Bagian - 4

485 92 0
                                    

Hari libur Raga kali ini digunakan untuk mengajak keponakannya, anak dari kakak perempuan Raga, ke toko mainan. Dan setelah itu Raga akan membiarkan keponakannya menentukan arah tujuan yang diinginkan. Biasanya mereka akan berakhir di time zone atau ke sebuah kafe yang menjual aneka es krim.

"Rania, ingat kata Mami, nggak boleh nakal. Nggak boleh nyusahin." Ibunya bocah berusia lima tahun itu mengingatkan.

Sambil bersidekap Raga mengamati bocah yang duduk di depan cermin, yang rambutnya masih diatur oleh ibunya menjadi kepang dua. Bocah itu mengangguk sebagai respon atas perkataan sang ibu.

"Nanti nggak boleh banyak-banyak makan es krimnya, ya. Ingat, Rania baru saja sembuh bapil. Kalau nanti sampai bapil lagi, Rania jadi nggak bisa sekolah." Ibunya bocah itu melanjutkan petuahnya.

Kali ini Rania tidak hanya mengangguk. "Tapi, Mami, kan aku sudah sehat. Kata Dokter Grace, bapilnya sudah hilang. Jadi nggak papa makan banyak-banyak es krim, Mami."

"Bapilnya bisa datang lagi kalau Rania nggak nurut sama Mami."

"Tapi kata Dokter Grace bapilnya sudah hilang, Mami!" Bocah itu bersikeras.

"Rania ingat nasihat Dokter Grace kalau nggak boleh makan es dulu kan?" Tanya ibunya. "Sementara waktu, Rania nggak boleh minum es biar nggak batuk lagi. Itu nasihat Dokter Grace yang kamu lupakan."

Rania mengernyit bingung. "Kapan sih, Mi? Kok aku nggak dengar Dokter Grace bilang begitu?"

"Hem, pas Rania lagi tidur kalau nggak salah."

"Ya jelas aku nggak dengar, wong aku lagi tidur!"

Mendengarkan percakapan ibu dan anak itu membuat Raga menahan tawanya.

"Mami nggak bohong kan?" Lanjut Rania menuduh. "Harusnya Mami bangunin aku, biar aku bisa dengar sendiri nasihat Dokter Grace. Kalau begini, mana mungkin aku bisa percaya."

"Ya nggak mungkin Mami bangunin kamu yang lagi nyenyak tidurnya. Mami nggak bohong. Kan kamu tahu sendiri, kalau bohong itu dosa besar."

"Rania, yuk?!" Raga mengulurkan tangan ke hadapan bocah itu, saat sudah siap untuk pergi.

"Jangan dikasih es krim terlalu banyak." Kakaknya mengingatkan.

Lelaki yang masih memiliki satu keponakan itu mengangguk. "Siap, Mbak!"

Di perjalanan menuju toko mainan, Rania terus bercoleh. Membahas sesuatu yang acak. Sebenar-sebentar Rania akan bercerita tentang teman sekolahnya, sejenak beralih pada mainan boneka beruang yang sekarang sudah tidak bunyi lagi. Lalu kembali ke pembahasan awal. Dan itu bisa diulang-ulang hingga kendaraan yang dikemudikan Raga berhenti di sebuah bangun yang bertuliskan Kidz Zone.

"Jalan aja, Nduk! Nggak usah lari." Raga mengingatkan. Bocah itu tidak mau dipegang tangannya, dan malah masuk toko sendiri sambil berlari.

"Om Aga, aku mau ke sana ya?!" Bocah itu tidak menunggu respon Raga, langsung meluncur ke tempat yang diinginkan. Banyak boneka berjejer, Rania tampak bingung untuk memilih. "Mami nggak mau beliin aku boneka barbie yang bisa bunyi katanya mahal, Om. Kalau Om Aga punya uang nggak? Aku mau boneka itu!" Rania menunjuk etalase paling atas.

Raga mengangguk. "Tolong ambilkan itu, Mbak!" Titahnya pada karyawan toko yang melayani mereka.

"Satu lagi boleh nggak, Om?" Tanya Rania malu-malu.

"Oke, satu lagi." Raga mengingatkan.

"Mau itu!" Rania menunjuk etalase lainnya, dan di sana terdapat mainan alat-alat masak lengkap. "Aku mau yang warna biru, Om."

"Ran, bukannya kamu sudah punya itu di rumah?" Beo Raga, teringat pernah melihat keponakannya memainkan benda-benda itu.

"Tapi aku mau lagi satu, Om. Biar nanti pas Siska datang ke rumah, mainnya nggak perlu bergantian. Siska suka banget sama masak-masak. Mainanku banyak di rumah, tapi yang dipinjam cuma yang masak-masak. Aku tanya, kenapa kamu nggak minta Bundamu beliin sendiri? Dia jawab, katanya Bundanya nggak punya uang. Kasian ya, Om. Untung saja Om Aga punya uang." Rania bercerita panjang lebar

"Kalau gitu mainannya yang ini buat Siska aja. Kan Siska belum punya toh. Biar nggak pinjam mainanmu terus." Goda Raga.

"Yeeee, jangan dong! Siska kan nggak sedang ulang tahun. Ngapain dikasih hadiah."

"Nggak apa-apa. Baik sama teman kan dapat pahala."

"Aku baik kok sama Siska, nanti Siska aku pinjamin mainanku." Bocah ini selalu pintar beralasan.

"Yaudah, Mbak, mau itu warna biru!" Lagi, Raga meminta karyawan toko untuk mengambilkan barang permintaan Rania yang terakhir.

Setelah mendapatkan mainan yang diinginkan, bocah itu lanjut mengajaknya ke tempat bermain yang ada di salah satu mal di Malang.

"Kamu sudah sering ke sini sama Mamimu?" Tanya Raga setelah membayar tiket dan mengenakan atribut wajib untuk masuk ke dalam area bermain.

"Sudah dong!" Jawab Rania, sudah langsung menempatkan diri di depan alat-alat masak bersama anak seumurannya yang lain.

Raga mendekat. "Tahu gitu tadi nggak perlu beli ini, Ran. Main aja di sini sampai kamu bosan."

"Kalau yang tadi dipakai di rumah, Om." Sahut Rania, asik bermain.

"Di sini kamu nggak masalah bergantian sama banyak teman." Sindirnya. Raga pasti sudah gila karena merasa tertipu dengan mulut manis Rania saat minta dibelikan mainan.

Bocah itu sibuk bermain. Berpindah ke sana kemari. Raga duduk di kursi tunggu sambil mengawasi dari jauh. Setelah bosan nyetir mobil-mobilan yang jalannya menggunakan kaki, sekarang Rania mendadak mandi bola. Raga buru-buru mendekat saat tiba-tiba ada bocah yang meluncur dari atas dan nyaris menimpa badan Rania.

"Maaf ya, Pak." Ujar si ibu dari anak tersebut. "Diva, kamu itu kalau mau turun lihat-lihat dulu! Di bawah ada adek ini!" Si ibu langsung menegur putranya.

Raga masih mendekap tubuh Rania, jantungnya rasanya akan copot.

"Om Aga, lepas! Aku mau lanjut main!" Sementara bocah yang ia khawatirkan justru tidak paham apa-apa. Dan kembali asik bermain.

Tidak terasa satu setengah jam terlewati, Rania mendekat dengan lesu. "Capek aku, Om. Aku haus. Aku lapar. Pengin es krim!"

Raga tertawa kecil. "Yuk!"

Seperti biasa, mereka mengunjungi kafe yang menjual aneka es krim dan camilan. Raga membatasi keponakannya hanya satu cup kecil es krim. Untung saja Rania menurut, selain karena memang takut dimarahi ibunya. Raga tidak menyangka di tempat ini ia akan mendapati perempuan yang beberapa waktu lalu ia temui di rumah sakit, sedang bersama sosok yang juga tak asing baginya.

Tapi ada yang aneh. Raga beberapa kali melihat Dara mengambil tisu untuk menghapus air matanya? Perempuan yang sepertinya tengah menjadi teman curhat Dara tampak berusaha menenangkan. Tapi Dara terus menangis. Astaga, apa yang terjadi dengannya?

Terikat Janji (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang