46. Bulan dan Lukanya🌿

843 54 6
                                    

Bulan menghela nafas bosan. Kalau bukan karena dipaksa-paksa banged oleh sang Mama, mana mau gadis itu ikut kumpul keluarga besar seperti ini. Ruangan luas yang didominasi warna putih dan abu itu dipenuhi oleh obrolan dan tawa hingga terdengar sampai ke halaman belakang. Di tengah-tengah ruangan ada tiga sofa panjang yang menjadi tempat berkumpulnya keluarga besar.

"Gal! Masih lama gak, sih?"

"Masih kayaknya. Lo gak liat tuh! Para emak-emak lagi pada gosip. Biasanya kan cewe kalok lagi ngegosip lupa waktu. Makanya jadi cewe sekali-kali!" balas Galaksi tengil, salah satu sepupu yang sangat akrab dengannya karena cowo itu adalah anak dari Kakak Papanya bernama Xafier.

Galaksi kembali fokus pada ponsel, seperti biasanya memainkan game online.

Bulan mencibir kesal, helaan nafas kembali terdengar. Jika bukan karena paksaan sang Mama dan Papa, mana mau dia pergi ke tempat ini. Bukan karena tempatnya, tapi masalahnya jika sudah berkumpul satu keluarga seperti ini, biasanya Bulan selalu menjadi objek yang akan dibanding-bandingkan dengan para sepupunya yang lain.

Bulan sangat membenci saat-saat seperti itu. Bulan si gadis banyak tingkah dan banyak bicara itu kini hanya diam, berubah drastis menjadi gadis super kalem.

"Ngomong-ngomong. Tara kapan pulang ke Indonesia?"

Mendengar suara dari Mia sang bibi yang berkata dengan nada sengaja bertambah keras membuat Bulan menghembuskan nafasnya pelan.

Selamat datang dunia perbandingan

Bulan berdiri, hendak melangkahkan kakinya menjauh pergi dari sana agar telinganya tidak panas dan hatinya tidak dongkol. Baru dua langkah kaki, suara sang Papa menginterupsi agar Bulan tetap berada disana. Mau tak mau, Bulan kembali duduk di samping Galaksi dan berusaha menyibukkan diri dengan ponsel di genggamannya.

"Mungkin setelah lulus SMA nanti. Di sana temennya sudah banyak, lingkungannya juga sudah nyaman. Lagipula nanggung aja kalau harus pindah sekarang." balas Naumi, istri dari adik kedua sang Papa.

"Pantas aja dia banyak temennya, orang anaknya cantik gitu. Otaknya pinter lagi, mana ada yang gak mau temenan sama Tara. Iyakan Bulan?" ucap Nia, adik ketiga dari Arnando Eska Daryuda, Papa dari Bulan dan Nabiel.

Nabiel? Ya, abang satu-satunya dari seorang Bulan Armadila Refiliya. Namun cowo itu sudah 2 tahun berada di Amerika, menyelesaikan S1 di sana.

'Lah!? Kamu nanyak? Bertanya-tanya!?!' Bulan ingin sekali menjawab begitu, tapi sungguh mustahil karena di depan sana Papanya terus mengawasi. Dengan senyum paksa yang ia tunjukkan, Bulan mengangguk. "Iya ya Tante."

"Dia pikir gue cenayang kali!" lanjutnya pelan. Galaksi yang berada tepat di sampingnya pun terkekeh geli menanggapi gerutuan dari adik sepupu perempuannya itu. Umurnya yang terbilang tidak jauh beda hanya saja lebih tua Galaksi 1 bulan.

"Gimana tuh nilai anak kamu? Udah bisa naik atau masih sama aja?" tanya Nia kepada Safira, tentu saja istri dari Bapak Arnando.

Bulan memutar bola matanya jengah. Nah, Mulai kan! Apa tantenya yang satu itu tidak bisa mengeluarkan perkataan sedikit berfaedah, heh? Kenapa selalu saja yang keluar dari mulut wanita itu harus berimbas pada Bulan?

"Mau bagaimana lagi, Dek? Kemampuan Anaknya emang udah segitu."

Bukan Safira yang membalas, melainkan Arnando yang sejak tadi hanya diam dengan pandangan tertuju kepada Bulan, anaknya.

"Aduhh Bulan..., kamu ini harusnya mencontoh Tara, tuh. Nilainya sama sekali ga ada yang dibawah sembilan sama sekali." ucap Nia bangga. Safira hanya tersenyum menanggapinya.

DRAFENZO SHAQUILLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang