Bagian - 13

394 54 3
                                    

"Kamu ingat nggak, dulu kamu pernah jatuh di situ?" Raga menunjuk di mana Dara pernah jatuh dari sepeda dan ditolong oleh sosok yang berdiri di sampingnya. Setelah melakukan santap siang, Raga berkata akan mengajaknya ke suatu tempat. Tidak menyangka bila kendaraan yang mengangkut mereka berhenti tepat di rumah yang pernah menjadi tempat tinggalnya.

"Kamu yang obatin lututku yang berdarah." Lanjut lelaki itu, saat Dara masih termangu membayangkan masa lalu. "Terus kamu bilang pengin jadi dokter supaya bisa obatin aku. Lupa ya?"

Dara tersentak, lalu menoleh. "Ingat kok. Meskipun samar-samar." Akunya tak yakin. Kejadian itu sudah terlalu lama. Puluhan tahun yang lalu. Saat dia masih sekolah dasar. Dara juga bukan pengingat yang bagus.

"Kamu ingat nggak, kalau kita pernah buat janji di situ? Tepat setelah kamu hampir jatuh, dan sedang ngobatin lututku?" Tatapan Raga terlihat serius. Tapi Dara sama sekali tidak mengingat momen yang disebutkan oleh lelaki ini. Apakah janji anak SD sangat berarti bagi lelaki ini? Sedangkan sekarang keduanya sudah sama-sama dewasa? Sepenting itukah membahas sesuatu yang sudah berlalu?

"Aku nggak ingat." Mohon maaf, dengan penuh penyesalan Dara harus berkata jujur, bahwa ia tidak mengingat apapun selain ia mengenal Raga cukup baik, lalu tiba-tiba saja Raga pergi karena harus mengikuti ayahnya yang bekerja di luar jawa. Selain itu, tidak ada lagi kenangan tentang Raga yang tersimpan di kepalanya. "Jangankan untuk kejadian puluhan tahun yang lalu, sama yang baru terjadi kemarin aja aku sering lupa. Sori, ya. Aku emang pengingat yang buruk."

"Nggak apa-apa." Sahut Raga kalem. "Berbeda sama kamu, kejadian itu justru memorable banget buatku. Aku nggak bisa lupa sama detail-detail percakapan kita."

"Ohya?" Dara menatap lelaki itu penasaran. "'Memangnya apa aja tuh kalau boleh diingetin? Biar aku nggak tulalit-tulatit amat pas kita lagi ngebahas masa lalu."

Raga tertawa. "Kayak nggak penting banget ya ngebahas masa lalu?"

"Eh, kata siapa?! Nggak apa-apa dong sekali-kali dibahas. Posisi kita kan emang dua makhluk yang kenal dari kecil, terus pisah, terus ketemu lagi pas dewasa." Sekarang, apakah Dara sudah terlihat cukup menyenangkan diajak ngobrol?

"Baiklah. Aku akan sedikit-sedikit kasih tunjuk apa saja yang kita lakukan berdua pas SD." Raga menuntunnya untuk kembali masuk ke dalam mobil. "Masa lalu pas SD lucu banget kalau diingat-ingat. Bikin nggak sadar kita ketawa-ketawa sendiri. Tentang keluguan kita, dan cara pikir anak-anak yang sederhana tapi kritis. Kamu pernah nggak sih, sesekali punya keinginan untuk balik ke masa kecil dulu?"

Dara mengangguk. "Pernah banget. Saat ibu masih ada."

"Sama, aku juga."

"Oiya, kalau aku yang jatuh, kenapa lututmu yang berdarah? Kamu ikutan jatuh?" Dara masih tidak mengerti bagian ini.

Lelaki itu melajukan kendaraannya sambil bercerita. "Karena sebelum kamu jatuh, aku sudah menangkapmu lebih dulu. Kamu belum benar-benara jatuh, tapi hampir aja."

"Ohya?! Berarti kamu dong yang jatuh? Dan aku nggak?" Apa mungkin gara-gara itu mereka dulu menjadi sangat dekat? Raga selalu melindunginya? Pertanyaan-pertanyaan itu hanya mampu Dara simpan di dalam hati. Jika beruntung, mungkin Raga nanti akan mengungkap semuanya.

"Iya, jadinya aku yang jatuh sampai lututku berdarah dan bikin kamu nangis. Kamu ingat nggak, pernah nangisin aku?"

"Aku nangis? Wah, berlebihan sekali aku, ya." Dara sedikit tidak percaya. Tapi mengingat, Hayu yang terus mengolok-oloknya tentang bagaimana Dara menangis saat ditinggal Raga, rasa-rasanya cerita tentang Dara yang sangat cengeng di usia muda tidak salah.

"Kamu nggak ingat sama sekali?" Beo Raga.

Dara menggeleng pelan. "Kamu nggak kesel kan kalau aku nggak ingat apapun? Emang buruk banget ingatanku."

Terikat Janji (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang