Bagian - 7

479 79 0
                                    

Pagi-pagi sekali Dara sudah berkutat di dapur untuk menyiapkan sarapan. Hari ini ia masuk kerja siang. Membuat waktunya di rumah sedikit lebih longgar. Selain itu juga Dara bisa mengerjakan pekerjaan rumah yang sering kali ia lewatkan dan berujung mengundang ART serabutan. Dara cukup sibuk dan jarang sekali berada di rumah. Sehingga waktunya untuk merawat rumahnya sangatlah sedikit.

"Raga masih sama seperti yang Bapak kenal dulu saat masih kecil. Baik dan sopan." Ujar ayahnya sambil merebahkan pantat di kursi meja makan.

Dara yang masih sibuk menghidangkan hasil olahannya menoleh sejenak, sebelum kembali melanjutkan. "Iya, Pak." Sahutnya singkat.

"Dulu kamu dekat banget sama dia kan? Bapak masih ingat kamu nangis berhari-hari karena dia harus ikut orang tuanya pindah ke luar jawa. Kamu bahkan sampai mogok sekolah, katamu di sekolah nggak seru kalau nggak ada Raga." Kali pertama ayahnya membahas orang lain yang berjenis kelamin laki-laki dengan cukup antusias. Terakhir kali membicarakan Gabriel dua bulan yang lalu ujung-ujungnya terjadi perdebatan sengit.

"Kapan kalian ada rencana ketemu lagi? Waktu itu Bapak sudah menyuruhnya main ke rumah. Tapi mungkin dia masih sibuk, jadi belum sempat mau ke sini."

Sontak saja Dara menghentikan kegiatannya menuangkan gula ke dalam cangkir untuk membuat teh hangat. "Bapak kasih tahu alamat kita pada Raga?" Tanyanya cepat.

"Dia kan sudah tahu dari SIM Bapak." Jawab ayahnya. "SIM Bapak kan masih di kantor polisi. Tanggal dua belas nanti baru sidang pengambilan."

Dara melanjutkan kegiatannya yang tertunda. "Makanya, Pak, lain kali helm itu selalu dipakai. Sudah sering loh aku ingatin. Malu lah, Pak, kalau kena tilang muluk. Bapak sudah sering begini. Lagian helm itu buat keamanan, Pak. Supaya kepala Bapak terlindungi." Lelah sudah Dara mengingatkan ayahnya agar tidak keras kepala. Dulu mungkin ibunya yang merasakan betapa susah mengatur ayahnya. Dan sekarang, saat sudah tinggal mereka berdua, Dara harus mengambil peran itu.

"Bapak itu kalau pakai helm pusing, Dar. Bikin nggak nyaman. Telinga susah untuk mendengarkan kalau ketutupan helm." Ayahnya selalu memiliki alasan untuk dilontarkan.

Jika sudah geregetan, salahkan Dara bila harus berkata seperti ini. "Untung saja kemarin bukan kepala Bapak yang terkena aspal. Bisa-bisa Bapak gegar otak. Terus koma. Dan entah Bapak bisa melihat dunia lagi apa nggak."

"Lho kok kamu malah ngedoain Bapak begitu sih?" Ayahnya tampak tak suka.

"Bukan ngedoain. Aku hanya pengin ngasih tahu risiko yang akan Bapak jalani saat Bapak memilih terus ceroboh. Bapak kan memang susah dikasih tahu."

"Makanya toh kamu itu buruan beli mobil, biar Bapak bisa pakai mobil saja. Bapak pusing kalau harus pakai helm, Dar."

Dara menghembuskan napas lelah. Menuang nasi ke atas piring, dan lekas melengkapinya dengan pertumisan. Diletakkan di hadapan ayahnya.

"Gajimu kan banyak, Dar. Masa sudah kerja lama, belum terkumpul juga sampai sekarang?" Ayahnya benar-benar ujian terberat Dara.

"Bapak sadar nggak sih apa yang Bapak katakan? Bapak sudah lupa kalau Bapak punya hutang banyak, sampai gajiku dan pensiunan Ibu kepakai buat nanggung cicilan tiap bulannya?"

Tiba-tiba saja ayahnya terkekeh. "Bapak cuma bercanda. Jangan terlalu serius begitu. Maksud Bapak ngebahas mobil itu karena Bapak nggak tega lihatin kamu pulang malam-malam naik sepeda motor. Kamu itu perempuan. Nggak tega Bapak lihat."

"Kalau Bapak emang sekhawatir itu sama aku, Bapak cukup nurut sama aku. Jangan pernah ngebebanin apapun, dan bikin aku tambah susah." Dara memilih meninggalkan dapur. Selera makannya menguap begitu saja.

Jika biasanya Dara akan langsung meluapkan keluh kesahnya pada Gabriel, namun kali ini ia harus memendamnya sendiri. Dara duduk di pinggir tempat tidur. Menatapi layar ponselnya yang sudah satu minggu ini tidak disambangi oleh nama Gabku. Sudah selama itu pula pesannya hanya centang satu. Bahkan telah Dara pastikan pada adik dan juga kakak Gabriel bahwa di sana memang susah sinyal.

Email terakhir yang dikirim oleh Gabriel memberitahukan lelaki itu sudah sampai di tempat tujuan dengan selamat. Dara juga sudah membalasnya untuk terus mengabari setiap ada kesempatan.

"Halo, Ninis?" Dara segera mengangkat panggilan telepon dari sepupu sekaligus perawat di rumah sakit tempatnya bekerja.

"Mbak Dar, ya ampun, ini ada keluarga pasien yang tiba-tiba nongol di jam prakteknya dokter Budi. Orangnya ngamuk-ngamuk, katanya Mbak Dara salah ngasih resep obat." Suara Ninis panik dan ngosngosan.

"Nis, Nis, tenang dulu." Dara mencoba menenangkan. "Tarik napas, hembuskan. Cerita pelan-pelan."

Ninis terdengar mengikuti instruksinya. "Mbak Dara, Ya Allah, Mbak ... ini di rumah sakit lagi geger, Mbak. Ada salah satu keluarga pasien yang protes karena Bapaknya meninggal setelah minum obat yang diresepkan sama kamu."

"Hah, kok bisa?!" Dara melotot.

"Ini orangnya maksa mau ketemu kamu, Mbak. Dokter Budi sama satpam udah coba tenangin tapi orangnya tetap barbar. Ini Profesor Asga barusan dihubungi, sekarang lagi otw ke rumah sakit. Orangnya minta ketemu direkturnya juga." Lanjut Ninis masih dengan suara panik tak terkendali.

"Yaudah kalau gitu aku siap-siap ke rumah sakit sekarang!" Dara sudah hendak menutup sambungan teleponnya namun ditahan oleh suara cempreng sepupunya.

"Mbak, kalau kata Dokter Budi, mending kamu nggak usah ke sini. Bahaya, Mbak. Sepertinya, ini bukan orang sembarangan. Kalau dilihat dari penampilannya sih kelihatan mentereng. Aku takut dia ngotot perkarain ini."

Jujur saja sekarang jantung Dara mulai berulah. Dadanya berdebar memikirkan banyak kemungkinan yang akan ia hadapi. "Terus sekarang aku harus gimana dong, Nis? Masa aku diam saja di rumah. Sekarang di situ lagi heboh. Yang dicari orang itu kan aku, jadi apa nggak sebaiknya aku hadapi saja?"

"Jangan, Mbak!" Tahan Ninis tegas. "Ini tadi aku telepon karena tahu kalau kamu ada jadwal praktek siang. Takutnya nanti kamu keburu nyampe rumah sakit, terus si keluarga pasien belum pada pulang. Hari ini kamu izin cuti aja. Diam di rumah, jangan ke mana-mana. Pokoknya kamu nggak boleh ketemu mereka. Ngeri."

"Tapi, Nis, aku nggak enak dong sama Profesor Asga. Nanti dikira aku lari dari masalah dan nggak mau tanggung jawab." Dara menyebutkan nama direktur rumah sakit tempatnya bekerja.

"Ya nggaklah! Profesor Asga sudah kenal kamu lama. Aku yakin Profesor Asga sepemikiran sama Dokter Budi. Jujur aku juga takut. Tapi insya Allah Profesor Asga bijaksana. Dulu kalau nggak salah waktu masih muda, Prof Asga juga pernah terkena kasus malpraktik. Aku baca biografinya di kantor."

"Ohya? Aku malah nggak paham soal itu."

"Iya, Mbak. Kapan-kapan baca sendiri deh. Bertahun-tahun kasus Prof Asga baru kelar. Ada bagian dia dizalimi sama pengacaranya sendiri. Dahlah, aku tutup dulu ya, Mbak. Nanti aku kabari."

Dara tergugu menatap layar ponselnya yang kembali menampilkan wallpaper gambar dirinya saat sedang mengikuti studi banding di Jerman.

Terikat Janji (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang