Perayaan ulang tahun RSUD Soetomo yang akan digelar dua hari lagi sudah menunjukkan tanda-tanda kemeriahannya. Sebelum hari H, para panitia akan mengadakan beberapa kegiatan lomba yang wajib diikuti oleh seluruh penduduk rumah sakit. Bertemakan hidup sehat, dengan berbagai jenis lomba olahraga yang sudah ditentukan. Di antaranya sebagai berikut; tenis meja, bola voli, bulu tangkis, dan futsal, khusus makhluk adam.
Dara masuk menjadi anggota voli putri.
Sebenarnya, Dara sudah mengutarakan keberatannya pada pihak panitia. Selain karena belakangan ini badannya kurang sehat, Dara tidak terlalu suka olahraga yang berhubungan dengan bola. Dulu saat masih di bangku sekolah, setiap bola yang melayang ke arahnya, secara spontan Dara akan menghindarinya. Bisa dikatakan, Dara takut dengan bola.
"Kamu nggak mau ikut karena takut kalah kan?" Tembak Ninis yang mewarisi sifat sok tahu. "Optimis dong, Mbak! Kita satu tim sama Dokter Tisha. Jangan salah, dia mantan atlet voli loh. Kita pasti menang."
Mendesah lelah, Dara yang baru saja melakukan kunjungan ke pasien rawat inap, merebahkan tubuh di sofa ruangannya. Kondisi badannya beberapa hari terakhir cenderung lemah dan hilang semangat.
"Ke IGD sana deh! Suntik vitamin. Nanti juga seger lagi." Titah Ninis untuk yang kesekian kalinya. "Mau aku panggilin, suruh ke sini ta? Tinggal bilang aja kalau kamu nggak kuat jalan ke IGD."
"Aku ke sana sendiri aja." Meski sudah bertahun-tahun menjadi bagian dari tenaga medis di rumah sakit ini, Dara merasa tidak enak jika harus melakukan hal seperti yang dikatakan Ninis. Tidak etis.
"Nggak apa-apa kali, Mbak. Tinggal aku bilang aja kamu tepar dan nggak kuat jalan ke IGD. Oh, astaga, apa jangan-jangan kamu lagi hamil? Bisa jadi kan? Setahuku, ciri-ciri orang hamil muda biasanya seperti kamu gini deh. Nafsu makan hilang di waktu-waktu tertentu. Kayak pagi pasti selalu mual. Rasanya males mau ngapa-ngapain. Kamu juga sekarang jadi jarang ngemil."
Terkadang Dara berpikir, mungkinkah peristiwa satu bulan yang lalu membuahkan hasil? Tapi Dara berusaha terus menepisnya. Keduanya hanya melakukannya sekali, dan kejadiannya sangat tidak mengenakkan. Raga yang memaksakan diri, sedangkan Dara terlalu sibuk menolak. Meski pada kenyataan, Raga berhasil merusaknya, tapi Dara berharap peristiwa nahas itu tidak akan berbuntut panjang.
Hubungan keduanya semakin buruk. Tinggal di satu atap yang sama, berbeda kamar, dan tak saling berkomunikasi. Raga berubah menjadi makhluk dingin yang tak tersentuh. Setiap Dara berniat memulai percakapan, sekedar ingin menjelaskan kejadian yang sebenarnya, atau bermaksud memperbaiki hubungan keduanya, tapi tidak pernah mendapat respon yang sepadan. Sehari, dua hari, hingga satu minggu, Dara mencoba maklum. Tapi, dia juga hanya manusia biasa yang tidak memiliki kesabaran tebal, sehingga Dara memilih untuk ikut abai.
"Kamu muntah-muntah kan?" Desak Ninis. "Muntah-muntah juga bisa diartikan masuk angin sih. Tapi masuk angin, nggak mungkin sampai berhari-hari dong. Biasanya setelah diminumin obat, pasti sembuh. Dan kalau kamu mengalami ini sebelum nikah, aku nggak akan berpikir ke arah sana. Tapi berhubung kamu baru aja nikah, bisa jadi perubahan kondisi badan yang kamu rasakan ini karena kamu hamil. Saranku sih mending kamu tespek dulu deh. Kalau beneran hamil, kamu bisa langsung periksa ke obgyn. Ketimbang harus bolak-balik, lebih simpel gitu kan."
Yang dikatakan Ninis cukup masuk akal, tapi Dara memilih tidak menanggapi. Lebih tepatnya, Dara tidak siap menghadapi kenyataan bahwa semua asumsi Ninis adalah kebenaran. Demi Tuhan, Dara tak siap jika harus hamil sekarang.
"Mbak, buruan! Mau aku beliin tespek sekarang?" Tanya Ninis menawarkan diri.
"Nggak, Nis. Aku ke IGD aja." Jawab Dara lelah.
"Terserah deh, yang penting kamu cepat ditangani. Kalau kamu mau ke IGD, ayo, aku anterin. Biar cepat-cepat sehat dan bisa ikut latihan. Lagian, kamu ini kok betah sih nggak enak badan sampai berhari-hari. Aku tuh, sekalinya ngerasain badan mau oleng, pasti sudah buru-buru diobatin. Paling nggak betah nahan sakit."
Masalahnya, kondisi badan tak nyaman yang dirasakan Dara, hanya akan terjadi di pagi hari hingga siang. Saat hari sudah menjelang sore ke malam, badan Dara kembali segar, seperti tidak merasakan keluhan apapun.
"Kalau kamu beneran hamil, sudah otomatis kamu nggak bisa ikutan lomba. Nggak apa-apa, biar segera dicariin pengganti. Makanya buruan!" Ninis terdengar sangat berdedikasi dalam keberlangsungan masa depan Dara. Bagaimana tidak, sekarang, bocah itu sudah mengapit lengan Dara dan berniat menggeretnya keluar ruangan. "Terus, telepon Mas Raga sana! Kamu ini sudah nikah tapi kelihatan kayak janda tahu nggak! Kalian nggak sedang bertengkar kan? Kok aku nggak pernah sekali aja lihat Mas Raga anter jemput kamu. Ya sih, kalian sudah sama-sama punya kendaraan buat berangkat kerja. Tapi yang namanya pengantin baru kan biasanya masih manja-manjanya."
Daripada telinga Dara semakin keriting mendengar celotehan Ninis, lebih baik ia segera beranjak dari sofa, menuju ke Instalasi Gawat Darurat. Ninis mengekorinya sambil terus mengeluarkan suara-suara tak penting. Sesekali juga menyapa sesama perawat yang dikenal dekat saat tak sengaja berpapasan.
Sesampainya di tempat tujuan, Dara langsung merebahkan diri di bed pasien. Seorang dokter jaga mendekat untuk memeriksanya. Ninis yang setia berada di sebelahnya tanpa disuruh langsung menginformasikan perihal keluhan yang dirasakan Dara.
"Hamil mungkin, Dok." Ujar Ninis pada dokter umum yang sedang berjaga di IGD. "Mual, loyo, nggak bersemangat. Apa coba kalau bukan hamil?! Feelingku sih hamil."
"Dari gejala-gejalanya sih gitu, Mbak." Sahut si dokter menanggapi pernyataan perawat di sebelahnya. "Bulan ini Dokter Dara belum haid juga kan?" Tanyanya kembali beralih pada si pasien.
"Haidku memang nggak teratur sih." Jawab Dara. "Paling sering dua bulan sekali." Dara berharap semoga asumsi orang-orang di sekitarnya salah. Memang sangat ironis. Terkadang wanita yang sudah menikah akan sangat mengidam-idamkan hadirnya buah hati, tapi Dara justru sebaliknya.
"Ditespek saja, Dok. Biar nanti kalau beneran hamil, Dokter bisa langsung ke obgyn. Kurang sehatnya orang hamil itu kan karena bawaan bayi, ya. Beda sama orang yang benar-benar nggak sehat dan butuh diobatin. Orang hamil nggak butuh obat, Dok. Biasanya nanti dikasih vitamin aja sih."
"Sudah aku saranin gitu tadi." Sambar Ninis. "Yuk, Mbak! Balik lagi ke ruangan aja. Kamu tunggu di sana. Aku ke apotek dulu, beli tespek."
Dara tidak lagi bisa menghindar. Sesuatu yang dari kemarin coba ditepis. Badannya yang tiba-tiba melemah hanya pada waktu-waktu tertentu. Lidahnya yang cukup sensitif dengan makanan. Dan tidak jarang Dara mengeluarkan semua isi perut saat sudah tidak sanggup menahan mual. Semua itu merupakan ciri-ciri mutlak wanita hamil.
Astaga, Dara gemetar. Ia tidak siap bila harus berbadan dua dengan kondisi seperti sekarang. Hubungannya dengan Raga sedang tidak akur. Nyaris tak ada komunikasi. Lantas, bagaimana caranya Dara memberitahu lelaki itu tentang keadaannya? Bukan tidak mungkin Raga justru menuduhnya yang bukan-bukan. Sebab permasalahan terakhir yang membuat hubungan kedua berjarak, belum klir hingga detik ini.
"Hai, mau pulang?" Laki-laki yang berstatus mantan kekasih mendekatinya, saat Dara sudah bersiap untuk masuk ke dalam mobil. "Kamu pucat?" Lelaki itu melempar tatapan khawatir.
"Aku memang lagi kurang enak badan, Gab. Mungkin kelelahan dan kurang tidur. Seminggu ini lembur terus." Dara mengacungkan bungkusan plastik berisi vitamin. "Sudah dapat obat. Mau aku minum pas nyampe rumah. Terus dipakai istirahat, nanti juga sehat lagi." Bersyukur Gabriel tidak menyimpan dendam yang mendalam pada Dara. Hubungan keduanya justru berakhir baik sebagai rekan sesama dokter. Meski sisa-sisa perhatian masih terus Dara dapatkan, itu hal yang wajar, keduanya pernah saling menyukai bertahun-tahun lamanya.
"Kuat dipakai nyetir?" Tanya Gabriel lebih lanjut. Ekspresinya masih saja khawatir. "Mau aku anterin? Yuk? Kebetulan jam praktekku masih satu jam lagi."
Dara menggeleng. "Nggak usah, Gab. Aku nggak apa-apa kok. Ini masih kuat banget." Tidak ingin menambah masalah yang akan membuat hubungannya dengan Raga semakin rumit, Dara harus bisa menghindari segala hal yang berurusan dengan masa lalunya.
"Ya sudah kalau gitu. Hati-hati, Dar." Lagi-lagi, Gabriel terlihat khawatir. "HPku bakalan stanby. Kalau ada apa-apa, langsung kabari, ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Terikat Janji (TAMAT)
RomantizmSebuah kisah yang menceritakan tentang pengorbanan seorang lelaki untuk gadis yang dicintainya, tapi tidak mendapatkan balasan yang sepadan.