Bagian - 11

369 66 1
                                    

"Jaga anak Om ya, Ga. Lindungi anak Om."

Kalimat itu tak berhenti mengiang-ngiang di ingatan Raga. Seperti sebuah firasat bahwa akan ada awal yang baik untuk hubungannya dengan Dara. Mungkin ini sangat receh, tapi Raga tidak berhenti tersenyum saat mengingat momen terakhir pertemuannya. Raga bahkan sudah tak sabar menantikan perjumpaan itu kembali.

Dara kecil mampu membuat Raga jatuh hati, sedangkan Dara di usianya yang sudah dewasa telah membuatnya tertawan. Raga pasti tidak waras sudah menghabiskan sepanjang hidupnya hanya untuk memikirkan satu wanita. Tuhan membuat perjalanan takdir cinta Raga begitu unik dan beda dari yang lain. Tidak heran jika kisah asmara Raga sering kali dijadikan olok-olokan teman-temannya, yang mengatakan bahwa Raga tidak masuk akal. Menjunjung kesetiaan pada seorang wanita yang notabene belum sah secara agama dan negara.

Raga memang gila, dan terkesan nekat. Tapi Demi Tuhan, Raga juga tidak berniat merencanakan itu semua. Jalan hidupnya sudah digariskan dan terjadi begitu saja. Raga hanya mengikuti alur yang sudah ditetapkan.

Pernah sekali mencoba menjalin kedekatan dengan teman satu kelasnya dulu saat masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Waktu terus berjalan, tidak membuat perasaan Raga bisa bekerja secara maksimal kepada gadis yang saat itu mengisi hari-harinya. Raga justru dibelenggu rasa bersalah yang teramat kental. Seharusnya Raga bisa mempertimbangkan mengorbanan gadis yang menjadi mantan pacarnya kala itu. Yang selalu sabar dan tidak pernah protes menghadapi segala bentuk sikap yang kurang profesional dalam diri Raga.

Tapi semua kembali pada masalah hati. Raga akan semakin merasa bersalah jika terus membiarkan gadis itu berada di sekitarnya. Raga memutuskan untuk selesai. Meski tangis dan raungannya cukup menyesakkan.

Sekarang Raga memilih untuk tidak melawannya lagi. Mencoba mengikuti ke mana kata hatinya melangkah. Dan saat akhirnya dipertemukan kembali dengan Dara, Raga seperti baru sama menemukan pelengkap kekosongan hatinya selama ini. Dara layaknya obat ampuh dalam kehampaan.

"Kamu kok sudah rapi banget. Mau ke mana?" Ibunya tiba-tiba saja masuk ke dalam kamar Raga dan mendapatinya sedang memasang jam tangan dan memasukkan dompet ke saku celana, sudah bersiap untuk pergi. "Kamu mau ngajak jalan Rania? Tapi tadi Mama lihat Rania kok malah ngundang teman-temannya datang ke rumah sih. Katanya dia punya mainan baru, mau dipakai main sama teman-temannya." Sebelum Raga sempat menjawab, ibunya sudah menyimpulkan sendiri.

Biasanya, setiap akhir pekan Raga memang selalu mengajak keponakannya itu untuk jalan-jalan di playground, nongkrong sambil menikmati es krim favorit Rania atau nonton bioskop. Berbeda dengan hari ini, Raga sudah memiliki janji untuk kencan pertamanya bersama Dara. Sebisa mungkin Raga tidak boleh melewatkan kesempatan langka ini. Kemarin ia sudah memberi pengertian pada Rania bahwa akhir pekan nanti ia absen, karena ada urusan yang sangat penting, dan untungnya bocah itu bisa menerimanya. Rania bahkan langsung muncul ide mengajak teman-temannya bermain mainan baru di rumahnya. Tak urung Raga mengangkat dua jempol untuk keponakannya yang pintar itu.

"Aku ada urusan sendiri, Ma. Bukan sama Rania. Kemarin aku sudah ngasih tahu dia, weekend ini nggak bisa jalan-jalan." Ujar Raga mengoreksi ibunya.

"O gitu!" Wanita yang sudah membawa Raga lahir ke dunia itu manggut-manggut. "Mau ketemu Dara?" Tembaknya.

"Iya." Jawab Raga. "Doain lancar, ya."

Lagi, ibunya mengangguk. "Doa Mama selalu menyertaimu, Ga. Kalau memang Dara jodohmu, semoga dilancarkan. Sebenarnya Mama kepikiran sama Nindi, tapi gimana lagi, masalah hati nggak bisa dipaksa." Ibunya menyebutkan nama mantan pacar Raga. Dulu Nindi dan ibunya cukup dekat, sering pergi bertiga bersama Aina untuk berbelanja atau sekedar mengitari mal mencari barang-barang lucu. Tapi, kebiasaan itu berhenti saat Raga memutuskan hubungannya. "Kapan-kapan ajak Dara ketemu Mama ya, Ga. Biar Mama bisa dekat sama dia. Kalau nanti kalian beneran jodoh, Mama pengin bisa akrab dengan menantu Mama. Terkadang suka ngeri kalau lihat tayangan toktok ada menantu yang ngata-ngatain mertuanya. Semoga Dara nggak begitu."

"Aku yakin Dara nggak sempat main toktok, Ma. Dia wanita sibuk. Sedikit banyak aku sudah mengenalnya. Dia tipikal nggak akan buang-buang waktu berharganya untuk mantengin HP." Sahut Raga penuh keyakinan.

"Hem, kamu ngeledek Mama mainan HP terus? Kayak orang nggak punya kerjaan gitu?!" Ibunya merengut.

"Bukan aku yang bilang, ya. Mama yang nyimpulin sendiri." Terkadang Raga tidak habis pikir dengan kebiasaan ibunya yang gemar sekali menonton aplikasi berbagi video yang sedang naik daun itu. Padahal, setahu Raga, video yang ditayangkan dengan durasi tidak terlalu panjang itu hanya cuplikan-cuplikan yang bila ditelaah keakuratannya sangat minim sekali.

"Ya kan Mama nyari hiburan, Ga. Dulu sudah kerja keras. Sekarang Mama sudah tua, saatnya santai-santai." Lanjut ibunya masih mempertahannya paras ditekuk.

"Ma, tunggu! Aku mau tanya soal hutang Bapaknya Dara ke Papa. Itu gimana? Nominalnya banyak?" Mumpung ingat, Raga harus memastikan ini. Kemarin-kemarin mau menanyakan belum ada momen yang tepat.

Ibunya langsung mengibaskan tangan kanannya. "Halah, nggak usah didengarin omongannya Aina. Papamu sama Bapaknya Dara itu dulu lumayan dekat. Biasa kalau sesama teman itu saling pinjem-pinjeman duit. Tapi ya selalu dibalikin tepat waktu. Itu Aina kesel sama Bapaknya Dara karena dulu pernah diomelin. Sampai sekarang jadi gitu deh. Memori yang ada di kepalanya tentang Bapaknya Dara adanya yang buruk-buruk terus."

"Diomelin karena apa?" Tanya Raga penasaran.

"Dulu kan Aina sering main ke rumah Dara. Kalau sama Dara dia itu cocok banget. Tapi orang tuanya Dara itu disiplin banget. Tiap sudah masuk dhuhur, Dara harus tidur siang. Sama Ibunya Dara, Aina disuruh pulang. Biar bisa istirahat juga. Tapi kan Mama sama Papa dulu sibuk banget, ya. Kalian di rumah sama ART, kadang dibiarin gitu aja main sampai lupa waktu."

"Oh gitu! Berarti soal hutang itu nggak bener, ya." Raga memperjelas.

"Nggak ada hutang. Jangan dengerin omongan Mbakmu!" Ibunya menegaskan. "Yang penting, kalau kamu sudah yakin cocok dan hubungan kalian sudah serius, bawa langsung ketemu Mama dan Papa."

Raga baru sampai di kediaman Dara dan sekarang sedang duduk di ruang tamu mengobrol dengan ayah Dara sambil  menikmati secangkir teh dan kudapan yang baru saja disediakan oleh asisten rumah tangga.

"Bapak sehat ya, Ga?" Tanya ayah Dara setelah meletakkan cangkir tehnya di meja.

"Sehat, Om. Alhamdulillah." Jawab Raga. "Setelah pensiun, kesibukannya lebih banyak di kebun." Ayah Raga memiliki bisnis turun temurun perkebunan kopi yang cukup besar. Dulu saat ayahnya masih menjabat sebagai kapolres, paman Raga yang lebih banyak berkecimpung di dalamnya untuk menjalankan bisnis tersebut. Sekarang ayahnya sudah purna tugas, sehingga bisa fokus bekerja sama dengan sang adik.

"Ya baguslah, masih ada kesibukan. Daripada Om. Kadang ini yang jadi penyakit orang tua. Pikun. Karena di rumah nganggur nggak berkegiatan sama sekali. Sempat kemarin Om ikut acara pengurusan pemilu. Eh, malah Om terkena asam urat. Dara minta Om di rumah saja, istirahat, nggak boleh ke mana-mana."

Tak berselang lama, sosok yang ditunggu-tunggu akhirnya muncul juga. Dara tampak cantik menggunakan atasan polos dipadu rok sepanjang mata kaki. Raga melempar senyum hangat. Dara turut membalasnya. Raga yakin, kali ini pasti akan menjadi akhir pekan paling berkesan.

Terikat Janji (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang