Bagian - 26

474 68 7
                                    

"Kalau kamu berpikir, kamu akan bisa bersamanya setelah melempar kotoran ke mukaku, kamu salah besar. Kamu sudah menjadi istriku, seburuk apapun kondisinya, aku nggak akan pernah melepasmu."

Dara sedikit menahan napas, saat mendengar kalimat serius dari lelaki yang sedang mengemudikan kendaraan di sampingnya. Sejak peristiwa sebulan yang lalu, cara bicara lelaki ini pada Dara berubah drastis. Raga yang terbiasa hangat, menjadi sedingin kutub utara.

"Tapi bukan berarti kamu bisa bertingkah seenakmu sendiri, dan mempermainkan aku terus. Kamu akan tetap jadi istriku, dengan segala peraturan yang aku buat." Raga tidak akan bersikap demikian, jika bukan karena sebab. Jadi, Dara memilih untuk tidak membantah.

"Mulai dari sekarang, kamu akan berangkat dan pulang kerja bersamaku. Sesekali saja nyetir sendiri, kalau mendesak."

Diam adalah solusi terbaik.

Tidak susah untuk menuruti syarat tersebut. Toh, apapun yang diinginkan lelaki ini demi kebaikannya juga. Mendapat fasilitas antar jemput bukankah suatu anugerah? Berapa banyak uang yang dikeluarkan untuk tenaga sopir?

Astaga, bukan seperti itu! Mohon maaf, Dara hanya ingin menghibur diri. Sekarang, dia sudah benar-benar berstatus istri. Kebebasannya musnah setelah ada seseorang yang menggenggam tangan ayahnya dan mengucap ijab.

Demi Tuhan, adakah yang lebih menyedihkan daripada ini? Kenapa Dara merasa dunia sangat tak adil? Baiklah, ia sudah melakukan kesalahan dan membuat lelaki di sebelahnya ini murka, tapi ... haruskah Dara dihukum seberat ini?!

Setelah sampai di rumahnya, seperti biasa, Dara akan sibuk berkutat di dapur dengan ditemani asisten rumah tangga. Tadi Raga sempat menawarinya untuk memesan makanan di aplikasi, tapi mengingat masih cukup banyak bahan masakan di kulkas, akhirnya ia memilih untuk mengolahnya sendiri.

"Oh, jadi nggak perlu pakai telur, Bu?" Tanya si ART yang tengah mengamati Dara membuat adonan perkedel jagung. "Kalau saya sih selalu pakai telur, Bu. Biar empuk."

"Pak Raga alergi telur, Mbak." Jawab Dara. Baru tahu setelah sudah resmi menjadi istrinya, jika lelaki itu tidak bisa mengkonsumsi sembarang makanan termasuk telur dan udang. "Perkedel jagung buatanku pasti enak dan empuk meskipun nggak pakai telur. Cobain aja deh nanti."

"Oh gitu." Utami manggut-manggut. "Percaya kok, Bu. Panjenengan kan memang jago masak. Nggak cuma masakan ndeso, tapi masakan luar negeri juga pintar."

"Sekarang banyak resep dan tutorial di Youtube, Mbak. Kita tinggal pilih aja mau masak apa, semua serba gampang. Waktu itu aku cuma coba-coba masak Japchae sama Bulgogi. Pertama kali itu, belum pernah sebelumnya. Untung aja rasanya nggak zonk!"

Untuk yang kesekian kalinya, si ART mengangguk-angguk. "Enak banget itu, Bu! Saya jarang buka Youtube sih, Bu. Sekarang lebih sering scroll Tiktok."

"Di Tiktok kan juga banyak konten kreator bikin konten masak-masak. Biasanya mereka naruh resep di captionnya. Atau kalau nggak gitu, ditulis di video sambil dikasih tahu cara masaknya." Dara yang sedang memainkan spatula di atas wajan tidak berhenti berceloteh menanggapi pertanyaan yang dilontarkan Utami.

Begitu juga dengan Utami, yang memiliki tugas memotong sayur kangkung untuk dibuat tumis hampir usai. "Fyp saya kebetulan cuplikan-cuplikan film, Bu. Yang masak-masak gitu jarang muncul."

"O ya pantes!" Sahut Dara. Sesi pertama menggoreng perkedel jagung sudah selesai. Ia mulai menuang untuk kloter kedua. "Mbak Utami, cobain dadar jagungnya. Enak nggak?"

Dengan cekatan si ART mendekat dan langsung mencomot lauk khas Manado itu. "Aromanya saja sudah bikin ngiler. Dimakan saja nasi anget aja sudah nikmat banget ini, Bu." Utami meniup-niup bakwan yang kepulan asapnya masih terlihat.

"Kalau gitu ambil nasi sana, Mbak! Makan sekalian. Sayurnya pakai masakanmu tadi pagi." Titah Dara.

"Masih kenyang, Bu. Icip-icip saja ini. Mantap banget bakwannya. Top dah!" Puji Utami.

"Yang penting campurannya nggak usah terlalu banyak, pasti enak." Sambarnya. Dara beralih ke ikan nila yang sudah selesai dicuci oleh Utami, dibawanya mendekat pada kompor. Hendak ia goreng, sebelum dimasak santan bumbu kuning.

"Nanti saya mau ikutin resep Bu Dokter saja deh. Nggak perlu dikasih telur sudah mantuls!" Gumam Utami, menandaskan satu lauk yang dicetak cukup besar.

"Pakai telur malah nambah-nambahin budget. Kalau lagi nggak punya telur gimana? Harus beli dulu dong di toko." Ujar Dara yang mengundang gelak Utami.

"Kakean ragat lek boso jowone!" Sahut si ART, kembali sibuk memotong sayur kangkung. "Saya tuh, kalau habis makan bakwan pasti langsung teringat mantan suami, Bu."

Sejenak Dara menoleh ke arah Utami. Kali pertama asisten rumah tangganya ini membahas soal masa lalu. "Memangnya kenapa, Mbak? Makanan kesukaan mantanmu yo?!" Tebaknya.

"Justru sebaliknya, Bu." Jawab Utami berubah muram. "Mantan suami saya kalau makan nggak sama lauk ikan, daging sapi, ayam, pasti ngomel. Dia selalu nuntut makan enak, tapi nggak mau rekoso. Kerjanya sehari-hari cuma mainan HP terus. Saya banting tulang sendiri. Uang saya habis cuma buat menuhi kebutuhan perutnya."

Terlalu kaget, Dara tidak bisa berkata-kata.

"Tugas seorang suami kasih nafkah istri. Itu merupakan kebanggaannya sebagai laki-laki. Terus gimana saya bisa hidup sama dia kalau kewajibannya sebagai suami saja dia nggak mampu penuhi?! Nggak ada wanita yang sanggup hidup sama laki-laki seperti itu, Bu." Suara Utami semakin terdengar parau.

Bersamaan dengan itu, tatapan Dara beralih pada sosok yang turun dari tangga sambil menenteng iPad, lalu berhenti di ruang tengah, sebelum duduk di sofa dan menyalakan televisi.

"Bersyukur banget, Bu. Pak Raga itu baik. Kalem, ganteng, saleh, mapan, sempurna pokoknya. Panjenengan harus banyak bersyukur, Bu." Utami sangat berlebihan saat mengemukakan pendapatnya tentang manusia satu itu. Di mata Utami, Raga serupa malaikat yang tanpa cela dan noda. "Pak Raga disiapin mi instan doang, asal Bu Dara yang bikinin, pasti sudah seneng banget. Karena beliau punya perasaan welas pada istrinya. Beda sama mantan suami saya, Bu. Dia kebanyakan maksiat. Selingkuh, berjudi, membuat rumah tangga kami berantakan."

"Mbak Utami, itu masa lalu. Sudah, nggak usah diingat-ingat lagi." Dara mencoba menasihati. "Untungnya sekarang sudah lepas kan? Itu tandanya Gusti Allah baik dan adil."

"Iya, Bu. Betul sekali." Utami manggut-manggut. "Waktu itu saya langsung sujud syukur di hadapan pak hakim, Bu. Setelah habis mengetuk palunya. Rasanya plong banget. Beban di pundak hilang gitu aja."

"Sekarang tinggal berjuang sendiri, ya. Fokus pada diri sendiri. Cari duit, dan sukses pastinya." Berbincang-bincang dengan Utami, tanpa terasa aktivitas di dapur sudah hampir usai. Dara meminta Utami untuk menghidangkan satu persatu hasil masakannya di atas meja makan. "Setelah ini palingan Mbak Utami nemu yang baru. Tapi kalau bisa jangan dalam waktu dekat ya, Mbak. Aku sudah terlanjur cocok sama sampean e. Kalau harus ganti ART nanti adaptasi lagi."

"Ya Allah, Bu! Saya belum kepikiran ke sana." Bantah sang ART. "Saya tuh kayak masih trauma gitu, Bu. Ngerasa takut disakiti, atau ketemunya sama orang yang salah lagi. Ngeri, Bu. Ya kali saya harus cerai lagi karena nggak cocok. Nanti orang-orang malah anggap saya perempuan gatel, yang nggak bisa hidup tanpa laki-laki. EW."

Dara tergelak kencang hingga membuat sosok yang sibuk di ruang keluarga menoleh ke arahnya. "Ketika nanti Mbak Utami ditemukan sama jodoh, pasti sampean sudah semakin pinter dalam menilai karakter laki-laki. Sehingga, saat memutuskannya, sampean nggak lagi salah pilih."

"Ya Allah, Bu. Pantas saja Pak Raga cinta banget. Bu Dara itu selain cantik, pintar, tapi juga wanita salihah. Iri banget loh saya. Pengin bisa seperti Bu Dara." Lagi, Utami berhasil membuat Dara terdiam karena kalimatnya yang berlebihan.

Terikat Janji (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang