya seorang gadis yang kedua tangan nya memegang belati yang sudah berlumur darah.

Gefe terkesiap dan langsung melangkah kan kaki nya menuju Rio yang terduduk lemah di antara Defan dan Edrick yang terikat.

"Apa yang lo mau? Dan siapa lo?"

Gadis itu hanya tersenyum miring. Ia berjalan menghampiri Gefe yang semakin mundur ketika gadis itu melangkah maju.

"Tebak siapa aku?"

Gefe terkejut. Kalimat itu persis seperti teka teki yang belum ia pecah kan.

"Aku sudah lama menunggu mu untuk membalaskan dendam ku, tapi kau terlalu mengulur waktu. Hingga akhirnya aku di izin kan untuk menyelesaikan semua nya sendiri"

Ucapan gadis itu membuat Gefe bingung.

"A-apa maksud lo?"

Gadis itu terkekeh
"Kamu pikir kamu hebat bisa menyelesaikan semua itu? Tanpa bantuan ku kamu bahkan tidak bisa menguak satu pun misteri dan kesalahan di keluarga ini"

"Jadi....lo yang selama ini bantuin gue? Lo yang kasi gue teka-teki itu? Lo juga yang ngasi semua bukti-bukti itu?"

"Berarti lo.....adalah jawaban buat teka-teki terakhir...." ucap Gefe pelan masih tidak percaya

Love Story Transmigrasi [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang