Bagian - 22

614 70 8
                                    

"Raga!" Dara menjerit, kala tubuhnya diseret dan langkahnya dibuat terseok-seok melewati lorong bangsal. Sosok yang melakukannya seolah tuli. Segala bentuk teriakan dan protes tak dihiraukan. Tenaga yang dimiliki sosok tersebut membuat Dara tak bisa berkutik, bahkan untuk sekedar menghalau jeratan tangan besar di lengannya yang ramping. Raga terus membawa badan mereka keluar dari gedung rumah sakit, menuju ke tempat kendaraannya diparkir.

"Raga, sakit!" Lengan Dara yang dicengkeram begitu erat terasa kebas dan ngilu, hingga membuat Dara meringis. Tapi Dara tak bisa melawan. Besar tubuh Raga nyaris dua kali lipatnya. Dan ekspresi yang ditampilkan cukup menakutkan, sarat amarah.

"Raga, lepas! Aku bisa jalan sendiri!" Jeritan Dara untuk yang kesekian kalinya, namun tidak pernah digubris oleh lelaki yang berstatus suami. Langkah lelaki itu gegas dan lebar-lebar, Dara hampir tidak bisa mengimbanginya.

Secara tidak langsung kelakuan Raga sudah bisa disebut dengan kekerasan fisik. Sebuah tindakan menyakiti pasangan dan tentunya Raga lebih tahu karena dia adalah seorang polisi. Baiklah, Dara sudah bertingkah di luar batas, yang apesnya dipergok sendiri oleh sosok yang mengucap ijab kabul tiga hari lalu. Di sini, Dara tidak akan membela diri atas kecerobohannya. Tapi, tidak seharunya Raga memperlakukan Dara dengan begitu kasar dan disaksikan semua penghuni rumah sakit. Itu tidak adil baginya.

Akan ditaruh di mana muka Dara kelak saat harus berhadapan lagi dengan mereka semua?! Demi Tuhan, keduanya masih pengantin baru. Apa kata orang-orang yang melihat perseteruan ini?

Menarik napas panjang, Dara berusaha untuk menepis semua perasaan tak nyaman yang menyentaknya. Kembali ke awal, Dara harus tahu diri, kejadian ini terjadi karena otaknya yang minim kewarasan saat bertemu dengan lelaki yang dicintainya. Setengah tahun tak bertemu, cinta dan hati masih milik Gabriel sepenuhnya. Tidak ada yang bisa keduanya lakukan saat perjumpaan itu datang, selain melepas rindu.

Dara sadar akan kesalahannya, tapi Dara hanyalah manusia biasa yang ingin dipahami. Keadaan ini sulit. Harus menjalani sebuah pernikahan yang tidak benar-benar diinginkan. Dara frustasi serta kesulitan untuk mengontrol diri.

"Raga!" Dara menjerit saat tubuhnya didorong masuk ke dalam bangku penumpang, dan pintu kendaraan ditutup kencang. Dara terlalu kaget dan tidak siap. Sosok yang berada di sebelahnya ini tidak seperti yang dikenal. Raga berubah menjadi sangat menyeramkan saat sedang emosi.

Astaga, apakah ini tandanya Dara sudah kecolongan? Sisi kelam dari suaminya yang selama ini tidak pernah mengudara. Seharusnya Dara lebih teliti lagi saat menilai karakter lelaki yang akan menjadi pendamping hidup. Dara hanya melihat dari luar tanpa benar-benar mempelajari.

Jika sudah begini, apa yang harus Dara lakukan?

Berkonflik dengan Raga adalah sesuatu yang Dara tak pernah bayangkan. Selama beberapa bulan keduanya dekat, hingga niat ke jenjang serius ini ditetapkan, semua berjalan begitu mulus. Sikap Raga yang terlampau dewasa, membuat Dara tidak percaya dengan yang tengah dihadapi sekarang.

Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir sepasang pengantin baru saat Pajero hitam itu membelah kota. Entah, ke mana Raga akan membawa Dara pergi, yang jelas, lajunya tidak mengarah ke kediaman mereka.

Jujur, Dara merasa was-was. Diamnya Raga, dan cara lelaki ini menyetir menegaskan keadaan sedang tidak baik-baik saja. Raut wajah yang ditampilkan oleh Raga menguarkan aroma mencekam. Sejenak, Dara bisa saja bergidik.

Astaga, Dara tidak seharusnya merasa terancam saat yang di sebelahnya adalah suaminya sendiri. Raga sudah berjanji di hadapan ayahnya, akan senantiasa membuat Dara merasakan nyaman dan aman. Tapi, yang dirasakan sekarang justru sebaliknya. Perlakuan kasar Raga, menciptakan sinyal-sinyal bahaya. Yang secara otomatis membuat naluri Dara untuk mencari perlindungan muncul.

Kendaraan mereka berbelok dan berhenti di tempat parkir bawah tanah. Dara meliarkan tatapannya ke sekitar. Dengan dada berdebar dan rasa penasaran yang menggunung akan niat Raga membawanya ke tempat ini, Dara mulai melepas sabuk pengaman dan kembali merasakan lengannya dirampas kasar, untuk mengikuti suaminya masuk ke dalam lift.

Raga menekan angka di mana mesin angkut ini akan membawanya ke lantai yang dituju. Dua puluh detik dalam keheningan, akhirnya benda ini berhenti. Keduanya melangkah keluar dengan Raga mengapit pinggang Dara. Tidak membiarkannya lepas barang sejenak.

Dara tidak siap dengan serangan dadakan yang dilakukan lelaki ini. Terlalu cepat, hingga Dara tidak bisa menghindar. Raga memaksa bibir keduanya untuk bertemu. Jeritan Dara teredam, Raga membungkamnya dengan ciuman rakus yang menyakitkan.

Kedua lengan Raga membelit badan mungil Dara, sambil terus membawa langkah kakinya pada tempat tujuan. Sejenak Raga berhenti, untuk membuka pintu unit miliknya, dan lekas mendorong keduanya masuk.

"Raga, setop!" Dara terengah. Napasnya memburu. Tidak menyangka akan menghadapi hal tak terduga.

Selanjutnya, yang dirasakan Dara, jangan ditanya. Semua terasa campur aduk. Sakit, terhina, oleh perilaku sosok yang seharusnya menjadi pelindung. Raga menggunakan dominasinya sebagai seorang suami karena ego yang tergores atas kelakuan istrinya. Namun, sebagai pemilik tubuh, Dara tidak pernah rela disentuh orang yang merenggut miliknya dengan paksa, sekalipun itu sosok yang sudah halal.

Tiba-tiba saja, Dara sudah terlentang di atas kasur. Sejenak, Raga memisahkan diri, menatap Dara dengan sorot datar yang tajam. Suasana terasa semakin mencekam. Kepanikan membungkus jantungnya. Dara bergerak mundur saat Raga mulai merangkak di atas tempat tidur memangkas jarak. Dara menggeleng, meletakkan kedua lengannya di depan dada untuk melindungi diri.

"Lagi mens, heh?" Bisik lelaki itu di samping telinga Dara. "Aku baru sadar sudah menikahi perempuan yang pinter berbohong."

Dara tersentak. Yang tadinya menunduk, akhirnya mendongak. Membuat kedua pasang mata itu bertemu. Tatapan Raga berarti banyak, yang jelas bukan iba dan kasih.

"Aku berusaha untuk nggak berpikir buruk tentang kamu. Aku anggap kamu belum siap, dan sebagai suami aku harus bersabar. Kamu yang membatasi kontak fisik, meskipun aku sudah menjadi suamimu, aku mencoba terus maklum. Aku tahu, Dar, kamu belum mencintaiku. Tapi, bisakah kamu hargai aku? Minimal kamu sadar sama statusmu."

Semua yang dikatakan Raga memukulnya telak. Dara hanya bisa mengunci mulut, tidak bisa membela diri. Raga mendekatkan wajahnya, dan secara reflek Dara menghindar.

"Kenapa? Nggak mau dicium sama suamimu? Takut terkena rabies? Atau jijik? Ya ya ya, aku memang nggak pandai mencium wanita. Tapi bodohnya, aku selalu tertarik untuk melakukannya denganmu." Lelaki itu tertawa sumbang. "Terserah, siap nggak siap, aku akan tetap memintanya detik ini juga. Kamu istriku, sudah seharusnya kamu patuh padaku."

Dara buru-buru menggeleng. "Nggak! Aku nggak bisa!" Pekiknya beringsut turun dari tempat tidur dan berlari menuju pintu. Tapi langkah kaki Raga terlalu cepat menjangkau tubuhnya. Dara kembali tergolek ke dalam dekapan suaminya.

Rupanya, aksi penolakan Dara justru semakin memantik api amarah suaminya. Tidak ada lagi kelembutan dalam aktivitas siang hari ini. Semua terenggut dengan cara brutal. Tangisan dan rintihan Dara tidak pernah menjadi pertimbangan. Demi Tuhan, ini sakit. Sangat sakit!

Setelah peristiwa ini, mungkinkah kelak Dara masih bisa tersenyum lagi?

Terikat Janji (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang