"Ada yang bisa aku bantu?" tanya Jeffry setelah Rossie melepaskan pelukan darinya.
Rossie yang sudah lebih tenang menatap Jeffry lekat-lekat. Mereka masih mengaitkan kedua tangan di tubuh satu sama lain. "Hm, aku rasa tidak ada yang bisa kamu bantu di sini."
Sebelum menanggapi, Jeffry mengedarkan pandangan ke sekitar. Ada pisau, daging cincang, batang serai yang tergeletak di meja. Ia mengamati kira-kira apa yang bisa dikerjakan dengan alat asing itu. Well, tentu saja sejak kecil Jeffry tidak pernah menggunakan alat itu secara langsung. Hanya terkadang mengamati mendiang sang ibu yang sering berkutat didapat demi memanjakan lambung keluarganya.
"Ehm, aku bisa bantu potong-potong," ujar Jeffry ragu-ragu.
Rossie mengulum senyum. "Tidak perlu, jaga Megumi saja. Apa dia sudah bangun?"
"Kamu tahu, sepertinya Megumi tidak membutuhkan di sini. Dia sedang bermain dengan anak-anak yang lain," jawab Jeffry kecewa.
"Hm, kasihan." Rossie membelai pipi Jeffry dengan mesra. "Ya sudah kalau gitu kamu istirahat aja ya, tunggu sarapannya matang."
"Kamu bener-bener nggak butuh aku?" Jeffry menarik tubuh Rossie hingga menempel padanya. Dada padat Rossie sampai tertekan.
"Jef!" Rossie terkejut sambil mengamati sekitar.
"Katakan, apa kamu benar-benar nggak butuh aku?" tanya Jeffry sekali lagi.
"Tentu saja aku butuh," jawab Rossie yang kemudian menelusupkan kepala untuk berbisik di salah satu telinganya, "tapi di tempat lain, bukan di sini."
Lesung pipi lantas tercetak di kedua pipi Jeffry. "Padahal kita bisa loh —-"
Tangan Rossie kontan menutup bibir Jeffry sebelum kalimat tidak senonoh terucap. "Jangan dilanjutkan. Udah ah, aku mau lanjut masak. Udah jam segini loh."
"Baiklah, aku akan melepaskanmu. Tapi sebelumnya ada hadiah untukmu." Jeffry memberikan paper bag warna tosca untuk Rossie.
"Apa ini?" Kedua mata Rossie membola sebab terkejut.
"Oleh-oleh. Selama di Eropa kemarin kamu sibuk cari oleh-oleh buat Oma dan anak-anak panti lainnya, sampai nggak sempat cari barang yang kamu inginkan," tukas Jeffry. Diam-diam ia mengamati Rossie yang hanya sibuk mencari cokelat dan teh khas daerah sana.
Melihat paper bag dari brand perhiasan ternama itu, mata Rossie berbinar. "Aku tidak butuh apapun. Lagipula aku juga nggak tahu pengen beli apa."
"Maka dari itu, aku yang membelikannya." Jeffry membuka isi paper bag tersebut dan mengeluarkan kotak dengan warna senada. "Bukalah."
"Terima kasih." Dengan hati yang membuncah, Rossie membuka kotak tersebut. Kedua matanya langsung berbinar ketika melihat sebuah kalung dengan liontin berbentuk kelopak bunga. "Jef." Rossie mendongakkan kepala pada Jeffry.
"Kamu menyukainya?" tanya Jeffry dengan senyuman menghias di wajah. Lalu dengan segera Rossie menganggukkan kepala. "Aku bantu pakaikan."
Liontin kelopak bunga itu terbuat dari platina serta dihiasi berlian yang menambah kesan klasik sekaligus modern.
"Aku mencintaimu," bisik Jeffry setelah melingkarkan kalung tersebut di leher Rossie. Pun beberapa saat kemudian satu kecupan dijatuhkan di pipi. "Aku ingin kamu bahagia, selamanya."
Mendengar kalimat itu terlontar dari bibir Jeffry, sontak ia memeluknya dengan sangat erat, seolah enggan melepas. Pun tanpa sadar rasa hangat dari buliran bening terjatuh melindas pipi Rossie. Sekali lagi, Rossie jatuh cinta sedalam-dalamnya kepada pria itu.
***
"Halo, tuan CEO!" seru Melisa ketika Jeffry baru saja masuk ke ruangannya.
Dengan tidak sopan wanita itu duduk di kursi Jeffry sambil menaikkan kedua kaki ke atas meja. Asap tipis mengudara ketika Melisa menyemburkan sisa nikotin dari mulut. Lalu ia membuang puntung ya sembarangan.
"Melisa! What are you doing in here?" Jeffry sudah tidak bisa mengendalikan diri. Ia menghampiri Melisa lalu memintanya pergi dari ruangan. "Get out now!"
Alih-alih gentar dengan teriakan dari Jeffry, Melisa justru bersikap sangat santai. Ia masih menikmati nikotin dari rokoknya yang tersisa separuh.
"Wow, sambutan yang sangat tidak ramah. Bukankah seharusnya kamu menyambut adikmu ini dengan baik?"
"Sejak kapan aku sudi mengakuimu sebagai adikku?" geram Jeffry yang kemudian menurunkan kaki Melisa dari atas meja.
Melisa kemudian tergelak tawa, "benar juga, aku pun tidak pernah menganggapmu sebagai kakakku."
"So ... untuk apa kamu datang kesini dan mengusik hidupku? Ha? Uangmu sudah habis?" Jeffry menarik tangan Melisa untuk beranjak dari duduknya.
"Singkirkan tangan kotormu dariku!" Melisa menyentak seraya menyingkirkan tangan Jeffry. "Kamu ingin tahu apa yang aku inginkan? Perusahaan ini!"
Jeffry terkekeh. "Perusahaan ini? Apa yang bisa kamu lakukan Melisa? Kamu tidak berhak mendapatkannya!" Rahang Jeffry mengetat diikuti tatapan tajam menjurus kepada Melisa.
"Tidak berhak? Aku juga putri dari Richard Widjaja, Jef! Kamu ingat itu!" Melisa mematikan bara apinya dengan menekankan di meja kerja Jeffry. Tanpa takut ia mendongakkan wajah sambil melotot tidak ingin kalah. "Aku juga putrinya Jef!"
"Kamu hanya berhak atas Papa, Mel! Bukan perusahaan ini! Asal kamu tahu, perusahaan ini adalah jerih payah Papa dan Mamaku! Semua ini warisan dari keluarga Mamaku! Kekayaan dari kakekku! So! Enyahkan pikiran konyol mu itu dan pergi!" tandas Jeffry dengan penuh penekanan.
"Aku juga anak Papa, aku juga berhak atas semua ini!"
"So, you can ask to Papa then!" Amarah Jeffry semakin membuat kedua matanya menyala. "Bahkan saat ini Papa sedang meregang nyawa pun kamu tidak peduli! Rawat dia baru kamu bisa merengek soal posisi di perusahaan ini! Use your brain, Melisa!" Tidak ingin beradu argumen dengan Melisa, Jeffry langsung meminta security untuk menyeretnya keluar. "Tolong bawa pergi wanita di ruanganku!"
Emosi yang makin menguasai diri, membuat mata Melisa berair. Kedua bagian giginya beradu, "aku tidak akan membiarkan hidupmu bahagia, Jef! Kamu juga akan merasakan penderitaanku!"
Jeffry memilih untuk tidak menjawab lalu meminta dua security yang masuk ke dalam ruangannya untuk membawa Melisa keluar.
"Ingat itu Jef!" teriak Melisa ketika dibawa petugas keamanan Jeffry. "Lepaskan aku!"
Setelah Melisa enyah dari pandangan, Jeffry melemparkan pandangan ke laut lepas yang tampak dari jendela kantornya. Embusan napas kasar lolos dari bibir Jeffry diikuti gerakan tangan masuk ke dalam saku.
Jika menurut Melisa hanya ia yang menderita itu salah. Jeffry juga menderita setelah tahu sang ayah memiliki keluarga lain. Bahkan bertahun-tahun Jeffry harus melihat wajah yang sangat dibenci itu. Ia bersusah payah untuk berdamai dengan diri sendiri. Sulit untuk menerima pengkhianatan tersebut.
"Argh!" Jeffry mengepalkan tangan dengan sejuta amarah mengumpul di sana lalu mengayunkannya ke tembok. Jeffry sangat marah. Namun, ia tidak tahu harus menunjukkan amarah itu untuk siapa. Haruskah kepada sang ibu yang hanya pasrah hingga kematiannya? Atau kepada Richard yang tidak bisa bertahan hanya dengan satu cinta dalam hidup? Atau kepada takdir yang menempatkan Jeffry dalam gelimang harta tetapi masih mengais kebahagiaan yang entah apa itu?
TO BE CONTINUED....
Selamat malam, Lovelies. Rossie dan Jeffry datang lagi. Baca cerita ini sampai tamat di aplikasi Bestory atau Karyakarsa yak. Selamat membaca ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
My Boss' Secret Baby (SUDAH TAMAT DI KARYAKARSA DAN BESTORY)
Romance[ADULT AREA] Bagaimana kalau kamu bertemu lagi dengan mantan pacar dan menjadi babysitter anaknya? Rossie Olena merasa tidak berkutik karena bertemu kembali dengan Jeffry Tanoe Widjaja, putra konglomerat pemilik Widjaja Tobacco Indonesia sekaligu...