"Besok aku mau mengajak Dara ke rumah, ketemu sama Mama-Papa." Beritahu Raga pada kedua orang tuanya yang duduk saling berdampingan di hadapannya. Tadi, setelah magrib, Raga mengajak semua anggota keluarganya untuk mengobrol serius. Di sebelahnya juga ada kakak perempuannya, Aina. Malam ini, Raga ingin mengumumkan hajat besarnya untuk melamar Dara sesegera mungkin. "Setelah pertemuan besok, mungkin bulan selanjutnya aku akan mengajak Mama-Papa berkunjung ke rumahnya, untuk bertemu Bapaknya, dalam niat melamar Dara."
Berbeda dengan orang tuanya yang langsung manggut-manggut setuju, perempuan yang duduk di sebelah Raga justru sebaliknya. "Astaga, jadi?! Kayak nggak ada cewek lain aja, Ga, Ga ...." Respon Aina meremehkan.
"Ya emang nggak yang lain, yang aku mau selain dia!" Tukas Raga cepat. "Masalah buatmu?!"
"Dasar lemah!" Celetuk perempuan satu anak itu, yang langsung mendapat teguran keras dari ibunya.
"Kalau kamu di sini cuma bisa ngata-ngatain adekmu, mending kamu pulang sana! Biar adekmu ngobrol sama Mama-Papa dengan tenang. Kamu di sini cuma bikin rusuh aja."
"Ya ampun, Ma, aku kan cuma menyuarakan pendapatku aja sebagai seorang kakak. Harusnya Raga bisa dapat cewek yang lebih baik. Dari keluarga yang setidaknya setara sama Papa." Aina terus mengoceh. "Apa sih kelebihan Dara? Dokter? Apalagi? Nggak ada."
"Nggak harus begitu. Siapapun perempuan, yang penting baik dan Raga suka, boleh jadi menantu Papa." Kali ini ayahnya membuka suara. "Sudah, Mbak. Kalau kamu masih mau di sini, duduk diam dan jangan banyak protes."
Aina mencibir, membuat yang lain hanya bisa menghela napas maklum.
"Selain di rumah sakit, Dara ada kerja di mana lagi, Ga?" Tanya ayahnya setelah jeda beberapa saat.
"Di puskesmas, Pa." Jawab Raga. "Yang di puskesmas kalau nggak salah hari selasa dan jumat. Jamnya kurang paham. Nanti coba aku tanyakan."
"Kapan-kapan Papa mau ke Puskesmas aja kalau gitu. Yang dekat." Ayahnya memiliki riwayat penyakit jantung, dan beberapa hari lalu sempat kambuh.
"Mama setuju. Papa kan sekarang sudah mau punya menantu dokter jantung. Ya mending periksanya ke menantu sendiri. Lebih leluasa konsultasinya." Sahut ibunya setuju. "Aduh, tiba-tiba Mama nggak sabar pengin ketemu Dara."
Aina berdecak keras. "Lebay banget sih, Ma! Kayak mau ketemu artis aja!"
Raga mengabaikan suara yang berasal dari samping kirinya. "Waktu itu aku juga sudah ngomong ke Dara tentang keluhan Papa. Karena aku nggak paham sama bahasa medis, jadi aku cuma nangkep setengah-setengah. Dara pinter kok, Pa. Jenderal Wirawan aja cocok sama Dara."
"Mama jadi nggak sabar pengin ketemu." Ulang ibunya sedikit berlebihan.
"Memangnya Mama belum pernah lihat Dara?" Ayahnya bertanya.
"Sudah sih. Kemarin ditunjukin fotonya sama Raga. Cantik, Pa. Mama sampai pangling loh." Dari awal Ibunya selalu antusias.
"Ya pantes kalau Raga suka. Memang cantik." Sahut-sahutan ayah dan ibunya dibalas dengan decakan remeh oleh Aina.
"Banyak sekali cewek cantik di dunia ini, nggak usah lebay gitu lah, Ma!" Aina kembali menyela sambil beranjak dari kursi. "Topiknya nggak seru, aku pulang saja!"
"Pulang sana!" Usir Raga sambil menatap punggung kakaknya yang menjauh. Manusia satu itu benar-benar menyebalkan. Setiap yang keluar dari mulutnya tidak ada yang menentramkan hati. "Aina kenapa sih, Ma?!" Serunya gusar.
"Biarin, nggak usah diambil hati!" Tegur ibunya. "Mbakmu kan memang gitu. Belum saja ketemu Dara, nanti kalau sudah ketemu dan akrab, pasti akan berubah. Dia kan anak gampang terpengaruh."
"Aku cuma nggak mau Dara jadi ilfeel sama kita gara-gara sikap Aina yang urakan." Keluh Raga. "Dara itu lemah lembut banget. Positif vibes. Dua bulan kenal dekat nggak pernah sekalipun dia nunjukin sikap yang di luar batas. Aku nggak mau nanti hubunganku sama Dara gagal karena mulut tajam Aina."
"Tenang, Ga, nanti Papa nasihati Mbakmu." Ayahnya menenangkan. "Benar kata Mamamu, Mbakmu itu cuma belum ketemu dan kenal dekat aja. Coba nanti kalau sudah sering ketemu pasti jadi bestie." Sambil mengeluarkan candaan, ayahnya berceloteh.
"Mama tahu, itu karena Aina sudah terlanjur suka sama Nindi, makanya sikapnya jadi begitu. Kemarin aja Mama dengar dia cekikikan di kamarnya, eh ternyata lagi teleponan sama Nindi. Aina juga merencanakan untuk ketemu. Katanya bentar lagi Nindi mau ke Jawa."
Informasi dari ibunya membuat Raga sedikit memiliki antisipasi. "Mau ngapain Nindi ke sini?" Tanyanya.
"Ketemu Mbakmu. Hampir setiap hari teleponan sama Mbakmu." Jawab ibunya.
Raga merasa ada yang aneh. Aina adalah orang pertama yang mengomeli Raga saat memutuskan hubungan dengan Nindi. Aina memang sedekat itu dengan Nindi. Raga yakin, motif Nindi datang ke sini pasti ada kaitannya dengan hubungan mereka di masa lalu.
"Sebenarnya Nindi masih suka banget sama kamu, Ga. Bulan lalu dia telepon Mama, curhat nggak bisa move on." Lanjut ibunya yang semakin membuat Raga yakin akan tujuan mantan kekasihnya itu. "Mama nasihatin, kalau dia itu cantik, pasti nanti akan mendapat yang jauh lebih baik dari kamu. Tapi ya dasarnya Nindi ngeyel, minta tolong Mama ngebujuk kamu."
"Terus Mama mau nggak?" Tanya ayah Raga yang duduk di sebelah ibunya.
"Nggaklah! Wong Raganya sudah dekat sama Dara. Raga juga sudah nggak srek sama Nindi. Papa kayak nggak paham anak lanange dewe ae!" Ibunya berkata seolah Raga tidak berada di sekitar mereka.
"Kalau Papa mending Dara, Ma. Dekat. Belum tentu Nindi mau diajak tinggal di sini. Dia anak tunggal pula." Ayah ibunya malah ngobrol sendiri.
"Mama nggak perlu tanggepin kalau dia telepon lagi. Kok nggak sopan ngatur-ngatur orang tua." Celetuk ayahnya tak suka. "Kalian putusnya jelas kan, Ga? Kamu nggak gantungin anak orang?"
Raga lekas menggeleng. "Nggaklah, Pa. Jelas banget. Tapi memang dia sempat nggak terima."
"Yang penting sudah ada kata berakhir. Perkara diterima nggaknya, itu urusan dia." Sahut ayahnya.
"Meskipun terkadang nyebelin, Mama salut banget loh, Pa, sama Aina. Dulu Aina kan cinta banget sama Syakir. Mama sampai takut Aina depresi karena Syakir selingkuh. Tapi ternyata nggak, Aina bisa bertahan dan jadi benci banget sama Syakir sampai nggak dibolehin ketemu sama Rania. Mama kasian sama Rania yang kadang nanyain ayahnya, tapi ya gimana lagi, Aina langsung marah-marah kalau Mama ngebahas ini." Wanita paruh baya yang duduk di hadapan Raga itu menampilkan paras sendu.
"Lagian ngapain ngebahas laki-laki nggak bertanggung jawab itu!" Ayahnya adalah orang yang paling sakit hati saat tahu Aina dikhianati oleh suaminya. Asal muasal penyakit jantung yang diderita oleh ayahnya. "Kamu jangan seperti itu ya, Ga. Kalau sudah menikah, artinya kamu sudah siap menanggung risiko apapun. Jangan pernah nyakitin istrimu, apalagi sampai berkhianat. Ingat, ibu yang melahirkanmu itu perempuan, kakakmu juga perempuan."
Raga mengangguk patuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terikat Janji (TAMAT)
RomanceSebuah kisah yang menceritakan tentang pengorbanan seorang lelaki untuk gadis yang dicintainya, tapi tidak mendapatkan balasan yang sepadan.