Bagian - 17

332 55 2
                                    

"Gabriel nggak bisa dihubungi, Yu! Dia benar-benar nggak ada kabar. Aku sudah coba tanya ke adek-adeknya, tapi mereka pun juga begitu, lost contact!" Kalimat pertama yang keluar dari mulut Dara saat bertemu sahabatnya. Satu bulan tidak bertemu karena kesibukan masing-masing, Dara sudah tidak tahan untuk menumpahkan unek-unek. "Tapi Gabriel sempat ngasih tahu adek-adeknya kalau di sana bakalan repot banget. Selain susah sinyal, bisa jadi aktivitasnya yang padat membuatnya nggak sempat pegang HP buat ngabarin."

"Tapi, ya kali sudah empat bulan lebih dia nggak ngabarin. Gabriel ada gila-gilanya. Nggak kasian sama orang rumah yang khawatirin dia." Respon Hayu ikut kesal. "Sori, kalau aku ikut emosi. Tindakan dia yang kayak gini sama aja nggak menghargai kamu sebagai pasangannya. Sama dengan gantungin hubungan kalian. Gila, Panji aja dikalahin ngeselinnya sama Gabriel!"

Dara menggeleng frustasi. "Aku benar-benar buntu. Aku nggak tahu harus ngapain. Bapak terus mendesakku. Raga juga sudah serius banget. Aku memang bodoh biarin ini semua terjadi. Seharusnya aku nggak perlu main-main sama gertakan Bapak. Aku cukup nolak pilihan Bapak. Aku yakin Bapak akan lebih bisa nerima. Dari awal Bapak sudah nggak setuju sama Gabriel, makanya Bapak antusias banget pas ada Raga. Aku harus gimana, Yuuuu?!" Meskipun jarang bertemu, Dara selalu membagi semua permasalahan hidupnya via chat dengan sahabatnya ini.

Hayu menatapnya iba. "Jujur aku speechless, Dar. Kebayang gimana perasaanmu. Pasti bingung, sedih, pengin marah, jadi satu. Tapi, aku berharap kalau Raga memang jodohmu, dia akan bisa menjadi obat dan kebahagiaanmu kelak. Itu harapan yang dikasih orang-orang terdekatku saat aku mutusin nerima lamaran Lingga. Dan see, Allah itu maha baik. Awalnya memang sulit. Tapi semua hanya tentang waktu. Pada akhirnya nanti, kamu akan dengan legowo menerima takdir. Ketentuan Tuhan pasti yang terbaik. Cukup kamu percayai itu."

"Aku memaksakan diri untuk lanjut sama laki-laki beda agama, sudah bikin Allah murka, Yu. Aku paham ini. Tapi kenapa aku nggak sadar-sadar ya?" Tatapan Dara menerawang ke arah lalu lalang pengunjung yang memasuki area resto.

"Karena setan sudah berhasil menguasaimu, Dar. Makanya kamu denial meskipun banyak orang yang sudah menegurmu. Kamu menolak kebenaran yang Bapakmu kasih. Kamu lebih yakin dengan pemikiranmu sendiri. Bahkan, kamu lebih memercayai Gabriel ketimbang Bapakmu. Kenapa? Apa karena kamu kurang kasih sayang dari Bapakmu, sehingga saat bersama Gabriel kamu merasa lengkap? Nggak dong, Dar. Kamu nggak tiba-tiba gedhe loh. Ada orang-orang yang merawatmu dari mulai kamu lahir ke dunia hingga di posisimu yang sekarang. Masa sih kamu nggak akan mempertimbangkan pengorbanan mereka yang sudah susah payah mendidik, mengasuh, membesarkan?" Semua yang dikatakan Hayu mampu memukul Dara telak.

"Kalau aku jadi kamu, aku akan mencoba untuk berpikir positif, karena bisa saja ini adalah solusi dari Tuhan. Kamu tiap habis salat pasti minta petunjuk kan? Dan sekarang Tuhan lagi coba ngasih yang kamu minta." Hayu berhenti sejenak. "Tuhan maha tahu apa yang terbaik buat umatnya. Kalau Dia nggak mewujudkan ekspektasimu supaya bisa sama Gabriel, itu karena Dia paham Gabriel bukan jodoh yang baik buatmu. Aku yakin kamu paham teori ini, tapi kamu berusaha untuk menyangkal dan nyari pemberanan. Itu sifat buruk sih, Dar. Kalau bisa dihindari. Karena pada akhirnya nanti kamu yang bakalan menyesal."

"Kemarin aku sudah ketemu orang tuanya Raga. Mereka welcome banget sama aku, Yu. Aku benar-benar makin ngerasa bersalah."

"Rasa bersalah kamu itu masih bisa kamu perbaiki kok, Buk. Caranya, akhiri hubunganmu sama Gabriel, dan fokus ke acara pertunanganmu sama Raga. Sugestikan pikiran kamu hanya untuk calon suamimu, dan bukan pada laki-laki lain. Ini nggak mudah. Tapi kamu harus benar-benar bertaubat. Kalau kamu bisa lulus dengan tahapan ini, aku yakin rasa bersalah karena sudah memanfaatkan Raga nggak lama pasti akan hilang."

"Kamu yakin?" Dara seperti orang kehilangan arah. Masih terlalu berat melepas Gabriel, tapi tidak cukup berani menolak Raga. "Mumpung belum lamaran. Aku masih bisa mundur."

"Jangan gila!" Bentak Hayu. "Nyari laki-laki sebaik Raga nggak gampang, Dar! Kamu mau sia-siain dia gitu aja?! Bodoh, kamu!"

"Tapi perasaanku sama dia masih abu-abu, Buuuuk. Apa nggak nyakitin dia, kalau saat kami sudah menikah dan aku masih kepikiran masa lalu?"

"Kalau gitu coba rundingin sama Raga. Siapa tahu dia mau menunggumu. Kasus kita sedikit banyak ada kemiripan. Tinggal bagaimana sikap Raga saat tahu kamu masih berat sama Gabriel. Kalau Lingga, jelas dia sudah melalui asam garam. Lingga sudah sering aku tolak. Makanya dia lebih bisa bersabar dalam menghadapiku. Dia punya cemburu, tapi nggak lantas ngomel pas aku masih sering nangisin Panji. Semoga Raga juga begitu. Kalau lulus, level cinta dia sama kamu sudah yang tinggi banget."

Dering ponsel Dara berbunyi. Nama Ninis muncul di layar. Seperti biasa, Ninis menyampaikan keluhan dari pasien Dara yang hari ini melakukan kontrol ke dokter Budi. Terkadang memang ada saja pasien yang tidak cocok dengannya, akan pindah ke dokter spesialis jantung yang lain. Begitu sebaliknya.

Ada beberapa pasien yang sesuai dengan tujuannya, periksa, namun ada juga yang sambil bergosip tipis-tipis. Mengadukan keluhan atas ketidakcocokan dengan dokter sebelumnya. Tapi, baik Dara dan dokter Budi sudah sama-sama paham. Keduanya akan saling maklum. Ninis juga tidak akan sekesal itu jika si pasien tidak cukup keterlaluan.

"Sudahlah, kayak gitu doang nggak usah digubris, Nis. Biarin saja! Namanya orang sakit pasti penginnya cepat sembuh. Kita harus paham itu!" Kata-kata terakhir yang Dara ucapkan sebagai penutup sambungan teleponnya dengan sang sepupu.

"Ada apa sih? Pasienmu?" Tanya Hayu begitu Dara meletakkan kembali ponselnya di atas meja.

"Begitulah! Ada aja yang niat adu domba. Heran banget deh. Untungnya aku sama dokter Budi sudah sama-sama ngerti. Jadi nanggepinnya nyantai banget." Jawab Dara.

"Itu persis dengan yang aku alami sih. Baru aja kemarin orang tua pasienku protes karena anaknya nggak sembuh-sembuh dari batuk. Dia ada alergi debu, dingin, coklat, susu sapi, dan lain-lain. Dikit-dikit batuk. Nggak akan bisa sembuh kalau yang bikin batuk nggak dihindari. Nah, orang tuanya pasienku nggak tega ngelarang anaknya. Karema memang gampang tantrum. Tapi maksudku, ini kan untuk kebaikan anaknya. Gimanapun caranya, harusnya mereka nurut sama dokter. Bukannya malah nyalahin obatnya nggak manjur."

"Aduh, pusing deh kalau kayak gitu." Melipir sejenak ke topik lain rupanya bisa menjadi rekreasi terbaik dari rentetan masalah yang menerjangnya. Berbagi pengalaman tentang profesinya bersama Hayu adalah sesuatu yang paling seru dan membuat Dara selalu antusias.

"Kalau sudah ada yang trouble maker gitu, memang cukup pusing kok ngadepinnya."

Terikat Janji (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang