"Raga, aku mau minta maaf soal omongan Bapak yang suka ngawur. Yang bikin kamu nggak nyaman. Sebagai anaknya kadang aku juga heran kenapa Bapak demen banget nitipin aku ke orang-orang. Sebelumnya, Bapak sudah sering nitipin aku ke adeknya, Omku. Lalu ke tetangga juga pernah. Ya, mungkin Bapak nganggep aku masih bocah jadi menurutnya perlu dijagain terus." Saat Dara memutuskan untuk mengikuti permainan ayahnya, yang semata-mata ia lakukan demi kelancaran hubungannya dengan Gabriel. Dara harus memastikan sosok di sampingnya ini tidak merasa keberatan dengan skenario yang sudah diatur oleh ayahnya.
"Nggak ada yang salah kok. Semua ayah pasti akan begitu." Ujar Raga, menoleh sekilas lalu kembali fokus menyetir.
"Bapak ngejodohin kita, seolah-olah kita ini nggak bisa nyari pasangan sendiri tahu!" Gerutunya.
"Kamu sendiri gimana? Apa kamu keberatan?" Lelaki itu mengajukan pertanyaan tapi fokus matanya ada di lalu lintas.
Tentu saja Dara keberatan, tapi Dara tidak mungkin jujur, ayahnya pasti akan marah saat Raga memutuskan berhenti di hari pertama keduanya memulai penjajakan. Dan sudah pasti akan berdampak buruk bagi hubungannya dengan Gabriel. Bisa jadi ayahnya semakin membenci Gabriel dan tidak sudi menerimanya sebagai menantu. Tidak, Dara tidak akan membiarkan itu terjadi.
"Nggak juga!" Sahut Dara kemudian. "Menurutku, yang dikatakan Bapak, nggak ada salahnya untuk dicoba. Kita sudah saling kenal dari kecil. Meskipun kita terpisah cukup lama, setidaknya aku ngelihat kamu yang dulu dan sekarang nggak ada bedanya. Kamu masih Raga yang baik dan penuh perhatian." Dara berharap semua yang dikatakan tidak terdengar seperti omong kosong. "Eh, kamu masih suka Gule Kambing nggak? Itu makanan favoritmu kan?"
"Kamu masih ingat?" Tanya Raga tampak tak percaya.
"Soalnya Gule dan Sate Kambing itu juga makanan kesukaan Bapak. Tapi sudah lama setop karena Bapak punya kecenderungan darah tinggi." Dara menjelaskan. "Gimana kalau kita sekarang ke warung Gule dan Sate Kambing langganan Bapak? Dijamin kamu ketagihan. Aku aja yang awalnya nggak terlalu doyan, jadi kepengin nyobain."
Raga langsung setuju. Dara sebagai petunjuk arah dengan telaten membimbing kendaraan yang ditumpangi melaju sedang. Perilaku Raga yang terlihat tulus membuat hati nurani Dara sedikit tersentil. Dara sudah memanfaatkan lelaki ini demi kepentingannya sendiri. Jujur, sekarang Dara dilema.
Mereka akhirnya sampai di tempat tujuan, sebuah warung yang tidak terlalu besar tapi memiliki cukup banyak pengunjung. Dara dan Raga sampai mengantre di kursi teras karena di dalam sudah penuh.
"Maaf, ya." Gumam Dara, merasa tidak enak hati sudah membawa lelaki ini ke tempat yang tidak tepat. "Mungkin karena akhirnye pekan jadi penuh begini."
"Nggak apa-apa. Dengan banyaknya pembeli gini ngebuktiin kalau memang enak. Sampai anter-antre, bikin aku semakin penasaran sama rasanya. Pasti enak banget." Raga menoleh. Keduanya bertatapan sejenak lebih lama. Sebelum sama-sama memalingkan pandangan ke sekitar.
Harus diakui, Raga memiliki fisik yang mampu membuat para wanita di sekitar mereka menatap kagum. Dara tidak menampik saat Ninis memujinya habis-habisan. Dan Hayu yang memang memiliki selera tersendiri pada pria berkulit eksotis. Terlihat cowok banget, katanya. Tapi, berhubung Dara sudah memiliki Gabriel yang sebaliknya, Dara merasa lelaki idamannya adalah yang berkulit putih.
Saat antrean sudah mulai longgar, Dara mencoba untuk masuk ke dalam. Pengunjung sudah berkurang. Dara melambaikan tangannya pada salah satu pelayan warung yang tampak sibuk mencarikan tempat duduk untuk pelanggan lain yang baru datang. Tidak disangka saat Dara melangkah maju, seorang wanita bertubuh besar melintas dari arah depan dan menabraknya. Untung saja ada Raga yang langsung siaga menangkap Dara agar tidak terjatuh ke lantai.
"Kamu nggak apa-apa?" Tanya lelaki itu khawatir.
Dara menggeleng. Terlalu kaget sampai ia tidak bisa berkata-kata. Ibu-ibu yang menabraknya sudah amblas mengejar anaknya masih balita yang aktif berlari keluar.
"Yuk, kita duduk di sana!" Raga menuntun Dara ke tempat duduk yang sudah dicarikan oleh pelayan resto. Dengan cekatan Raga mengambil gelas air mineral lalu diberikan pada Dara. "Diminum dulu!" Titahnya.
Dara menurut, meneguknya hingga separuh.
"Kaget banget ya?" Raga masih menatapnya khawatir.
Detak jantung Dara masih berkejaran, meski tidak separah tadi. Mungkin karena ia sedang dalam kondisi banyak pikiran sehingga membuatnya kurang fokus dan mudah kaget.
"Kamu langsung diem gitu." Lanjut lelaki itu.
"Aku tadi lagi nggak fokus. Jadinya langsung speechless." Ujar Dara kembali meneguk habis air mineralnya.
"Kenapa? Ada yang lagi ganggu pikiranmu?" Raga bertanya dengan nada lembut yang tidak pernah Dara temukan dari lelaki manapun, sekalipun itu Gabriel. Dara salah. Lelaki ini terlalu baik untuk ia jadikan tumbal. "Apa kita pulang saja? Kamu lagi nggak baik-baik saja kan?"
Dara buru-buru menggeleng. Tidak baik buat rencana ayahnya jika Dara memutuskan pulang saat keduanya belum lama pergi. "Aku nggak apa-apa kok." Dara menarik sudut bibirnya ke atas. "Pesanan kita sudah datang. Pasti kamu sudah lapar banget nih." Sebisa mungkin Dara harus mengubah suasana tidak nyaman ini kembali mencair.
"Beneran enak." Lapor lelaki itu setelah memasukkan satu suap ke mulutnya. "Ini bisa bungkus nggak? Mau bungkusin orang rumah."
Dara mencomot sate sambil menjawab, "Bisa, tapi dibatesin paling banyak tiga porsi."
"Mana bisa begitu? Aku kan juga pengin makan lagi nanti pas di rumah." Beo Raga dengan ekspresi tak suka.
"Protes aja sana sama penjualnya!" Dara tertawa.
"Nasinya nggak dimakan?" Raga menunjuk nasi di piring yang masih utuh.
"Aku makan sate aja sudah kenyang, Ga." Sahut Dara. "Kamu mau nambah nasinya? Dimakan sama sate."
"Oke, biar aku yang makan."
Diam-diam Dara membandingkan sosok di depannya dengan Gabriel. Mungkin karena Raga memiliki tubuh tinggi kekar, sehingga jumlah makanan yang dimasukkan ke tubuhnya cukup banyak. Berbeda dengan Gabriel, yang penuh perhitungan saat memilih menu. Selain karena Gabriel tahu dampak dari mengkonsumsi makanan kurang sehat, porsi makan Gabriel juga cenderung sedikit.
"Kalau masih belum kenyang boleh kok kita pesan lagi." Lanjut Dara sambil memperhatikan cara makan Raga yang lahap tapi masih sangat sopan. Tenang dan nyaris tak bersuara.
"Ini cukup." Katanya. "Nih, cobain deh!" Lelaki itu menyodorkan sesuap nasi gule pada Dara.
Awalnya Dara ragu-ragu, dan secara tak sadar ia kembali membandingkannya dengan Gabriel. Selama tujuh tahun menjalin hubungan, Dara dan Gabriel sama sekali tidak pernah memiliki momen suap-suapan seperti yang sekarang dilakukannya dengan Raga. Mungkin karena keduanya adalah seorang tenaga medis. Yang paham dampak tertularnya virus. Sehingga keduanya selalu menghindari risiko itu.
Dara dan Gabriel adalah seorang dokter. Akan sangat tidak lucu jika orang yang seharusnya menyembuhkan pasien, justru yang penyakitan.
Baiklah, untuk kali ini saja, Dara melanggar prinsip itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terikat Janji (TAMAT)
RomanceSebuah kisah yang menceritakan tentang pengorbanan seorang lelaki untuk gadis yang dicintainya, tapi tidak mendapatkan balasan yang sepadan.